Kunjungan ke Panti Asuhan dan Bengkel Kerja
(Penerjemah : Hikari)
Note : Habis nonton berita, aq baru tahu klo adanya “Pastor/Suster Kepala”, bukan “Kepala Pastor/Suster” 😅 Jadi, ada penyesuaian lagi mulai bab ini, ya~
* * *
Sehari setelah kembali ke biara dari Doa Musim Semi, semua orang membersihkan panti asuhan dan bengkel. Sehari sesudah itu, Sylvester dan Pastor Kepala akan berkunjung pada saat bel ketiga. Semua orang sibuk begitu pagi tiba.
"Suster Myne, ada waktu tidak? Er, maksud saya, apakah Anda ada waktu sejenak?"
"Tentu saja, Gil. Kau mengalami kemajuan yang bagus."
Begitu kembali dari Doa Musim Semi, aku menemukan bahwa Gil perlahan-lahan mengasah kemampuannya berbicara selagi aku tidak ada. Para biarawan abu-abu yang tadinya bekerja sebagai pelayan kini mengajarkan sopan santun pada anak-anak di panti asuhan, dan mereka memberi masukan pada Gil dalam hal bahasa saat di bengkel.
"Anak-anak itu terus saja bilang karena aku adalah seorang pelayan, aku harus cepat-cepat belajar berbicara lebih baik supaya tidak membuatmu malu! Er...Ahem. maksud saya, saya harus belajar bicara lebih sopan supaya tidak mempermalukan Anda."
Aku bisa menghargai anak-anak yang ingin mencoba cara baru dalam berbicara yang telah mereka pelajari, tapi aku juga bisa mengerti kenapa Gil kesal pada mereka yang membuatnya kesulitan.
“Memang benar bahwa kau perlu untuk belajar cara bicara yang sopan cepat atau lambat untuk terus bekerja sebagai pelayanku. Ini adalah kesempatan bagus untukmu.”
“Suster Myne, aku akan bekerja keras… Aku tidak mau— Er, saya tidak ingin Anda menggantikan saya dengan orang lain.” Gil berlutut di sebelahku dan mengerutkan wajah, jelas merasa frustasi pada dirinya sendiri, tapi aku tidak mengerti dari mana rasa takutnya ini berasal.
“Hm? Tunggu sebentar, Gil. Kenapa kau mengkhawatirkan hal itu?”
“Karena ada banyak orang di sini yang lebih baik dariku,” dia memaksa berbicara, menundukkan kepala dengan sedih. Dia menjelaskan bahwa seorang pembuat masalah sepertinya yang menghabiskan sebagian besar waktu di ruang penyesalan telah memotivasi anak-anak lain untuk mencoba menjadi pelayanku juga, karena jika seseorang seperti dirinya saja bisa melakukan itu, maka tidak ada alasan mereka tidak bisa melakukannya juga. Dia merasa cemas bahwa aku akan mengganti dia, dan sedang bekerja keras belajar bagaimana caranya melakukan hal-hal yang tidak bisa dilakukan anak-anak lain.
,,,Apakah gara-gara itu dia menghabiskan sangat banyak waktu di bengkel mempelajari pekerjaan barunya dan memperlakukan Lutz sebagai saingannya?
Aku sedang duduk di sebuah kursi, yang membuatku di posisi yang sempurna untuk mengelus kepala Gil sementara dia berlutut. Aku mengulurkan tangan dan mengelus rambutnya yang pirang terang.
“Aku tahu betapa kerasnya kau bekerja, Gil. Aku mungkin akan mengambil beberapa pelayan baru saat dibutuhkan, tapi aku tidak akan pernah menggantimu.”
“Anda sungguh-sungguh mengatakannya…?” Ekspresinya melembut lega.
Para pelayan pada dasarnya memiliki sangat sedikit keamanan pekerjaan; mereka bisa saja diganti sesuka hati oleh majikan mereka. Tapi aku tidak ada niatan untuk mengganti Gil selama dia tidak amat tidak kompeten.
“Ngomong-ngomong, bukankah ada sesuatu yang ingin kau katakan padaku, Gil?”
“Benar. Haruskah kita mulai bekerja di bengkel meskipun para biarawan akan datang?”
“Ya. Mereka akan ingin melihat seperti apakah pekerjaan yang kita lakukan di sana. Aku tahu bahwa bahkan kehadiranku pun cukup membuat semua orang gugup, dan kurasa kunjungan Pastor Kepala dengan biarawan biru lain akan membuat kalian luar biasa tegang, tapi aku minta supaya kalian mengerahkan segenap usaha kalian hari ini. Bisakah kau memberitahukannya pada semua orang?”
“Seperti yang Anda inginkan.”
Fran dan yang lain dari Firma Gilberta datang untuk menemuiku tidak lama setelah Gil pergi. Ada Benno, Lutz, dan Leon. Mark tidak ikut karena menjaga toko tetap berjalan.
“Selamat pagi, Suster Myne. Sebuah kehormatan menerima undangan Anda di hari yang cerah ini.”
Aku memandu mereka bertiga ke lantai dua, kemudian meminta Rosina dan Delia turun ke lantai satu. Mereka paham bahwa mereka akan berpura-pura tidak mendengar kami yang berbicara santai setelah diminta pergi dari ruangan.
“Ini, Myne. Aku sudah dapat baju-baju yang kau minta. Dan ada sepatu juga, buat jaga-jaga.”
“Makasih, Lutz.” Aku mengambil bundelan baju dan sepatu itu darinya; aku harus memberikan ini pada Sylvester nanti. Untuk saat ini aku menaruhnya di atas meja kerjaku dan kembali ke meja tamu.
Benno, memakai baju yang pantas untuk bertemu dengan bangsawan, melihatku dengan matanya yang berkilat tajam. “Jadi, bangsawan seperti apa si biarawan biru ini?”
“Entahlah.”
“Serius?” balas Benno dengan sebuah pelototan. Aku tahu dia menginginkan informasi sebanyak mungkin tentang masalah ini, tapi mau bagaimana lagi kalau aku tidak tahu.
“Kenapa kau mengharapkanku tahu apapun tentang keluarga Pastor Sylvester?”
“Karena kau bisa bertanya padanya. Belajarlah untuk mengumpulkan informasi sendiri, bodoh.”
Memang benar bahwa seorang pedagang akan mau tahu semua hal tentang keluarga pelanggannya, tapi yang ingin kutahu hanyalah bagaimana caranya benar-benar menghindari Sylvester. Meski begitu, Benno akan mengomeliku lagi kecuali aku mengatakan sesuatu, jadi aku mencoba mengingat apa yang telah kupelajari selama Doa Musim Semi.
“Dia sangat aneh. Aku diberitahu bahwa meskipun dia memiliki kepribadian yang jelek, dia memiliki semacam hati yang baik terpendam jauh dalam dirinya.”
“Dengar, aku tidak peduli soal itu. Aku perlu tahu seberapa besar keluarganya, koneksi-koneksi yang mereka punya, bagaimana posisinya, dan hal-hal lain yang akan membantuku membuat barang daganganku sampai di tangannya dan uangnya berada di sakuku.”
“Oh, benar. Maaf. Aku menghabiskan seluruh perjalananku menghindarinya sebisa mungkin, jadi aku tidak tahu apapun soal itu sama sekali.” Aku mengatakannya dengan serius tanpa benar-benar memikirkannya, dan Benno merosot kecewa. “Kau bisa mempelajari sendiri hal ini saat aku memperkenalkanmu padanya di bengkel, Benno. Itu akan lebih bisa diandalkan daripada mempercayaiku.”
“Yeah, tidak ada gunanya berharap sebanyak itu darimu. Akan kuanggap kau yang tidak lupa untuk memperkenalkanku ini adalah sebuah kemenangan yang cukup besar. Ini jauh lebih baik daripada kau yang panik karena kunjungan mereka dan tidak memberiku kabar sama sekali,” kata Benno, mengangguk pada dirinya sendiri. Kenyataan bahwa aku tidak dapat membantahnya membuatku sedikit merasa sedih pada diriku sendiri. “Baiklah, aku akan menemuimu nanti. Cobalah untuk tidak membuat masalah.”
Benno, setelah mendapatkan sedikit sekali informasi, pergi bersama Lutz dan Leon ke bengkel.
Bel ketiga mulai berdentang sementara aku sedang berlatih harspiel. Aku pun berdiri, tegang karena gugup, dan setelah Fran mengambil pakaian yang Lutz bawakan untukku, dia memimpin jalan untuk pergi ke luar. Aku berjalan di belakangnya dengan Damuel di sebelahku.
“Rosina, Delia, kupercayakan kamarku pada kalian.”
“Seperti yang Anda inginkan, Suster Myne. Kami menantikan kepulangan Anda dengan selamat.”
Saat kami tiba di ruangan Pastor Kepala, kami menemukan dia sedang menulis sesuatu di mejanya dengan Sylvester yang bersantai-santai di dekatnya, siap untuk pergi.
“Maaf membuatmu menunggu,” kataku.
“Tentu,” balas Sylvester. “Ayo pergi.”
Aku tidak dapat mengerti kenapa dia terlihat begitu penuh semangat seperti seseorang yang menuju ke sebuah petualangan atau semacam misi. Sejauh yang kutahu, mengunjungi bengkel dan panti asuhan mungkin tidak semenyenangkan itu. Mungkin dia antusias untuk melihat bengkel karena tidak ada hal seperti itu di Area Bangsawan.
“Pastor Sylvester, sebelum kita pergi… Ini baju yang kau minta, juga sepatu kayu yang biasanya dipakai di kota bawah, untuk berjaga-jaga.”
“Kau mendapatkannya dengan cukup cepat, ya? Lumayan.”
“Ini baju bekas. Tidak perlu dipesan atau semacamnya.”
Fran menyerahkan baju dan sepatu itu pada pelayan Sylvester, yang mengambilnya dengan ekspresi rumit.
Aku mengerti kalau kau mungkin tidak mau memegang baju bekas rakyat jelata, tapi tuanmu itu yang memintanya.
“Kalian semua, tunggu di sini. Kami akan baik-baik saja dengan Fran dan Damuel yang mengikuti. Membawa terlalu banyak orang mendampingi kami hanya akan membuat ruangan kecil jadi sempit,” Sylvester memberitahu Arno dan pelayannya sendiri. Panti asuhan mungkin tidak akan terlalu parah, tapi bengkel sudah pasti akan jadi sedikit sesak jika terlalu banyak dari kami yang masuk ke dalamnya secara bersamaan.
“Baiklah. Ayo kita pergi.” Pastor Kepala menyelesaikan pekerjaannya, dan dengan demikian kami pun pergi.
Fran yang memimpin jalan. Sylvester dan Pastor Kepala mengikuti di belakangnya, sementara Damuel dan aku menyusul di belakang.
Di sepanjang perjalanan menuju ke panti asuhan, Sylvester kelihatannya kehabisan kesabaran dengan jalanku yang lambat. Dia berputar balik dan menuding ke arahku. “Damuel, angkat dia dan jalan. Dia ini makhluk paling lambat yang pernah kulihat.”
“...Bisakah kau paling tidak mengutarakannya seakan dia membopongku dengan sangat terhormat?”
“Umumnya seorang pengawal harus memastikan tangannya bebas sepanjang waktu, tapi aku lebih kuat daripada Damuel sehingga itu tidak akan jadi masalah kali ini.”
Tidak peduli bagaimana kelihatannya, aku sebenarnya mengerahkan usahaku yang terbaik untuk berjalan secepat yang kubisa. Masalahnya Sylvester dan Pastor Kepala begitu tinggi sampai-sampai kecepatan lariku tidak cukup untuk mengikuti jalan mereka yang cepat. Sejujurnya rasanya cukup lega saat Damuel mengangkatku, karena aku sudah kehabisan napas.
“Ini adalah panti asuhan,” Fran berkata sambil mendorong pintu yang menderit terbuka menuju ke aula makan bangunan anak-anak perempuan.
Sedang menunggu di dalam adalah Wilma, dua biarawati dan dua biarawan abu-abu, semuanya sedang berlutut. Sedikit sulit untuk melihat mereka dari balik orang-orang dewasa, tapi anak-anak yang belum dibaptis juga berkumpul dan berlutut. Benno telah menyarankan kami untuk tidak membuat anak-anak itu bekerja saat kunjungan, karena di kota bawah pada dasarnya dilarang untuk membuat anak-anak yang belum dibaptis bekerja.
“Selamat datang di tempat tinggal kami yang sangat sederhana. Kami merasa terhormat melebihi kata-kata atas kunjungan Anda.”
“Pastor Kepala, Pastor Sylvester. Ini adalah pelayanku, Wilma. Dia yang mengatur panti asuhan dan mengurus semua anak-anak yang belum dibaptis ini sendirian.”
Pastor Kepala mengangkat sebelah alisnya dan mengangguk. “Kau adalah orang yang bertanggung jawab atas seni luar biasa di buku-buku Myne, seingatku. Usahamu layak dipuji.”
“Sa-saya merasa terhormat,” Wilma menanggapi dengan suara bergetar, tidak menduga Pastor Kepala memujinya; dia mungkin tadinya mengira Pastor Kepala sama sekali tidak akan tahu tentang seorang biarawati abu-abu. Berkat rambutnya yang terikat erat ke belakang kepalanya, kenyataan bahwa dia bersemu merah sampai telinganya jadi terlihat jelas.
“Kupikir panti asuhan akan kacau balau dengan semua anak kecil ini, tapi kulihat ternyata cukup bersih.” Sylvester berjalan ke tengah ruangan dan berputar sambil melihat ke sekeliling.
“Itu karena semua orang bekerja keras untuk menjaganya tetap bersih,” jawabku, dadaku membusung bangga. Panti asuhan tetap bersih karena Wilma yang memimpin dalam bersih-bersih sambil menginstruksi semua orang tentang pentingnya menjaga tempatmu makan tetap bersih.
“Semua anak-anak di sini sama kecilnya denganmu, ya? Tidak ada anak-anak yang lebih muda daripada ini?”
“...Saat ini tidak ada.”
Tidak ada yang lebih muda daripada anak-anak ini karena mereka tidak diberi makanan atau perawatan sehingga akhirnya meninggal. Sylvester seharusnya sudah tahu soal itu, dan dirinya yang berpura-pura bodoh membuatku marah, tapi memarahinya di sini tidak akan mengembalikan mereka.
“Yang lebih penting, Pastor Sylvester, tolong ingat bahwa faktanya aku ini sudah dibaptis.”
“Itu tidak mengubah kenyataan kalau kau sekecil mereka.”
Meskipun kenyataannya aku mungkin lebih pendek daripada kebanyakan mereka, begitu musim panas tiba akan satu tahun penuh sejak aku dibaptis. Sylvester mengabaikan pipiku yang menggembung cemberut dan berkeliaran ke pinggir aula makan, minatnya sepertinya tertarik oleh kotak-kotak yang ditumpuk di sudut.
“Myne, apa ini?”
“Itu semua adalah buku-buku dan mainan untuk mengajari anak-anak membaca. Semua yang ada di situ dibuat oleh lokakarya, kurang lebih seperti itu.”
Sylvester mengambil sebuah kitab suci anak-anak dan membuka-buka beberapa lembar halamannya. Dia kemudian melihat-lihat tumpukan karuta dan kartu bermain dengan raut wajah berkerut.
Pastor Kepala, yang sejak tadi menyaksikan dari samping, mengambil sebuah tumpukan karuta dan memelototiku. “Myne, kau tidak menginformasikanku tentang ini.”
“Itu adalah karuta. Itu berguna sebagai mainan untuk mempelajari huruf. Aku membuatnya untuk salah satu pelayanku yang ingin belajar membaca, kemudian membuat lebih banyak lagi untuk panti asuhan gunakan. Itu masih belum bisa diproduksi secara komersial karena Wilma harus menggambar secara manual setiap kartunya, jadi aku tidak berpikir melaporkan hal itu akan relevan,” jelasku.
Pastor Kepala berpikir serius, sebuah tangan berada di dagunya. “...Hanya memastikan, apa kau belum memproduksi ini secara komersial?”
“Benar. Aku memang menjual haknya pada Benno, tapi aku belum mendengar dia memproduksinya.” Benno bilang mereka akan menjualnya, tapi sejauh yang kutahu dia belum benar-benar menjadikannya produk. Mungkin dia masih berjuang menemukan seorang seniman. “Bagaimanapun, aku membaca kitab suci untuk membuat ini, dan berkat hal itu aku dapat mempelajari nama-nama para dewa dan instrumen suci. Anak-anak panti asuhan sangat terampil dalam permainan ini, mereka benar-benar telah menghafal baik kartu teks maupun gambarnya.”
“Begitukah? Aku mau melihat cara menggunakannya. Ayo.” Permintaan mendadak Sylvester membuat anak-anak dengan gugup melihat antara aku dan Wilma. Aku kurang lebih sudah memprediksikan apa yang Sylvester akan katakan, jadi aku dengan tenang mengambil karuta itu dan tersenyum pada anak-anak.
“Bagaimana kalau aku yang membacakan kartunya dan kalian semua yang melakukan sisanya kalau begitu?”
“Seperti yang Anda inginkan, Suster Myne.”
Anak-anak terlihat tegang karena biarawan biru yang asing, tapi begitu mereka mulai fokus pada karuta, mata mereka terlihat semakin serius dan kegelisahan pun menghilang dari wajah-wajah mereka.
“Anak ini yang mendapatkan paling banyak karuta, yang artinya dia memenangkan permainan ini.”
“Kau beruntung,” kata Sylvester pada si pemenang setelah mendengar penjelasanku.
Pastor Kepala, yang memperhatikan anak-anak yang membereskan kartu-kartu karuta, menunduk melihatku. “Myne, kau sudah hafal semua ini? Dan anak-anak bisa membaca semua kartu teksnya?”
“Ya. Anak-anak panti asuhan yang bisa membaca semua kartu teks adalah hal yang biasa, dan mereka bahkan bisa membaca kitab suci anak-anak. Mereka mempelajarinya sepanjang musim dingin.”
“...Sepanjang musim dingin? Serius?” Mata Sylvester membelalak kaget.
Aku membusungkan dada lagi dan mengangguk kuat. “Benar. Tidak ada banyak hal untuk dilakukan selagi salju turun sepanjang musim dingin, bukan begitu? Anak-anak yang lebih besar bisa membantu di bengkel, tapi anak-anak yang lebih kecil tidak bisa melakukan banyak hal selain menghabiskan waktu dengan membaca dan bermain karuta. Mereka tahu tentang angka-angka berkat bermain dengan kartu-kartu di sebelah sana juga, dan mereka bisa melakukan sedikit matematika sekarang.”
Aku menggambarkan hasil yang mengagumkan selama sekolah musim dingin dengan kepala mendongak tinggi, tapi entah kenapa Pastor Kepala memegangi kepalanya.
“Myne…” katanya, suaranya terdengar berat dengan rasa jengkel meskipun kenyataannya Fran pastinya sudah melaporkan ini padanya sebelumnya.
“Ada apa, Pastor Kepala?”
Dia berhenti sejenak, kemudian menghela napas dan berkata “Itu bisa menunggu.” Ekspresinya jelas memperlihatkan bahwa dia mengerahkan segenap tekadnya untuk menahan apapun yang ingin dia katakan.
...Rasanya aku mendapat sebuah omelan besar yang sedang menungguku, tapi kenapa? Kenapa? Aku menelengkan kepalaku dengan bingung saat Sylvester mencengkeram bahuku.
“Baiklah, bawa aku ke bengkel.”
“Tentu.”
Berjalan dengan kecepatan langkahku yang biasa, aku menuju ke pintu keluar belakang, yang menuruni tangga bangunan anak perempuan.
“Suster Myne, saya rasa kita sebaiknya tidak membawa seorang pengunjung ke sana…” kata Wilma dengan nada risau.
Aku tersentak sadar, berhenti di tempat, dan berputar balik. Pintu belakang jelas bukanlah tempat untuk membawa seorang tamu yang sedang berkunjung. Tapi perubahan arahku yang mendadak sepertinya membuat kedua biarawan itu berpikir aku sedang menyembunyikan sesuatu dari mereka, dan ekspresi mereka sedikit mengeras ketika mereka melihat ke tangga.
“Tunggu. Apa yang kau sembunyikan di bawah sana?” tanya Pastor Kepala.
“Itu hanyalah pintu keluar belakang yang biasanya kami pakai untuk ke bengkel. Tapi karena Pastor Kepala dan Pastor Sylveste adalah pengunjung, aku seharusnya membawa kalian lewat jalan yang sepantasnya,” jelasku. “Aku tidak memikirkannya tadi.”
Pastor Kepala mengerutkan alisnya. “...Pintu keluar belakang di panti asuhan? Aku tidak pernah mendengar hal seperti itu.”
“Bawa kami ke sana.”
Mengikuti permintaan mereka, aku mengikuti Wilma menuruni tangga seperti yang biasanya kulakukan. Rubanah dari bangunan anak perempuan adalah sebuah dapur, dan mereka tengah mempersiapkan makan siang. Kami bisa mendengar suara para gadis yang bercakap-cakap sementara aroma sedap menguar sampai ke hidung kami. Tapi pembicaraan mereka berhenti begitu Wilma terlihat, terburu-buru menuruni tangga.
Begitu para biarawan dan aku mencapai dapur, panci-panci besar berisi sup telah diabaikan hampir mendidih, dan semua orang sedang berlutut di dekat dinding.
“Huh, jadi di sinilah kau membuat makanan untuk para yatim piatu?”
“Ya. Walaupun umumnya hanya sup yang dibuat di sini.”
Aku menjelaskan bagaimana kami mengisi celah antara pemberian berkah kudus dengan sup yang kami buat sendiri. Kedua biarawan itu kemungkinan besar bahkan tidak pernah melihat dapur mereka sendiri, dan mereka sama-sama mengintip ke dalam panci yang mendidih itu dengan sangat berminat.
“Ini kelihatan seperti sup yang kita bagi saat Doa Musim Semi.”
“Itu karena aku mengajari mereka resep yang sama.”
Sylvester menunduk memelototiku dengan mata menyipit. “Bukankah sedikit terlalu berlebihan untuk anak-anak yatim piatu bisa memakan ini setiap hari?”
Itu membuatku kesal. Anak-anak panti asuhan ini telah dipaksa untuk menghasilkan uang dan memasak makanan mereka sendiri karena sedikitnya biarawan dan biarawati biru yang memberikan berkah kudus. Tidak mungkin sup sederhana ini “sedikit terlalu berlebihan” untuk mereka. Tapi tentu saja, aku tidak bisa mengutarakan rasa frustasiku pada seorang biarawan biru seperti Sylvester.
“Ngomong-ngomong, apakah mereka tidak membuat semacam kue rakyat jelata di sini? Aku ingat Damuel melaporkan hal semacam itu,” kata Pastor Kepala, membuat mata Sylvester membelalak terbuka lebar.
“Kue?! Sekarang itu sangat berlebihan!”
“Kau bilang itu sangat berlebihan, tapi tidak seperti gula dan madu yang para bangsawan bisa beli sendiri, kue-kue rakyat jelata yang disebutkan itu bergantung pada buah yang hanya bisa dikumpulkan pada pagi musim dingin yang cerah. Mereka tidak dimakan setiap hari. Terlebih lagi, ada sangat banyak anak di panti asuhan sehingga setiap orang hanya bisa mendapat seporsi kecil. Walau demikian itu memang layak sebagai kelezatan musim dingin. Bukan begitu, Tuan Damuel?”
Damuel menganggukkan kepala sambil melihat antara Sylvester dan Pastor Kepala, sementara mereka berdua menatap tajam padanya. Terutama Sylvester yang memelototinya dengan tatapan yang jelas-jelas iri.
“Kau benar-benar senang di sini, ya, Damuel?”
“Hanya pada kesempatan-kesempatan langka. Saya rasa ada lebih banyak penderitaan daripada apapun di sini.”
Mengawalku sama sekali bukanlah pekerjaan mudah bagi seseorang seperti Damuel, yang mendapat serangan jantung kapan pun aku pingsan dan berjuang saat para bangsawan kelas atas memelototinya seperti ini.
“Supnya akan hangus jika kita tetap di sini, jadi kusarankan kita cepat-cepat ke bengkel.” Aku mendesak kami semua menuju pintu keluar, karena aku tidak ingin berurusan dengan Sylvester yang meminta untuk makan parue cake. Kami kemudian melintasi kapel sementara menyusuri jalan ke bangunan anak laki-laki.
“Ini adalah Lokakarya Myne,” Fran mengatakan sembari kami memasukinya. Anak-anak laki-laki di dalam menghentikan pekerjaan mereka dan berpindah ke dinding di mana mereka berlutut sama seperti yang dilakukan anak-anak perempuan, ditemani oleh ketiga orang dari Firma Gilberta. “Kami mulai memproduksi kertas tumbuhan begitu musim semi tiba . Begitu kami mendapatkan suplai kertas yang besar, kami akan mulai membuat lebih banyak buku-buku bergambar.”
Mereka yang bekerja di bengkel kelihatannya sedang mengolah bubur kertas dan mengeringkannya karena mereka tidak bisa pergi ke hutan hari ini.
Sylvester melihat-lihat sekeliling, kemudian mendengus. “Myne, di mana kau membuat mainan-mainan itu?”
“Itu dibuat selama musim dingin. Sekarang sudah lewat masanya. Kami bisa dengan mudah membuat lebih banyak jika kami memesan bahan-bahan materialnya, tapi prioritas kami di sini adalah membuat kertas untuk buku bergambar,” aku menjelaskan.
Sylvester mengerjapkan mata hijau gelapnya dengan bingung. “Kenapa fokus dengan kertas dan buku bergambar sementara mainan lebih menyenangkan dan lebih laku?”
“Karena aku ingin buku-buku.” Apakah ada yang salah menggunakan lokakaryaku sendiri untuk membuat hal yang kuinginkan? Tidak. Aku ingin buku tidak peduli apakah itu akan terjual atau tidak. Lokakarya Myne ada untuk tujuan itu.
Rahang Sylvester terbuka, seakan dia tidak bisa percaya yang barusan dia dengar. “Ya ampun… Kau benar-benar berbuat sesuka hatimu, ya?”
“Um, aku tidak ingin mendengar hal itu darimu, Pastor Sylvester.” Tidak ada seorang pun yang memperlihatkan konsep lakukan apapun yang kau suka melebihi apa yang Sylvester lakukan.
Sementara Sylvester dan aku saling menatap satu sama lain dengan tidak percaya, Pastor Kepala mengusap pelipisnya. “Tetap saja kenyataannya kalian berdua adalah sumber rasa sakit kepalaku yang tak ada hentinya.”
“Ngh...”
“Ngomong-ngomong, Myne. Aku ingin melihat seperti apa bengkel ini berjalan. Semuanya! Kembali bekerja.” Tidak sepertiku, Sylvester mengabaikan kata-kata tajam Pastor Kepala dan malah memerintahkan para biarawan abu-abu untuk kembali ke bekerja. Mereka semua dengan mulus berdiri dan kembali ke posisi masing-masing. Tidak bisa disangkal lagi—Sylvester lebih liar dan tidak dapat dikendalikan daripada aku.
Dengan para biarawan abu-abu yang kembali bekerja, hanya ada tiga orang dari Firma Gilberta yang tetap berlutut di dekat dinding.
“Pastor Kepala sudah mengenal mereka bertiga, tapi aku akan memperkenalkan mereka padamu, Pastor Sylvester. Dia adalah Benno dari Firma Gilberta, dan para calon leherlnya, Lutz dan Leon.”
“Benar, pedagang yang menjual barang-barang dari sini.” Sylvester, yang melirik bengkel yang sekarang berjalan, memandang ke bawah pada Sylvester dan yang lainnya.
“Tepat. Sebagian besar semua yang dibuat di Lokakarya Myne ini dijual lewat Firma Gilberta. Restoran yang membuatmu tertarik juga dibangun oleh Firma Gilberta. Mereka akan senang berbisnis denganmu.”
“Oh ya? Benno, angkat kepalamu. Aku mengizinkanmu untuk berbicara denganku.”
“Saya merasa terhormat,” kata Benno sambil mendongak. Kemudian, mendadak dia membeku. Tidak ada kata-kata salam sapa yang meluncur dari bibirnya, dan aku mendengarnya menelan keras.
“Benno?” tanyaku, bingung.
“Diberkatilah ombak-ombak Dewi Air Flutrane yang memandu kita menuju pertemuan ini,” Benno tercekat sebelum menundukkan kepalanya lagi.
Sylvester, menunduk memperhatikan dia dengan postur tangan berpikir di dagu, menyengir.
Kenapa dia terlihat seperti seekor karnivora yang baru saja menemukan mangsa baru?
“Benno, restoran yang kau buat terdengar sangat menarik. Aku sudah lama ingin berdiskusi panjang dan menyenangkan tentang hal itu. Ayo pergi ke ruangan lain dan buat itu menjadi kenyataan. Ikuti aku.”
“Mengerti,” balas Benno, berdiri dengan gemetar. Dia terlihat begitu pucat sampai-sampai aku secara insting memanggil Sylvester.
“Pastor Sylvester, ingat janjimu untuk tidak mencuri juru masak kami.”
“...pikiran itu bahkan tidak terlintas olehku. Ini hanya diskusi bisnis.”
“Baiklah kalau begitu.”
Diskusi bisnis adalah spesialisasi Benno; aku tidak perlu mengganggu.
“Myne, bagaimana cara kerja mesin ini?” tanya Pastor Kepala, menarik perhatianku menjauh dari Sylvester, yang membawa pergi Benno. Dia sedang memperhatikan alat pemerasan biasa yang kami ubah menjadi alat cetak-tekan.
“Ini adalah mesin cetak-tekan baru. Ini belum benar-benar selesai, tapi sepertinya makin rampung daripada sebelum aku meninggalkannya untuk Doa Musim Semi. Aku tidak sabar menunggu ini selesai.”
“Bagaimana menggunakannya? Aku mendapat laporan tentang ini dari Damuel, tapi cukup sulit untuk memahaminya.”
Untuk menjawab pertanyaan Pastor Kepala, aku memanggil Gil untuk mendekat dan memutuskan untuk mendemonstrasikan prosesnya. “Gil, tolong siapkan tintanya. Pastor Kepala, ini disebut mata huruf logam, dan kau membariskan huruf-huruf ini untuk membentuk teks.”
“...Mata huruf? Mereka terlihat seperti stempel-stempel mungil.”
Sementara Pastor Kepala mengamati sebuah mata huruf di tangannya, aku menyuruh Fran mengambil mata-mata huruf untukku sehingga aku bisa menyusunnya menjadi sebuah kalimat pendek. Gil kemudian menaruhnya pada bingkai, mengunci mereka di tempatnya dengan menyelipkan papan di kedua sisi.
“Suster Myne, sudah siap.”
“Bisa cetak selembar, kalau begitu? Tolong gunakan potongan kertas bekas supaya tidak terbuang percuma.”
Gil menaruh bingkai itu di mesin cetak, kemudian melumurinya dengan tinta. Dia lalu menaruh selembar kertas di atasnya.
“Biasanya kau akan menggerakkan bagian dari mesin cetak-tekan ini untuk secara literal menekan kertas ke mata-mata huruf dan menyebarkan tintanya secara merata, tapi karena mesin cetak-tekannya belum siap, kita akan harus menggosokkannya ke situ sebagai gantinya. Begitu selesai, kita menyisihkan kertasnya agar mengering dan mencetak lembar berikutnya, walau dalam kasus ini kita hanya akan mencetak di bagian lain kertas yang sama untuk menghemat sumber daya.”
Gil mencetak kalimat yang sama pada lembaran kertas itu berulang kali. Sementara Pastor Kepala menatap dengan takjub, aku menjelaskannya dengan bangga bahwa, begitu selesai, mesin cetak-tekan ini dapat menyebarkan tinta dengan lebih cepat daripada dengan bantalan penekan.
Aku mengira Pastor Kepala akan mulai memuji mesin cetak-tekan ini, tapi kebalikannya, dia hanya meletakkan sebelah tangannya ke dahi. “Ini akan mengubah sejarah… Ya, aku mengerti itu sekarang.”
“Er... Maaf...?”
Aku tadinya berpikir Pastor Kepala akan sangat gembira mengingat semua buku mahal yang dia punya, tapi sepertinya tidak. Dia menunduk melihatku dan memberi seulas senyum tipis, meskipun tatapan tajam di mata keemasan terangnya itu sangat mengkhawatirkan.
“Myne, ada banyak hal yang harus kita bicarakan sekarang.”
...Huh? Aku sudah melaporkan ini lewat Fran dan Damuel, ya ‘kan? Kenapa ini terjadi?
Tur mereka berakhir tanpa banyak hal lain yang terjadi. Sylvester kembali ke bengkel setelah menyelesaikan diskusi bisnisnya dengan Benno; dia memutar-mutar bubur kertas dan tidak sengaja merobek beberapa lembar kertas saat mencoba menempelkannya ke papan pengering, tapi aku sudah memperkirakan sejauh itu. Tidak ada masalah pada peralatan kami dan Sylvester terlihat puas, jadi pada dasarnya tur ini berjalan lancar seperti yang bisa kuharapkan. Jelas sekali Pastor Kepala berniat untuk menguliahi atau sebaliknya menginterogasiku nanti, tapi yah, meskipun sangat menyeramkan, setidaknya tur ini sudah selesai.
Satu hal yang tidak begitu kumengerti adalah raut wajah pucat kelelahan mengerikan di wajah Benno saat dia kembali dengan Sylvester. Dia menemaniku ke kamar setelah tur selesai, dan begitu kami di sana, kepalanya terpuruk; kelihatannya dia bahkan tidak ada energi untuk pulang tanpa beristirahat dulu di sini.
“Benno, apa yang sebenarnya Pastor Sylvester katakan padamu? Aku bisa memprotes pada Pastor Kepala kalau dia terlalu kejam. Apa kau mau?”
Tidak ada banyak hal yang bisa kulakukan, tapi jika Sylvester berlaku sangat kejam maka Pastor Kepala pasti akan turun tangan untuk memperbaiki keadaan. Kupikir tawaran itu akan disambut baik, tapi Benno tetap saja merengut dalam keheningan dan mulai menggilaskan tinjunya ke kepalaku.
“Ow, aduh! Apa-apaan, sih?!”
“...Ini salahmu,” gumamnya dengan ekspresi gelap sebelum menyiapkan tinjunya lagi.
Aku melindungi kepalaku dengan tangan, memelototinya dengan mata berkaca-kaca. “Memangnya aku salah apa?!”
“Aku tidak bisa bilang. Aku tidak bisa bilang, tapi ini adalah salahmu.”
“Apa dia mempersulitmu dengan bertukar juru masak atau semacamnya?” Hanya itu kesulitan yang bisa kubayangkan Sylvester berikan pada Benno, tapi dia hanya mengerjapkan mata dengan kaget seakan dia bahkan tidak terpikirkan hal itu dan menggelengkan kepala.
“Salah.”
“Kalau begitu apa?”
Benno menatapku dengan frustrasi getir, kemudian menggaruk rambutnya yang diminyaki ke belakang dan mengerang. “...Lupakan. Satu hal yang kupastikan di sini adalah aku sudah diberi satu kesempatan seumur hidup. Walaupun aku tiidak yakin apa bisa memanfaatkannya dengan baik.”
“Yah, aku tidak mengerti apa yang sedang kau bicarakan, tapi semoga beruntung.” Aku memberinya kata-kata dukungan yang terbaik yang bisa kuberikan berdasarkan pemahamanku yang terbatas mengenai situasi ini, tapi itu hanya membuat Benno kesal. Dia mencubit kedua pipiku di saat bersamaan.
“Swakhiet… Benno, apa kau akan makan siang di sini?”
“Tidak. Aku bakal pulang dan menyelesaikan kekacauan di kepalaku ini,” balasnya, sebelum mendadak berdiri dan meninggalkan kamarku, menyeret kaki seperti seorang karyawan kantoran yang kecapekan pulang ke rumah.
Serius, apa yang Sylvester katakan padanya?
Siang itu, dua surat dikirim ke kamarku, yang satu adalah undangang pribadi ke ruang omelan Pastor Kepala. Itu sudah dijadwalkan untuk lusa nanti, di siang hari sebelum aku pulang ke rumah. Aku segera menuliskannya balasan; aku mungkin bisa selamat dari omelan mengetahui aku akan pulang ke suasana nyaman keluargaku sesudah itu.
Surat lainnya berasal dari Sylvester. Di dalam surat itu dia berterima kasih padaku telah mengadakan tur ini dan sekaligus memerintahkanku untuk membawanya ke hutan esok hari. Mudah baginya untuk memberi perintah itu, tapi tidak mudah untukku pergi ke hutan, mengingat kesehatanku dan fakta bahwa aku akan membutuhkan seorang pengawal.
“Tuan Damuel, aku tidak mungkin pergi ke hutan, bukan begitu?” gumamku, menyentil surat itu dengan jariku.
Damuel—yang akan harus menemaniku sebagai pengawal—mengangkat bahu dengan ekspresi jengkel. “Novis, apakah Anda bahkan bisa berjalan sejauh itu?”
“Aku bisa. Aku berjalan ke hutan cukup rutin sebelum pembaptisanku… Walaupun itu perjalanan yang sangat memakan waktu.”
Ada sedikit pria dewasa yang cukup sabar dengan kecepatan jalanku yang lambat, yang artinya aku lebih sering dibopong daripada berjalan akhir-akhir ini. Tapi itu bukan berarti aku tidak bisa berjalan sama sekali—aku hanya tidak cepat melangkah seperti orang lain.
“Baiklah. Mari kesampingkan apakah Anda bisa atau tidak berjalan ke sana. Masalah sebenarnya, kalau begitu, sebagai pengawal Anda, saya tidak merekomendasikan seorang biarawati novis seperti Anda pergi ke hutan. Saya rasa akan lebih baik jika Anda memiliki seseorang yang lain untuk memandu dia ke sana.”
Kita sedang berhadapan dengan Sylvester di sini. Aku bisa meminta Ayah jika dia libur kerja, tapi tidak ada libur berikutnya sampai lusa nanti. Tuuli sudah bilang kalau Ayah menjadwalkan liburnya begitu supaya dia bisa datang dan menjemputku pulang, dan karena Tuuli biasanya ikut dengannya, mereka berdua jelas besok ada pekerjaan.
“Satu-satunya orang yang bisa kumintai tolong adalah Lutz, tapi itu akan menjadi beban berat baginya.”
Lutz akan membawa anak-anak ke hutan besok, dengan asumsi cuaca cerah, jadi sudah pilihannya sudah jelas meminta padanya. Aku akan lebih memilih meminta Leon karena dia lebih tua dan mungkin bisa menangani Sylvester dengan lebih baik, tapi putera seorang pedagang sepertinya pasti nyaris tidak pernah pergi ke hutan dan dengan demikian tidak tahu banyak soal itu.
Sementara aku sedang berlatih harspiel setelah sarapan keesokan harinya, Gil datang dengan terburu-buru meskipun sudah berangkat ke bengkel pagi-pagi sekali.
“Suster Myne, si biarawan biru sudah menunggu di bengkel! Er, maksud saya, dia saat ini sudah hadir menunggu di bengkel.”
Gil biasanya membuka bengkel di bel kedua, di mana dia akan menyiapkan pekerjaan hari itu sampai para biarawan abu-abu di panti asuhan menyelesaikan sarapan mereka. Tapi saat dia pergi ke bengkel untuk membukanya hari ini, dia menemukan Sylvester sudah ada di sana di depan pintu, memakai baju bekas kotor yang kuberikan padanya dan menunggu dengan kepala mendongak.
Gil segera berlari pulang untuk memberitahuku, jadi aku menghentikan praktek harspielku dan menuju ke bengkel dengannya dan Damuel. Aku tiba tepat saat mereka yang ada di panti asuhan menyelesaikan sarapan mereka. Berlutut merendahkan diri adalah para biarawan abu-abu dan anak-anak yang memegang keranjang mereka, siap untuk pergi ke hutan, berkumpul di depan bengkel. Di depan mereka adalah Sylvester, yang sedang membawa sebuah busur yang sangat bagus.
“Selamat pagi, Pastor Sylvester.”
“Kau terlambat, Myne.” Dia memelototiku dengan tidak puas, tapi itu bukan salahku.
“Kau datang terlalu awal, Pastor Sylvester. Kau bisa lihat bahwa kau tiba bahkan sebelum siapapun menyelesaikan sarapan mereka. Terlebih lagi, aku tidak akan menemanimu ke hutan. Aku hanya akan menjadi beban.”
“Yah, kau memang berjalan sangat lambat. Jadi, siapa yang akan membawaku ke sana?”
Mata hijau gelap Sylvester berbinar penuh antisipasi saat melihat sekeliling dengan penuh semangat, seikat rambut ungu kebiruannya berayun di punggungnya. Ikat rambut perak yang dia pakai untuk mengikat tidaklah cocok dengan baju bekasnya sama sekali.
“Anak-anak biasanya dibawa ke hutan oleh Lutz dan Leon, para leherl dari Firma Gilberta. Aku berniat untuk meminta tolong Lutz membawamu, jadi silakan tunggu sampai mereka tiba.”
Aku memberi gestur tubuh pada sebuah kotak agar dia duduk, tapi dia malah bolak-balik mengelilingi bengkel, tidak dapat tenang. Aku menghela napas kecil. “Pastor Sylvester, apa kau benar-benar berniat untuk pergi ke hutan?”
“Tentu saja. Karena itulah aku menyuruhmu mendapatkan baju kotor ini untukku. Ini, coba lihat. Kelihatan sangat pas, ‘kan?”
Sylvester memberikan seulas cengiran percaya diri dan melebarkan lengannya untuk memperlihatkan dengan lebih jelas padaku bajunya itu, tapi pakaian tersebut tidak cocok sama sekali untuknya. Malahan, itu jadi lebih mencolok daripada yang pernah kuperkirakan. Dia terlihat persis seperti orang kaya yang sedang bersenang-senang berbaur dengan rakyat biasa, meski kenyataannya sama sekali tidak membaur.
Meski demikian, aku setidaknya bisa tahu bahwa dia benar-benar antusias untuk berburu. Dia tidak hanya memakai baju bekas yang kubawakan untuknya, tapi juga sepatu bot kulit usang. Dia mungkin merasa sepatu kayu yang kuberikan padanya terlalu sulit untuk dipakai berjalan. Namun kontrasnya, busur yang dia punya dibuat begitu rumit daripada yang bisa kau temukan di kota bawah. Sejauh yang kutahu, dia benar-benar berencana untuk berburu.
“Pastor Sylvester, kalau kau memang berniat untuk berburu di hutan, tolong berjanjilah untuk mendengarkan apa yang Lutz, pemandumu itu, katakan.”
Sylvester memandangiku, ekspresinya mengeras sedikit. Aku tahu bahwa bangsawan lebih tinggi statusnya daripada rakyat biasa, tapi karena kami sama-sama berjubah biru, kami setara dalam biara ini. Dan karena Pastor Kepala sedang tidak ada, hanya aku yang dapat berbicara menghadapi Sylvester.
“Sama seperti adanya aturan di dalam hutan para bangsawan, ada pula aturan di hutan kota bawah. Lokasi berburu dan mengumpulkan makanan dibuat terpisah, dan ada aturan-aturan lain yang ditetapkan di antara para pemburu. Jika kau berniat untuk melanggar aturan ini dan menggunakan otoritasmu sebagai seorang bangsawan untuk menghancurkan pembangkangan seperti apapun, maka aku akan lebih suka jika kau tidak pernah memasuki hutan kota bawah sejak awal.”
Ada banyak aturan tidak tertulis yang memastikan agar semua orang dapat memanfaatkan sebaik mungkin hutan kota bawah, termasuk anak-anak pra-baptis yang akan pergi mengumpulkan makanan. Mengabaikan aturan-aturan ini saat keluar berburu mungkin nantinya akan membuat orang terluka, jadi kalau Sylvester akan menolaknya sebagai sesuatu yang tidak relevan, aku akan meminta Pastor Kepala untuk menghentikan kepergiannya.
Sylvester mendengarkan penjelasanku dengan ekspresi serius, dan mengangguk menanggapi. “Yah, ini pertama kalinya aku pergi ke sana. Tentu saja aku akan mendengarkan apa yang pemanduku katakan.”
Pada saat itulah, Lutz dan Leon tiba, keduanya berpakaian untuk pergi ke hutan.
“Pagi, Myne. Langka melihatmu di bengkel.”
“Pagi, Lutz. Selamat pagi, Leon.”
“Selamat pagi, Suster Myne.”
Setelah mengucapkan salam pagi mereka, keduanya menyadari Sylvester menyaksikan dengan dagu yang terangkat dan cepat-cepat menyapanya juga. Mereka jelas-jelas kebingungan melihat si biarawan biru yang kemarin kini berdiri di hadapan mereka dengan memakai baju bekas, jadi aku menjelaskan bahwa Sylvester berharap untuk pergi berburu di hutan.
“Lutz, aku benar-benar minta maaf soal ini, tapi aku harus memintamu untuk memandu Sylvester ke hutan. Leon, Gil, aku minta kalian berdua sama-sama mengawasi anak-anak sementara mereka mengumpulkan bahan makanan. Apa semuanya tidak apa-apa?”
“Kami akan memastikannya.”
Sylvester mengangkat busurnya yang mewah itu dan berangkat ke hutan dengan Lutz dan yang lainnya.
“Aku tidak bisa mengenyahkan perasaan bahwa ini akan berjalan dengan sangat tidak lancar.”
“Saya yakin dia tahu apa yang dia lakukan. mari kembali ke kamar Anda, Novis.”
Sulit membayangkan Sylvester benar-benar tahu apa yang dia lakukan, aku merasa tidak setuju dalam hati sebelum kembali ke kamarku.
Lutz menerobos masuk ke kamarku ketika hampir bel keenam, tepat saat matahari mulai terbenam. “Myne, keberatan tidak kalau kami meminjam juru masakmu? Kami dapat banyak sekali daging yang harus diurus.”
Aku merasa agak tidak enak hati meminta juru masakku untuk melakukan pekerjaan tambahan tepat sebelum mereka pulang, tapi orang-orang yang berpengalaman dalam menyembelih hewan akan melakukannya jauh lebih cepat daripada orang yang tidak pernah. Kami tidak akan selesai-selesai jika aku menyerahkan pada anak-anak panti asuhan pisau-pisau dapur dan menyuruh mereka untuk mengerjakannya.
“Fran, bisakah kau pergi dan meminta Hugo serta yang lainnya untuk menangani ini? Tuan Damuel, ayo kita pergi ke bengkel.”
Saat Damuel dan aku tiba di bengkel, kami menemukan di depan pintu ditutupi bulu-bulu dan darah sementara anak-anak terdekat mencabutinya seperti menggila. Hugo dan Ella sampai tidak lama kemudian sambil membawa pisau-pisau, dan bergumam kagum “Woah” saat mereka pun menyaksikan pemandangan berdarah ini dengan takjub.
Sylvester, mendengar hal ini, menoleh pada mereka dengan dada yang membusung bangga. “Lihat ini, Myne! Ada banyak sekali. Sangat mengagumkan, ‘kan? Aku yang memburu ini semua.”
“Selamat datang kembali, Pastor Sylvester.”
Sylvester dalam suasana hati yang baik sampai sulit dipercaya. Dia telah memburu seekor rusa kecil dan empat burung, kelihatannya. Hugo dan Ella sama-sama langsung bekerja menyembelih rusa kecil itu di atas sebuah meja.
“Ella, kelihatannya mereka sudah menguras darahnya, jadi kita tinggal mengeluarkan isi perutnya yang cepat membusuk. Kita tidak punya banyak waktu hari ini; kita bisa memasak dagingnya besok.”
Aku sedang menyaksikan mereka yang begitu ahli menyembelih dengan sorot mata menerawang jauh ketika anak-anak mulai melaporkan apa yang telah mereka lakukan hari ini sambil mencabuti bulu-bulu dengan senyum lebar. Di masa lalu mereka hanya tahu tentang daging saat itu disiapkan, dan kenyataan bahwa mereka cukup bersemangat sambil mencabuti burung-burung mati itu menunjukkan betapa banyak mereka telah berkembang. Dan itu pun berlaku untukku; dulu aku akan memekik ngeri dan pingsan begitu melihat darah dan isi perut.
“Suster Myne, Pastor Syl sangat hebat. Seekor burung terbang amat tinggi di langit mendadak jauh begitu saja, dan ternyata Pastor Syl yang memanahnya!”
“Kami menggantungnya di dahan untuk menguras darahnya, dan itu ada banyak sekali sampai tanah pun jadi sangat merah.”
“Lalu ada hewan-hewan yang datang untuk mengambil burung! Pastor Syl juga memanahnya. Tapi kami meninggalkannya di sana, karena dia bilang dagingnya keras dan rasanya tidak enak.”
Anak-anak dengan penuh semangat menceritakan padaku kisah tindakan heroik Sylvester, walaupun membayangkan hutan yang berdarah cukup menyeramkan. Sylvester menyengir berseri-seri saat anak-anak memberinya banyak pujian.
“Sangat mengesankan kau berhasil memburu sebanyak ini dalam satu hari, Pastor Sylvester. Apa yang akan kau lakukan dengan semua ini? Apakah sebaiknya kita membawanya ke dapurmu?” Kupikir dia mungkin mau supaya juru masaknya yang menangani ini, tapi Sylvester cepat-cepat menggelengkan kepala sebagai balasan, nyaris seperti akan ada masalah kalau kami membawa daging ini ke dapurnya.
“Ah, aku tidak perlu sama sekali. Aku akan, er… aku akan mendonasikan semuanya saja pada anak-anak panti.”
“Yaaay! Terima kasih, Pastor Syl!”
“Kau sangat keren, Pastor Syl! Kuharap kau datang ke hutan lagi dengan kami suatu hari nanti!”
Anak-anak sangat girang, diberikan lebih banyak daging daripada yang pernah mereka dapatkan untuk makan. Mereka semua menghujaninya dengan pujian penuh semangat sambil mata mereka berbinar-binar dengan rasa lapar yang baru ditemukan.
“...Um, ‘Pastor Syl’?” Aku menanyai Sylvester dengan ragu-ragu, baru saja menyadari nama panggilan yang anak-anak gunakan. Mungkin dia merasa itu menyinggung.
“Yah, kelihatannya mereka merasa ‘Sylvester’ sulit untuk diucapkan, jadi aku membiarkan mereka menyingkatnya. Meski begitu, jangan meniru mereka.”
“Kenapa tidak?” Aku menelengkan kepala dengan bingung dan Sylvester mendengus, memandang ke bawah padaku dengan kilatan iseng di matanya.
“Aku tidak akan pernah bertemu anak-anak ini kecuali aku datang sendiri ke panti asuhan, tapi kau dan aku akan bertemu di tempat lain. Anak yang ceroboh sepertimu mungkin saja akan memanggilku dengan nama yang salah di waktu yang salah.”
Rasanya agak menyakitkan bahwa Sylvester sekalipun sudah menganggapku ceroboh, tapi aku tidak bisa benar-benar mengatakan dia salah. Yang bisa kulakukan hanyalah menundukkan kepala dan menyetujuinya.
“Kau benar sekali.”
Sylvester, tertawa setuju, mencolek pipiku. “Sudah lama sekali sejak aku sesenang ini. Sebagai rasa terima kasih, kau bisa memiliki ini.”
Sylvester mengulurkan sebuah kepalan tangan sebelum membukanya di depanku. Kupikir dia akan menyodorkan serangga atau ranting yang dia temukan di hutan, tapi dia ternyata memegang sebuah kalung dengan batu hitam legam yang mirip seperti batu onyx yang berkilau.
“Um, terima kasih. Apa ini? Sebuah alat sihir…?”
“Ini semacam alat sihir, tapi bukan yang membantumu menggunakan sihir. Berdoa kepada para dewa tidak akan membuat apapun terjadi.”
Aku mengangguk, mengerti bahwa ini adalah sebuah alat sihir dengan semacam fungsi khusus seperti yang bisa meredam suara, dan mendongak melihat Sylvester. “Apakah kegunaannya kalau begitu?”
“Aku akan pergi sebentar. Ini adalah sebuah jimat pelindung. Kalau kau dalam situasi yang terdesak, tekankan darahmu ke bagian permata hitamnya dan aku akan datang menyelamatkanmu.”
Sulit bagiku membayangkan sebuah situasi di mana aku akan perlu memanggil Sylvester untuk minta tolong; tentunya aku tinggal lari saja menangis pada Pastor Kepala. Tapi tetap saja, tidak ada alasan bagiku untuk menolak hadiah.
“Berbaliklah,” kata Sylvester. “Aku akan memakaikannya padamu.”
Aku berbalik seperti yang diinstruksikan. Akan tetapi, Sylvester mendecakkan lidahnya.
“Pinggirkan rambutmu. Bagaimana caranya aku bisa memakaikannya padamu seperti ini? Apa kau tidak pernah diberi perhiasan oleh seorang pria sebelumnya?!”
“Yah, seorang anak laki-laki pernah memakaikan jepit rambut untukku sekali.”
Paling tidak, kurasa Benno pernah memakaikannya padaku sebelumnya.
Tapi, bahkan dengan mengikutsertakan saat-saat aku sebagai Urano, tidak ada pria yang pernah memberiku kalung. Malahan, tidak ada siapapun di luar keluargaku yang pernah memberiku aksesoris apapun sama sekali. Dengan memikirkan hal itu, mungkin aku telah mencapai sesuatu yang sangat mengesankan dengan membuat seorang pria memberiku sebuah kalung bahkan sebelum aku berumur delapan tahun di sini.
...Jadi, semuanya tentang wajah, ya? Wajah cantik adalah yang paling penting?
Teman masa kecilku, Shuu, selalu bilang bahwa obsesi gilaku pada buku membuatku tidak pernah populer dengan laki-laki, tapi mungkin akhirnya tiba waktunya untuk membuktikan kalau dia salah. Dan itu semua memerlukan sedikit reinkarnasi.
“Pastor Sylvester, apa aku terlihat manis dengan memakai ini?”
“Tujuan dari jimat pelindung bukanlah untuk terlihat manis. Tetap pakai itu dan jangan lepaskan. Itu saja yang penting.”
...Aku tahu kalau aku ini hanya seorang bocah, tapi apa akan membunuhmu kalau memberiku sedikit pujian?
Aku menggembungkan pipi dengan cemberut karena kesal terhadap sikap ketus Sylvester, yang membuatnya menekankan telapak tangannya ke pipiku. Udara tertiup keluar dari mulutku, tapi dia tidak melepaskannya. Malahan, dia menekankannya lebih keras lagi.
“Myne, selalu pakai ini. Jangan pernah lepaskan meski sebentar. Mengerti?” kata Sylvester, mata hijau gelapnya lebih serius daripada yang pernah kulihat sebelumnya.
0 Comments
Posting Komentar