Kenangan Kita Berdua
(Bagian 2)
(Penerjemah : Nana)
Kereta tersebut meninggalkan kota Atami, melaju melewati pantai Pasifik menuju ke arah barat lebih jauh lagi. Mereka melakukan transit di Stasiun Shimada dan Toyohashi, meninggalkan Prefektur Shizuoka untuk menuju ke Prefektur Aichi. Mereka menempuh perjalanan ratusan kilometer menuju ke Prefektur Gifu.
Di tengah perjalanan, Sakuta bertanya ke orang-orang dari tempat yang belum pernah ia kunjungi sebelumnya tentang Mai, tetapi ia tidak menemukan satu pun orang yang tahu tentang Mai Sakurajima atau, bahkan yang bisa melihat diri Mai.
Saat ini kereta yang mereka tumpangi sedang menuju Ogaki.
Mungkin mereka hanya bisa menyelidiki sampai sejauh ini saja untuk hari ini. Hari akan berganti ketika mereka tiba di stasiun yang dituju. Di setiap pemberhentiannya, makin sedikit penumpang yang menaiki kereta ini.
Roda kereta memancarkan suara gerinda saat gerbong-gerbongnya terus melaju di rel. Terdengar suara derak lembut dari sambungan rangkaian gerbong kereta yang bergetar. Saat suara kerumunan orang mulai menghilang, suara latar mulai berubah menjadi lagu pengantar tidur.
Tempat duduk yang berkapasitas untuk empat orang yang saling berhadapan mulai terlihat sepi, Sakuta dan Mai duduk bersebelahan di salah satu sisinya.
“Kota terpadat kedua di Prefektur Gifu setelah Kota Gifu,” ucap Mai tiba-tiba sambil menatap layar ponselnya.
“Apanya?”
Hampir tidak ada penumpang lain di gerbong yang mereka tumpangi. Mungkin masih tersisa tiga orang yang duduknya agak jauh dari mereka berdua. Hal ini membuatnya seperti ia dan Mai sedang berduaan.
“Ogaki.”
“Oh.”
Sakuta dapat dengan mudah mendengar suaranya, bahkan ketika Mai berkata dengan suara pelan.
“Disini juga dikatakan kalau Kota tersebut memiliki banyak mata air.”
“Baguslah, Aku selalu tertarik dengan mata air alami.”
“……”
“……”
Saat mereka terdiam, suara kereta mengisi kehampaan itu. Di luar terlalu gelap untuk menikmati pemandangan apa pun, tetapi Mai tetap menyandarkan sikunya di meja kecil di bawah bingkai jendela, menatap daratan asing yang mereka lewati.
Setelah sepuluh menit berlalu tanpa mengucapkan sepatah kata pun.
“Hei, Sakuta…”
“Ada apa?”
“Kau bisa melihatku?”
Matanya yang terpantul di kaca jendela melihat diri Sakuta.
“Aku bisa melihatmu.”
“Kau bisa mendengarku?”
“Bisa.”
“Kau bisa mengingatku?”
“Kau ini Mai Sakurajima. Siswi kelas tiga di SMA Minegahara, Prefektur Kanagawa. Seorang aktris cilik yang melakukan banyak hal di luar dugaannya.”
“Apa maksudnya itu?”
“Sebagai akibat dari masa kecilnya yang sebagai aktris, kepribadian dirinya menjadi agak sinting dan tak dapat mengungkapkan perasaan yang sebenarnya.”
“Siapa? Aku?”
“Kau jelas-jelas ketakutan, namun kau mencoba menyembunyikannya.”
Setelah mengatakan itu, Sakuta mencoba meraih tangan Mai.
Mai mengangkat alisnya karena terkejut. Pandangannya tertuju pada tangan mereka yang saling berpegangan.
“Aku tidak bilang kalau kau bisa memegang tanganku.”
“Tapi Aku menginginkannya.”
“……”
“Kurasa Aku butuh sedikit penyemangat.”
“…Baiklah, silahkan saja.”
Mai kembali menatap ke luar jendela, namun jari-jemarinya saling mengikat dengan punya Sakuta.
Tampak seperti sepasang kekasih.
Sedikit memalukan namun juga mendebarkan.
“Jangan senang dulu,” ucap Mai.
Sakuta yakin kalau Mai tersipu malu, namun dia juga menikmatinya jika dilihat dari ekspresi di wajahnya.
Pada akhirnya, pemberitahuan untuk perhentian terakhir tiba, Ogaki.
Mereka saling berpegangan tangan sampai kereta tersebut berhenti melaju.
Ketika mereka berada di peron Stasiun Ogaki, waktu menunjukkan pukul 12:40 tengah malam---hari berikutnya tiba.
Sakuta menanyakan kepada petugas yang berjaga tentang Mai dan balasan yang ia terima juga sama saja, lalu mereka keluar dari gerbang tiket stasiun.
Mereka memilih gerbang keluar ke arah selatan secara acak, berjalan sampai bertemu dengan terminal bus dan berhenti di sana. Sakuta khawatir kalau mereka keluar di stasiun kereta yang tidak ada bangunan apa pun di sekitarnya namun sepertinya mereka sedang berada di tengah kota. Banyak gedung-gedung bertingkat di sekitar mereka. Seharusnya, tidak akan sulit untuk menemukan tempat menginap.
Satu-satunya pertanyaan adalah di mana mereka harus tidur. Jika ia sendirian, Sakuta akan bermalam di net café sebagai pengganti hotel, tetapi ia tidak ingin mengajak Mai ke sana. Yang lebih penting lagi, pilihan itu langsung tidak sesuai dengan perkataan Mai, “Aku perlu mandi” saat mereka turun dari kereta.
Sakuta juga merasakan hal yang sama.
Mereka menghabiskan banyak waktu bermandikan angin pantai Shichirigahama, dan ia juga sangat ingin membasuh dirinya. Tubuhnya terasa gatal, dan ia yakin kalau tubuh mereka berdua berbau seperti garam.
Ia mempertimbangkan beberapa pilihan namun memilih hotel bisnis di seberang stasiun sebagai pilihan teraman.
Sakuta bertanya apakah ada kamar yang tersedia, dan si pria di meja registrasi hotel menatapnya dengan curiga. Sebuah reaksi yang normal ketika seorang anak SMA tanpa barang bawaan apa pun mencoba untuk menyewa kamar di tengah malam buta.
Namun, Sakuta dapat check-in dengan lancar. Lalu, ia membayarnya di awal agar terhindar dari kecurigaan.
Karena petugas hotel tersebut tidak bisa melihat Mai, maka dia tidak perlu check-in. Sakuta berbalik untuk memastikan Mai setuju untuk sekamar, namun Mai sudah berjalan menuju lift.
Liftnya tiba dan mereka masuk kedalamnya dan menaikinya untuk ke lantai enam.
Kamar mereka berada di ujung lorong. Kamar 601.
Saat Sakuta mencoba mencari cara untuk menggunakan kartu kunci, Mai mengulurkan tangannya dan membukakan pintu untuknya.
“Kau harus mendorongnya sampai ujung, lalu tarik keluar.”
Sakuta mencobanya sendiri namun hal itu terasa aneh baginya. Ia tidak merasakan kalau sedang membuka pintu. Namun, seperti yang Mai katakan pintu tersebut terbuka.
Kamar hotel tersebut ditujukan untuk satu orang dengan satu kasur. Sebuah meja kecil dengan cermin dan ditambah dengan sebuah bangku. Ada juga TV yang berukuran 19” inch, sebuah kulkas kecil, dan sebuah pot tanaman.
Kamar tersebut merupakan definisi dari kata sempit. Ukuran dari kasurnya sendiri mungkin mengambil 70% ruang kamar tersebut.
Ketika ia mengatakan hal tersebut, Mai membalas, “Ini sudah biasa.”
Mai duduk di kasur, menekan remote untuk menyalakan TV, lalu melepas sepatu botnya. Sambil mengayunkan kakinya, dia terus mengganti saluran TV tersebut sebelum mematikannya.
Mai membiarkan dirinya terjatuh ke kasur. Dia pasti kelelahan karena mereka berdua kebanyakan duduk seharian ini. Namun, hal itu juga cukup untuk membuat Sakuta lelah karena sekujur tubuhnya terasa letih.
“Aku mau mandi,” ucap Mai sambil duduk di kasur.
“Silahkan.”
“Jangan mengintip.”
“Jangan khawatir. Aku sudah puas hanya dengan mendengar suaramu saat sedang mandi.”
“……”
Mai menunjuk ke arah pintu masuk. Sebuah tanda bagi Sakuta untuk keluar dari kamar.
“Membiarkan pria muda mendengar suara mandi dirimu dan menderita karenanya adalah sebuah kepuasan tersendiri untuk seorang wanita dewasa.”
“B-baiklah! Aku mengerti. Sangat jelas.” keluh Mai seperti biasanya. “Hanya saja, jangan melakukan hal yang aneh selagi Aku mandi.”
“Aneh bagaimana?”
Tentu saja, Sakuta tahu apa yang Mai maksudkan.
“Aneh ya aneh! Jangan membuatku mengatakannya.”
Dia membalikkan punggungnya dan berjalan menuju kamar mandi. Lalu, dibantingnya pintu kamar mandi dan Sakuta mendengar bunyi *klik* saat Mai mengunci pintunya.
“Tingkahnya sangat imut.”
Akhirnya, Sakuta mendengar suara air mengalir dari shower.
Mendengarkan suara mandi tersebut dengan salah satu telinganya, Sakuta memeriksa telepon ruangan dan tampaknya, telepon di kamar ini bisa melakukan panggilan keluar.
Ia mengangkat gagang telepon tersebut dan menelepon ponsel temannya---nomor yang ia hafal satu-satunya.
Di tengah deringan ketiga, suara yang ia kenal terdengar di telepon.
“Kau tahu jam berapa ini?” tanya Kunimi yang terdengar mengantuk.
“Jam 01:16 malam.”
Ada jam yang ditempatkan di meja.
“Aku tahu!”
“Apa tadi kau sedang tidur?”
“Mencoba untuk tidur! Latihan dan kerja paruh waktu sangat menguras tenagaku.”
“Ini darurat. Aku butuh bantuanmu.”
“Bantuan apa?”
“Sebelum itu, Aku butuh kau untuk menjawab satu pertanyaan---apa kau mengingat Mai Sakurajima?”
Sakuta tidak terlalu berharap. Ia telah menanyakan ke puluhan…atau mungkin ratusan…orang tentang Mai tanpa pernah mendapatkan jawaban yang ia harapkan.
“Huh? Tentu saja.”
“Yeah, tentu saja kau tak mengingatnya ya,” balas Sakuta menjawab secara refleks.
“Apa? Tentu saja Aku mengingatnya,” desak Kunimi yang masih terdengar mengantuk.
Otak Sakuta mulai bekerja. Apa yang baru saja Kunimi katakan?
“Kunimi!”
“Ugh, kenapa kau harus berteriak?”
“Kau mengingat Mai Sakurajima?! Si Mai Sakurajima?”
“Memangnya kenapa?”
Sakuta tidak tahu alasannya, yang jelas tidak masuk akal buatnya. Namun, ia akhirnya menemukan jawaban yang ia cari dengan cara yang tidak ia duga sama sekali. Rasa senang dan terkejut membuat jantungnya berdebar begitu kencang hingga terasa sakit.
“Itu saja? Aku boleh tidur lagi?”
“Tunggu. Beri Aku nomor Futaba.”
“Uh, tentu…”
Kunimi mulai sadar. Sambil mengomel, ia memberi tahu nomor ponsel Rio Futaba. Sakuta menemukan buku catatan di dekat telepon dan mencatat nomornya.
“Sakuta, kau akan menelponnya sekarang?”
“Karena itulah Aku menanyakannya.”
“Dia akan marah jika kau melakukannya.”
“Jangan khawatir. Aku juga akan begitu.”
“Kalau begitu, baiklah. Kau berhutang makan siang untuk ini. Futaba juga.”
“Mengerti. Selamat malam.”
“Yeah…malam…”
Kunimi menutup teleponnya.
Sakuta segera menelpon nomor ponsel Futaba dan dia menjawabnya.
“Ini Azusagawa,” ucapnya.
“Kau tahu jam berapa ini?” keluhnya dengan kesal. Tetapi cara bicaranya jelas---mungkin dia sebenarnya masih bangun?
“Jam 01:19 malam.”
“Jam 01:21. Jam-mu lambat.”
“Oh, benarkah?” Kau pikir hotel bisnis akan mengaturnya dengan benar. “Punya waktu sebentar? Aku butuh nasihatmu tentang satu hal.”
“Kau sedang dalam masalah lagi, kan?”
“Aku tak yakin apa bisa menganggapnya sebagai masalah.”
“Aku bisa mendengar suara air shower mengalir. Kau sedang bersama Sakurajima-senpai?”
“…Bagaimana kau tahu?”
Tebakannya terlalu tepat dan ada sesuatu yang mengganggunya.
“Adikmu yang imut itu tak akan mandi selarut ini dan Aku bisa tahu dari nomor panggilannya kalau kau sedang tak ada di rumah.”
Setelah Futaba mengatakan hal tersebut, Sakuta menyadari hal yang mengganggunya.
“Futaba, kau juga mengingat Sakurajima-senpai? Kau mengenalnya?”
Sakuta harus memeriksanya.
“Kenapa Aku tak mengenal seseorang yang begitu terkenal? Kau ini bodoh atau apa?”
“Suatu hal yang sangat bodoh sedang terjadi. Karena itu Aku meneleponmu selarut ini.”
“Oke. Yah, jika kau punya hal bodoh yang ingin dikatakan, Aku akan mendengarnya,” keluh Futaba.
Sakuta membutuhkan waktu sekitar dua puluh menit untuk menjelaskan segala halnya ke Futaba tentang Mai. Ia mencoba agar tidak menceritakan hal yang masih menjadi dugaannya dan hanya menceritakan tentang apa yang ia saksikan secara pribadi. Futaba menanyakan beberapa pertanyaan saat Sakuta sedang menjelaskan namun selebihnya dia hanya mendengarkan Sakuta.
“…Bagaimana menurutmu?” tanya Sakuta setelah selesai menjelaskan.
Futaba tidak langsung menanggapinya.
“Aku mengerti,” ucapnya kemudian. “Hubunganmu dengan Sakurajima-senpai ternyata jauh lebih dekat dari yang kuduga,” tambahnya.
“Hanya itu yang mau kau katakan?”
“Aku tak ingin mendengar kisah cintamu.”
“Aku tak minta tolong untuk hal itu!”
“Kau baru saja membual selama dua puluh menit tentang hal itu. Di tengah malam seperti ini.”
“Aku tak sedang membual!”
“Pamer kalau begitu.”
“Cobalah bersikap masuk akal!”
“Ceritamu itu pada dasarnya tak masuk akal,” gerutu Futaba.
“Yah, Aku tahu, tapi…kalau dipikirkan lagi. Dibandingkan dengan diriku yang sedang berduaan dengan si Mai Sakurajima, orang lain yang tak dapat melihat maupun mengingat dirinya terkesan lebih masuk akal.”
“Coba katakan lagi.”
“Argh…”
Sakuta sedang bercanda, namun Futaba langsung setuju dengan hal itu.
“Tapi seperti yang sudah kukatakan sebelumnya, Sindrom Pubertas itu bukan sesuatu yang nyata.”
“Aku tahu. Karena itu tak masuk akal, kan?”
“Ya.”
Tetapi dia tidak menuduh kalau Sakuta berbohong mengenai itu karena Sakuta pernah menunjukkan bekas luka di dadanya dan menceritakan tentang hal yang terjadi kepada Kaede. Futaba juga berkata, “Memang tak terdengar masuk akal, namun jika Aku memercayai ceritamu, hal itu akan menjelaskan beberapa hal.”
Tentu saja, Sakuta menceritakan kejadian yang sebenarnya. Sindrom Pubertas Kaede adalah penyebab utama Sakuta memilih untuk pindah dan bersekolah di SMA Minegahara. Jika tidak, ia akan memilih untuk bersekolah di dekat tempat tinggal sebelumnya, tidak bertemu dengan Shoko Makinohara, dan tidak akan tahu kalau SMA Minegahara itu ada.
“Jadi, apa yang kau inginkan dariku?”
“Aku butuh bantuanmu untuk mencari tahu kenapa hal ini terjadi dan memecahkan masalahnya.”
“Permintaanmu itu tak masuk akal, Azusagawa.”
“Aku sudah putus asa sekarang ini.”
“……”
“Uh, Futaba? Kau masih mendengarku?”
“Kunimi pernah berkata…”
“Huh?”
Kenapa sekarang dia membicarakan tentang Kunimi?
“Kau itu mudah sekali mengatakan terima kasih, maaf, dan tolong.”
“Yah, bukan berarti Aku sering mengatakan hal tersebut ke orang lain selain kalian berdua.”
Sakuta mencoba mengalihkan pembicaraannya karena merasa malu, dan Futaba hanya mengabaikan perkataannya.
“Baiklah,” ucapnya. “Aku akan mencoba memikirkannya tapi jangan terlalu berharap.”
“Aku akan sangat mengharapkannya!”
“Dengar ya…”
“Terima kasih. Kau sangat membantu.”
Sejujurnya, Sakuta sangat ketakutan. Pikirannya buntu, ia belum pernah setakut ini semenjak Sindrom Pubertas Kaede. Ia tidak tahu harus mulai dari mana dan hal itu sangat menakutkan buatnya.
Mungkin saja Sakuta juga tidak akan bisa melihat Mai lagi. Tidak dapat mendengar suaranya atau, bahkan lupa kalau Mai itu ada. Hal itu sangat membuatnya takut setengah mati.
“Kau akan ke sekolah besok?”
“Kami sekarang di Ogaki, jadi…mungkin tak akan sempat untuk kelas pagi. Kenapa?”
Futaba tidak akan menanyakannya tanpa suatu alasan.
“Yang ada dipikiranku saat ini adalah sekolah karena hal itu satu-satunya yang menghubungkan diriku, kau, dan Kunimi.”
“Aku mengerti.”
“Jadi, kupikir penyebab utamanya berada di sekolah ini.”
“…Ada benarnya juga.”
Sakuta baru saja mengingat sesuatu. Hari ini---atau tepatnya sore kemarin---sesaat setelah ia bertemu dengan Mai, mereka berpapasan dengan Tomoe Koga, seorang siswi SMA Minegahara yang ia temui saat menolong gadis kecil yang hilang.”
Saat di stasiun, Koga dapat melihat Mai dan begitu juga dengan teman-temannya.
“Mungkin datang ke sini hanya membuang waktu…,” ucap Sakuta.
Sambil menjelaskan ke Futaba tentang Koga dan temannya.
“Aku tak akan menganggapnya sia-sia,” ucap Futaba. “Informasi yang kau kumpulkan membuatku dapat lebih memahami situasinya dan itu membantuku untuk berasumsi kalau akar masalahnya berada di sekolah.”
“Oh…ya, kalau begitu bagus. Aku sepertinya tak akan sempat datang sebelum jam makan siang, tapi Aku akan tetap pergi ke sekolah. Maaf mengganggumu tengah malam begini.”
“Kau sebaiknya datang.”
Futaba menguap dan menutup teleponnya. Sakuta meletakkan kembali gagang telepon ke tempatnya.
Ia menyadari kalau ia sedang berdiri tanpa alasan yang jelas, kemudian Sakuta duduk di kasur.
Suara shower berhenti terdengar. Sakuta begitu sibuk dengan panggilan teleponnya hingga ia tidak menyadarinya.
“Sial! Dia sudah selesai mandi!” gumamnya.
Pintu kamar mandi terbuka sedikit. Mai menunjukkan wajahnya dengan handuk yang membungkus kepalanya. Sakuta dapat melihat bahu telanjangnya dengan sekilas, memerah karena panas air mandi dan uap dapat terlihat darinya.
“Celana dalamku!” ucap Mai.
“Huh?”
“Aku tidak masalah memakai pakaian yang sama, tapi tidak dengan celana dalam dan kaus kakiku? Ew!”
“Haruskah Aku mencucinya untukmu?”
“Aku lebih baik mati.”
“Jika itu celana dalammu, Aku tak keberatan sekotor apa pun itu.”
“Punyaku tidak kotor!”
“Sayang sekali. Padahal akan lebih berharga jika seperti itu.”
“Hentikan candaan mesummu itu!”
Mai mengambil handuk di kepalanya dan melemparnya ke arah Sakuta. Mengenainya tepat di wajahnya. Sakuta terlalu sibuk menatap rambut basah Mai yang berkilau untuk menghindar dari handuk tersebut.
Tetapi tidak menghindarinya juga sebuah pilihan yang tepat. Ada aroma harum yang dapat tercium di handuk ini---mungkin aroma dari sampo yang digunakan.
“Aku boleh menganggap kalau kau sedang telanjang saat ini?”
“Aku masih memakai handuk!”
“Ohhh!”
“Berhenti membayangkannya!”
“Aku bebas membayangkannya sesukaku.”
“Kenapa kau terdengar seperti predator seks?!”
“Bagaimana mungkin Aku tak terangsang ketika Aku berduaan di kamar hotel dengan seorang gadis secantik dirimu?”
“Kau menyalahkanku untuk itu?!”
“Jika dipikirkan lagi, setengahnya itu salahmu.”
Saat mengatakan hal tersebut, Sakuta berdiri dan memeriksa dompetnya.
“Aku akan pergi ke minimarket dan membeli beberapa celana dalam. Aku juga perlu mengganti punyaku.”
“Kau yakin?”
“Uangku cukup.”
Sakuta menunjukkan uang yang ada di dompetnya. Sebelum meninggalkan Stasiun Fujisawa, ia mengambil semua uang yang telah ia peroleh dari kerja paruh waktunya. Jumlahnya sekitar 50.000-yen atau lebih, tetapi jumlah itu sudah lebih dari cukup untuk membeli celana dalam 5000-yen yang tersedia di minimarket.
“Bukan itu, maksudku…bukannya para pria merasa malu dengan hal semacam itu?”
“Mm? Oh, tentu saja. Tapi Aku sudah terbiasa.”
“Sungguh?” tanya Mai, karena tidak yakin dengan apa yang ia ucapkan.
“Setelah membeli pembalut untuk menstruasi adikku, Aku berhenti memperdulikannya. Para petugas minimarket bahkan terkejut dengan tingkahku.”
Karena Kaede mengurung dirinya di rumah, Sakuta harus membelikan pakaian dan celana dalamnya.
“Kau jenis pelanggan yang terburuk.”
“Aku segera kembali.”
“Tunggu, Aku ikut.”
Kepala Mai masuk kembali ke dalam kamar mandi, menutup pintu, dan menguncinya. Dia benar-benar waspada dan tidak memercayai Sakuta sama sekali.
“Aku bisa membelinya sendiri.”
“Aku takut kau memilih jenis yang aneh.”
“Bukan berarti banyak pilihan yang tersedia.”
Minimarket hanya menjual barang-barang standar.
“Memikirkan kalau Aku harus memakai celana dalam yang dibeli oleh seorang pria membuatku jijik!”
Mai pasti memakai pakaiannya di kamar mandi yang sempit itu. Sakuta bisa mendengar keluhnya saat dia berpakaian. Hal itu menurutnya juga cukup seksi.
Beberapa saat kemudian, ia bisa mendengar suara alat pengering rambut menyala.
Ia harus menunggu selama sepuluh menit lebih sebelum Mai keluar dari kamar mandi.
“Ayo,” ucap Mai.
“Baiklah.”
0 Comments
Posting Komentar