Kenangan Kita Berdua
(Bagian 3)
(Penerjemah : Nana)
Sakuta dan Mai meninggalkan hotel lewat pintu belakang---untuk menghindar dari meja registrasi di pintu utama. Seorang anak SMA yang sedang bepergian sendiri akan menjadi pusat perhatian. Sakuta tidak perlu menarik perhatian lebih lanjut seperti yang sudah ia lakukan saat pertama kali check-in.
Karena tidak ada yang dapat melihat Mai, hal itu menjadi nilai tambah buatnya. Jika mereka berdua check-in sebagai sepasang kekasih, hal itu akan menimbulkan perhatian besar yang mana akan berakhir dengan keterlibatan polisi. Tentu saja, jika orang lain dapat melihatnya, mereka tidak perlu susah payah untuk datang ke tempat ini awalnya…
Sakuta melihat ke arah kanan dan kiri jalan. Sekitar empat puluh meter dari stasiun kereta terlihat papan tanda yang bercahaya hijau---sebuah minimarket.
Mereka berjalan ke arah minimarket tersebut.
Di waktu selarut ini, terdapat beberapa orang yang masih berlalu-lalang. Awalnya, mereka tidak berbicara sama sekali.
“Rasanya aneh,” ucap Mai sesaat kemudian. Kedua tangannya saling menggenggam membelakangi punggungnya dan tampak menikmati pemandangan kota yang tertidur.
“Apanya?”
“Berada di kota yang asing seperti ini.”
Mai dengan sengaja membunyikan langkah kakinya yang mengenakan sepatu hak tinggi ke jalan beraspal seperti prajurit yang sedang berjalan.
“Kukira kau sering bepergian, syuting?
“Aku tidak bepergian ke mana pun. Melainkan dibawa ke berbagai tempat.”
“Ahhh, Aku mengerti perasaan itu.”
Sakuta pernah berlibur bersama keluarganya hingga ke Okinawa, lebih jauh jika dibandingkan dengan Ogaki. Saat SMP dia juga pernah berkaryawisata ke Kyoto, sedikit lebih jauh dari tempat mereka saat ini dan saat di SD, sekolahnya pergi ke Nikko. Ia pernah pergi ke berbagai tempat sebagai bagian dari tamasya sekolah, tetapi ia tidak merasa kalau ia sendiri yang pergi ke tempat itu.
Sama seperti yang Mai katakan, ia hanya dibawa ke tempat itu.
Untuk beberapa alasan, Sakuta menikmati perjalanan ini sama seperti Mai. Ia mungkin merasakan debaran di dada saat mengalami pengalaman baru ketika mereka menaiki kereta di Jalur Tokaido saat di Stasiun Fujisawa.
Mereka memilih kereta tanpa menentukan tujuan tertentu, hanya berpikir untuk menjauh sejauh yang mereka bisa. Mencoba mencari seseorang yang dapat melihat Mai, seseorang yang masih mengingatnya…
Karenanya mereka berdua datang ke kota ini sesuai keinginan mereka sendiri. Mereka juga harus kembali ke kota asal mereka dengan diri mereka sendiri. Hal itu memang melelahkan namun juga terkesan menyenangkan.
Mereka seperti sedang berpetualang bersama. Tanpa Sindrom Pubertas pun, mereka benar-benar mendobrak keluar dari rutinitas harian mereka. Pengalaman baru tersebut terasa menyenangkan.
“Ketika Aku tidak sedang syuting, Aku harus menghabiskan waktuku di hotel. Bahkan, jika Aku belum pernah mengunjungi suatu tempat, orang-orang yang tinggal di sekitar tempat tersebut mengenaliku, jadi Aku tidak terlalu ingin bepergian keluar.”
“Kau sedang pamer?”
“Kau tahu kalau Aku tidak sedang melakukannya, tapi kau tetap menanyakannya. Kau hanya ingin diperhatikan?”
Mai tersenyum. Dia mengetahui niat Sakuta.
“Kau sangat mengertiku,” Sakuta mengaku sambil tersipu malu.
“Kau seperti anak kecil,” keluh Mai. “Tapi, kurasa yang paling aneh dari semua ini adalah diriku yang sedang berjalan bersama pria yang lebih muda dariku di kota yang asing ini.”
“Aku juga tak pernah membayangkan kalau Aku bisa pergi ke tempat yang jauh seperti ini bersama dengan si Mai Sakurajima.”
“Kau harusnya merasa terhormat.”
“Sebuah kehormatan yang tak akan pernah kulupakan.”
Sakuta sengaja mengatakan kata-kata tersebut, ia sangat paham akan artinya. Hal itu bukanlah sebuah gagasan yang dapat mereka hindari. Mai benar-benar menghilang dari ingatan orang-orang.
“……”
Mai tidak membalasnya.
Hal itu membuat Sakuta untuk menegaskan kembali kata-katanya.
“Aku tak akan pernah melupakan ini.”
“……Kalau kau sampai melupakannya?”
“Aku akan memakan Pocky dari hidungku.”
“Jangan bermain-main dengan makananmu.”
“Kan itu idemu!”
Terlihat senyuman di wajah Mai, tetapi cuma sebatas itu saja.
“Sakuta.”
“Apa?”
“Kau janji?”
“……”
“Kau benar-benar tidak akan melupakanku?”
Tatap Mai dengan ragu. Seperti sedang mengujinya.
“Dirimu yang memakai kostum bunny girl sudah tertanam di otakku.”
Mai menghela napas panjang. “Kau masih menyimpannya, kan?” tanyanya. Pertanyaannya terdengar kalau dia yakin kalau Sakuta masih menyimpannya. Tapi yah, memang benar jadi…
“Tentu saja.”
“Kalau begitu, kau sudah melakukan hal yang aneh dengannya.”
“Belum sempat.”
“Buang kostum itu saat kau pulang.”
“Aww.”
“Jangan membantah!”
“Aku berharap kau mau mengenakannya lagi.”
“Aku terkejut kau bisa mengatakan hal itu tanpa rasa malu.”
Mai tampak sangat terkejut.
Sakuta tidak akan menyerah begitu mudahnya. Ia terus menatap ke arah Mai.
“Yah, mungkin sekali saja,” ucap Mai sambil melipat kedua tangannya di dada. Dia tidak terdengar seperti tersipu malu. “Sebagai balasanmu setelah semua ini berlalu.”
“Tidak, Aku sangat berterima kasih!”
“Mengabulkan fantasi seksual dari seorang pria yang lebih muda dariku itu bukan apa-apa buatku,” ucapnya sambil memalingkan wajahnya dari Sakuta. Situasinya terlalu gelap saat ini tanpa ada penerangan yang memadai, tetapi Sakuta bisa melihat wajah Mai yang terlihat memerah.
“Yah, pertama-tama, kau harus membeli celana dalam dulu.”
“Aku tidak akan membiarkanmu memilih.”
Mereka sampai di minimarket tersebut sebelum bisa menyelesaikan masalah celana dalam.
Si petugas pria yang berjaga di kasir menyapa Sakuta dengan lesu. Tidak ada pelanggan lain selain mereka. Ada satu petugas lain yang sedang mengisi persediaan permen saat sedang sepi seperti ini.
Mereka menemukan yang mereka butuhkan di rak dekat pintu. Sakuta mengambil sebuah keranjang belanja dan mengikuti Mai.
Kaus kaki, kaus oblong, handuk, stocking, dan tentu saja, kaus dalam dan celana dalam yang mereka cari.
Sakuta tidak pernah memperhatikan sebelumnya, tetapi pilihannya jauh lebih baik dari yang ia harapkan. Semua hal tersebut terlipat kecil ke dalam suatu pembungkus plastik, mudah diambil dan dibawa.
Pakaian dalam wanita terdiri dari kaus dan celana dalam yang dijual secara terpisah. Dengan ukuran S atau M, dan warna yang tersedia hanyalah warna hitam dan pink.
Tanpa ragu, Mai mengambil sepasang kaus dalam dan celana dalam berwarna hitam dan menaruhnya di keranjang. Ditambah dengan sepasang kaus kaki.
“Yang pink lebih bagus.”
“Lagi pula, kau juga tidak akan melihatnya.”
“Sayang sekali. Aku sangat ingin melihatnya.”
“Jika kau terus berbicara seperti orang bodoh, nanti kau akan menjadi bodoh.”
Mai mencoba menahan rasa kantuknya dan berjalan menuju rak makanan-minuman.
Sepertinya ia tidak bisa memaksanya, jadi Sakuta mengambil kaus oblong, kaus kaki, dan sepasang celana boxer untuk dirinya dan mengikut Mai.
“Hitam juga bagus.”
“Apa katamu?”
“Bukan apa-apa!”
Saat kembali ke hotel, mereka mengganti pakaian, lalu mengisi perut mereka dengan nasi kepal dan roti isi. Mereka sudah makan saat di kereta, namun itu sudah empat jam yang lalu---jadi mereka berdua cukup lapar sejak tadi.
Setelah memakan kudapan tersebut, Sakuta pergi mandi. Ketika ia selesai…
“Kita harus kembali besok pagi,” ucapnya.
Mai terlihat terkejut mendengarnya. “Khawatir dengan adikmu?” tanyanya.
“Itu salah satu alasannya. Tapi, Aku juga menemukan seseorang yang mengingat dirimu.”
“…Sungguhan?”
“Kedua temanku di sekolah.”
“Kapan kau…?”
“Aku menelepon mereka ketika kau sedang mandi.”
Sakuta menatap ke arah telepon di meja.
“Menelepon selarut ini dapat merusak pertemananmu.”
“Aku sudah bilang maaf. Jadi tak apa-apa.”
“Kau tampak sangat percaya diri.”
“Jika salah satu dari mereka juga melakukan hal yang sama, Aku akan memaafkannya.”
“Mari berharap kalau perkataanmu itu benar. Tapi…oh. Kau bukan orang terakhir yang mengingatku.”
“Mungkin penyebabnya berada di sekolah.”
Sakuta tidak yakin. Namun, hanya itu yang menjadi petunjuk satu-satunya saat ini. Mereka hanya bisa berharap dan berhati-hati bertindak.
“Oke. Kalau begitu kita butuh istirahat.”
“Uh…jadi di mana Aku harus tidur?”
Mai sudah mengambil alih kasur. Dia mengenakan jubah mandi sebagai pengganti piama. Dia hanya menatap Sakuta, tanpa menjawab pertanyaannya.
“Di lantai? Bak mandi? Kurasa pihak hotel akan marah jika Aku tidur di luar kamar.”
Mai menatap ke Sakuta selama beberapa menit, lalu menatap ke arah kasur.
Dia membutuhkan waktu lama untuk memikirkannya.
Lalu Mai bertanya, “Janji tidak akan melakukan hal aneh?”
“Aku janji,” Sakuta membalasnya sedetik kemudian.
“Bohong,” balas Mai tanpa percaya sedikit pun ke Sakuta. “Tapi, kurasa Aku sendiri yang membiarkanmu untuk membawaku ke hotel.”
“Jangan membuatnya seperti Aku sudah menipumu!”
“Aku akan mengizinkanmu untuk berbaring di sebelahku. Hanya untuk tidur, ingat.”
“Benarkah?”
“Atau kau lebih suka tidur di luar?”
“Aku ingin tidur denganmu.”
Dilihat dari situasinya, kata-kata yang baru saja diucapkannya seperti memiliki maksud lain.
“……”
Hal itu jelas membuat Mai curiga. Sakuta segera mengulang kembali kata-katanya.
“Aku ingin tidur di sebelahmu.”
“……Baiklah.”
Mai membuat ruang dan Sakuta segera membaringkan dirinya. Tempat di mana Mai duduk masih terasa hangat.
“……”
“……”
Sakuta mencoba untuk tertidur. Tapi…
“Sakuta…,” ucap Mai.
“Ya?”
“Ini sangat sempit.”
Kasur tersebut memang tidak diperuntukkan untuk dua orang. Tampaknya mereka tidak akan terlalu bebas bergerak selama tidur.
“Haruskah Aku bergeser?” tanyanya sambil berbalik ke arah Mai.
Mai juga melakukan hal yang sama dan pandangan mereka bertemu. Wajahnya hanya berjarak beberapa senti dari wajah Sakuta. Bahkan, dengan cahaya lampu yang redup, Sakuta hampir dapat menghitung jumlah bulu mata Mai.
“Katakan sesuatu.”
“Seperti apa?”
“Hal yang lucu.”
“Permintaanmu sulit sekali. Apa kau senang menyiksaku?”
Sarkasme adalah caranya menghindar.
“Mungkin,” balas Mai tanpa mengubah ekspresi wajahnya.
“Jika kau tak menyukainya, kenapa kau melakukannya?”
“Karena kau senang ketika disiksa olehku.”
“Dan kau sangat sadar akan hal tersebut ketika menggodaku! Kau ini ratu sejati.”
“Sifat masokis mu sangat jelas terlihat hingga Aku harus memberimu sedikit hadiah.”
“Tak ada seorang pria yang tak tergerak jiwanya jika seorang senpai yang cantik menyiksa mereka.”
“Apa itu pujian untukku?”
“Yang tertinggi.”
“Hmph.”
Percakapannya terhenti.
Tanpa percakapan mereka berdua, satu-satunya suara yang terdengar adalah suara dari pendingin ruangan dan kipas ventilasi di kamar mandi. Tidak ada suara mobil yang lewat di jalanan. Juga tidak terdengar suara apa pun dari kamar di sebelah mereka.
Hanya mereka berdua saja.
Sakuta sedang berduaan bersama Mai di sebuah kamar kecil.
Sakuta tidak berusaha untuk mengalihkan pandangannya dari Mai.
Mai juga tidak berusaha untuk mengalihkan pandangannya dari Sakuta.
“……”
“……”
Sebuah keheningan menyertai mereka untuk waktu yang lama.
Dengan berkedip sesekali. Suara dari napasnya.
Seketika, dia mengatakan sesuatu.
“Hei, mau ciuman?” ucapnya.
Sakuta terkejut namun berusaha untuk tetap tenang.
“Mai-san, kau sedang terangsang?”
“Dasar bodoh.”
Dia tidak marah dengan candaan Sakuta. Wajah Mai juga tidak memerah atau tersipu malu. Dirinya hanya tersenyum seolah-olah hal tersebut lucu baginya.
“Kita harus segera tidur. Selamat malam.”
Mai berbalik, membuang muka dari Sakuta.
Rambutnya tergerai. Sakuta bisa melihat tengkuk lehernya. Jika ia terus menatapnya, ia yakin kalau ia akan mulai memeluknya. Jadi ia juga berbalik, dengan saling memunggungi.
“Sakuta.”
“Katamu mau tidur?”
“Jika tubuhku mulai gemetaran dan dalam tangisku berkata kalau, ‘Aku tidak ingin menghilang!’ apa yang akan kau lakukan?”
“Aku akan memelukmu dari belakang dan berbisik, ‘semua akan baik-baik saja,’”
“Kalau begitu Aku tidak akan pernah mengatakannya.”
“Masih belum cukup?”
“Kurasa secara ‘tak sengaja’ kau akan mencoba memegang payudaraku.”
“Bagaimana dengan bokongmu?”
“Tentu saja tidak boleh,” ucapnya seperti sedang mengusir serangga, “……Aku sudah memutuskan akan kembali berakting. Aku tidak bisa menghilang sekarang.”
Suaranya terdengar seperti orang sedang berbisik.
“Benar sekali.”
“Aku sangat ingin kembali tampil di TV dan film. Aku juga ingin berakting di atas panggung. Aku ingin bekerja bersama para direktur, aktor-aktris lain, dan staf yang luar biasa hebatnya. Menghasilkan sebuah mahakarya dan merasa kalau Aku hidup kembali.”
“Setelah itu, berakting di Hollywood!”
“Ha-ha, hal tersebut akan menyenangkan.”
“Aku seharusnya minta tanda tanganmu sekarang juga.”
“Tanda tanganku sudah cukup berharga, kau tahu.”
“Kurasa benar juga.”
“Aku benar-benar…tidak bisa menghilang sekarang ini.”
“……”
“Tidak ketika Aku baru mengenal seorang pria muda yang sangat lancang hingga membuatku ingin berangkat ke sekolah setiap harinya.”
“Aku tak akan melupakanmu.”
Mereka saling membelakangi.
“……”
Mai tidak membalasnya.
“Mai-san, Aku berjanji kalau Aku tak akan melupakanmu”
“Bagaimana kau bisa begitu yakin?”
Sakuta mengabaikan pertanyaannya.
“Jadi kita bisa ciuman kapan pun yang kita mau. Tak harus sekarang ini. Kita tak perlu terburu-buru. Bahkan, tak harus denganku. Aku tahu kau akan mampu bersaing di Hollywood. Kau bisa melakukan apa pun yang kau mau. Aku yakin dengan hal itu.”
Mai terdiam untuk sesaat.
“…Kau benar,” ucapnya. “Sayang sekali. Kau melewatkan kesempatanmu untuk mencuri ciuman pertamaku.”
“Kau seharusnya memperingatkanku!”
“Sudah terlambat.”
Sakuta dapat mendengar tawa kecilnya.
Tetapi hal itu segera menghilang.
“Terima kasih,” ucap Mai. “Karena tidak menyerah dengan diriku. Terima kasih.”
“……”
Sakuta tidak membalasnya. Ia berpura-pura tertidur. Jika mereka melanjutkan pembicaraannya, ia pasti akan memeluk diri Mai.
Setelah beberapa saat, napasnya melambat. Mai akhirnya tertidur.
Sakuta juga mencoba untuk tertidur. Namun, ia tidak bisa melakukannya karena sangat sadar akan diri Mai yang sedang tertidur di sampingnya.
0 Comments
Posting Komentar