Anggota Keluarga Baru
(Penerjemah : Hikari)
Saat matahari mengoyak kegelapan malam, Ayah yang pertama kali mendengar erangan Ibu dan melompat dari tempat tidur.
“Tuuli, Myne. Ibu kalian akan melahirkan. Ayah akan memanggil bidan! Kalian berdua berpakaian dan lakukan apa yang harus kalian lakukan!” kata Ayah sambil bergegas berpakaian dan menghambur keluar rumah untuk memanggil bidan.
Semua orang kecuali aku sepertinya tahu apa peran mereka di sini, dan sebelum aku mengetahuinya, Tuuli berganti baju dan berlari ke pintu depan. “Aku akan menjemput Karla! Myne, kau ganti baju dan jaga Ibu!”
“Baik!” Aku mengangguk kuat, terbawa suasana sesaat, tapi sama sekali tidak tahu apa yang harus kulakukan sementara menjaga Ibu. Aku begitu panik sampai-sampai tidak terpikir apapun.
“Um, umm...”
“Myne. Tolong, air,” pinta Ibu dengan susah payah. Aku cepat-cepat ke dapur, di mana aku menuangkan air dari kendi ke sebuah cangkir dan kubawa padanya. Dia memberiku seulas senyum tipis dan meneguk air itu.
Aku melihat butiran-butiran keringat besar di keningnya dan pergi untuk menyiapkan sehelai kain, dan kemudian mendadak teringat sesuatu yang penting.
...Kebersihan! Disinfeksi! Sanitasi adalah hal yang benar-benar vital!
Rumah kami lebih bersih daripada kebanyakan rumah lainnya. Tuuli dan Ibu membantu menjaga rumah tetap bersih karena mereka berpikir aku hanya gila kebersihan, dan saat ini semua orang terbiasa mencuci tangan karena kebiasaan. Tapi tidak sama halnya untuk bidan dan ibu-ibu tetangga sekitar yang akan datang membantu.
“A-A-Apa yang harus kulakukan?!” Aku setidaknya ingin mereka mencuci dan mendesinfeksi tangan dengan alkohol, tapi sudah jelas tidak ada alkohol desinfektan di rumah kami. “A-Apa ada minuman beralkohol di sini yang bisa kugunakan… Um, umm…”
Kami tidak punya minuman beralkohol yang cukup murni untuk digunakan sebagai desinfektan seperti vodka. Wine yang kupakai untuk rumptopf mengandung kadar alkohol yang sangat tinggi, tapi ada terlalu banyak kotoran untuk bisa digunakan. Kalau aku pulang dari biara lebih cepat, aku bisa meminta Benno untuk menemukan minuman keras dengan kadar alkohol tinggi.
“...Tapi ini jelas lebih baik daripada tidak sama sekali.” Kotoran dari luar tidak diragukan lagi lebih parah daripada kotoran yang ada dalam alkohol. Aku menemukan wine dan beberapa kain bersih untuk mempersiapkan proses desinfektan.
“Aku pulang. Aku akan mengambil air.”
Begitu Tuuli kembali, dia pergi lagi dengan sebuah ember di tangan. Menggantikannya, datang Karla dan beberapa ibu-ibu tetangga. Mereka masing-masing membawa ember penuh dengan air dari sumur, yang mereka tuangkan ke dalam bak dan kemudian dipanaskan di atas api untuk didihkan.
“Tuuli, kita perlu membuat tangan semua orang bersih. Dan kita harus memasukkan peralatan-peralatannya ke dalam air mendidih untuk mensterilkannya. Kita harus—” aku melompat pada Tuuli sebelum dia meninggalkan rumah untuk pergi mengambil air.
“Ya, ya. Kebersihan. Aku mengerti. Baik. Aku paham. Jadi temani Ibu, Myne.” Akan tetapi, Tuuli mengabaikanku, karena aku tidak akan bisa membantu sama sekali dalam proses kelahiran. Dia hanya mendorongku ke kamar dan pergi.
Aku berjalan mendekati Ibu dan meraih tangannya sementara dia bernapas berat. Saat nyeri persalinan menyerangnya, dia meremas tanganku begitu keras sampai-sampai kupikir tulang-tulangku akan patah.
“Ibu, saat melahirkan, Ibu harus menarik dan menghembuskan napas. Seperti hee hee hoo. Itu disebut teknik (Lamaze).”
“Ah...apa?” Meskipun kesakitan, Ibu memberiku seulas senyum samar.
“Umm, itu adalah teknik pernapasan untuk membantu meringankan rasa sakit. Maaf, aku tidak begitu mengingatnya dengan baik.”
Di masa-masa aku sebagai Urano, aku bahkan tidak pernah mempertimbangkan bahwa aku akan hamil atau berurusan dengan apapun membantu seseorang melahirkan, jadi aku tidak begitu repot-repot membaca tentang kehamilan. Aku tahu tentang teknik Lamaze, tapi tidak cukup ingat untuk menjelaskan apa itu dan kenapa itu membantu.
“Hee hee hoo, ‘kan?” Ibu tertawa dan kami menarik dan menghembuskan napas bersama-sama sementara dia menahan nyeri persalinan.
Tidak lama kemudian, bidan dan ibu-ibu tetangga masuk ke dalam kamar. Aku terkesiap melihat mereka dan melebarkan tanganku di depan tempat tidur untuk menjauhkan mereka dari Ibu.
“Sebelum kalian melakukan apapun, cuci tangan kalian untuk memastikannya bersih!”
“Aaah, benar. Aku lupa kalau kau ini gila kebersihan,” kata Karla jengkel, tapi dia maju duluan dan memberitahu ibu-ibu lainnya untuk membersihkan tangan mereka. Begitu selesai, aku menyuruh mereka mengelap tangan dengan kain yang kubasahi wine.
Itu seharusnya sedikit membantu.
“Nah, Myne, kau akan menghalangi saja di sini. Keluarlah ke dapur. Dan bilang pada Gunther yang tidak berguna itu untuk berhenti mondar-mandir dan siapkan kursinya. Dia sudah punya banyak anak dan masih tidak mendengarkan yang kami katakan? Ya ampun.”
Aku meringis melihat kain lap yang berubah kotor saat mereka mengeringkan tangan mereka. Itu artinya mereka tidak benar-benar bersih, tapi sebelum aku bisa mengatakan apapun, Karla memaksaku keluar dari kamar. Tidak ada pilihan lain, aku memberitahu Ayah apa yang Karla katakan dan membantunya menyiapkan kursi.
“Ayah, benda di kursi ini untuk apa?” tanyaku, melihat papan bernoda dan kotor yang menjadi tempat duduk. Dia memberitahuku bahwa di situlah Ibu akan duduk saat melahirkan.
Begitu aku mengerti itu adalah papan melahirkan model lama, aku merasa darah terkuras dari wajahku. Aku menyambar kain dan alkohol bahkan tanpa berpikir lagi. “...Aku harus mendesinfektan ini.”
“Myne, hei! Apa yang kau lakukan dengan minuman Ayah?”
“Ibu akan duduk di sini, ya ‘kan? Aku harus mendesinfektannya dengan alkohol.”
Aku mengabaikan tangisan Ayah dan mengelap kursi itu dengan kain yang dibasahi wine, sampai akhirnya seorang wanita yang lebih tua datang untuk mengambilnya. Dia tertawa saat melihat aku yang memolesnya habis-habisan.
“Oh, kau membersihkannya juga? Hah, kau benar-benar gila kebersihan. Gunther, hanya ini yang kami butuhkan darimu. Pergilah ke bawah sekarang, mengerti?”
Kelihatannya, adalah hal terlarang bagi pria untuk berada di sini saat kelahiran. Dengan Ayah yang sudah menyelesaikan semua yang harus dilakukan seorang ayah, dia pergi menuruni tangga.
“Aku akan tetap bersama Ibu.”
“Kau pergi juga, Myne. Kau hanya akan mengganggu dengan jeritanmu soal kebersihan dan semacamnya.”
“Tapi itu sebenarnya penting!”
“Tentu, tentu. Pergilah sekarang.”
Tuuli keluar masuk kamar tidur untuk membantu, tapi aku langsung ditendang keluar. Pintu ditutup di belakangku dan aku tidak bisa masuk lagi.
“Ibu...”
Mereka menyebutku gila kebersihan hanya karena aku meminta tingkat kebersihan minimal. Hanya dengan memikirkan sejarah tingkat kematian saat kelahiran membuatku merinding ketakutan. Aku begitu mencemaskan Ibu sehingga aku ingin secara pribadi mendesinfektan setiap ibu-ibu di sana, tapi tidak ada lagi yang bisa kulakukan.
Ibu masuk proses persalinan saat matahari baru mulai terbit, tapi sekarang matahari sudah sedikit di atas horizon dan bersinar cukup untuk menerangi alun-alun sehingga kami bisa melihat dengan jelas. Kami berjalan ke luar, dan aku melihat para pria di lingkungan kami mulai mengurusi beberapa ekor burung.
“Ayah, apa yang orang-orang lakukan?” tanyaku, berjalan ke sumur di mana dia mulai mondar-mandir dengan gelisah dan ikut serta dengannya.
“...Laki-laki tidak bisa di tempat melahirkan, jadi kami menyiapkan upacara penamaan.”
"Apa itu upacara penamaan?"
Anak-anak tidak bisa ke biara sampai mereka dibaptis, jadi aku tidak mengira akan ada upacara keagamaan apapun untuk para bayi. Tapi dinilai dari namanya, aku bisa menebak bahwa itu adalah semacam perayaan di lingkungan.
Menurut Ayah, para pria diminta oleh para wanita selama proses kelahiran agar pergi membeli burung-burung, membului dan memanggangnya untuk upacara penamaan. Itu adalah sebuah perayaan kecil di mana para pria memasak untuk diri mereka sendiri karena para isteri tidak ada untuk memberi mereka makan, untuk para wanita yang selesai membantu dengan kelahiran dihadiahi makanan, dan untuk semua orang merayakan kelahiran anak yang baru.
"Apa-apaan kalian berdua mondar-mandir di sekitar sumur?" seseorang bertanya. Aku menoleh dan melihat Lutz dengan seragam Firma Gilberta-nya menyengir pada kami, berusaha menahan tawa.
“Lutz!”
Dia melirik ke arah rumah kami. "...Bagaimana keadaan Nyonya Effa? Terjadi sekarang, ya?"
Aku mengangguk.
"Kurasa kau tidak akan pergi ke biara hari ini, kalau begitu. Akan kusampaikan kabarnya ke sana."
“Makasih, Lutz.”
"Dan kurasa aku akan mengambil kesempatan ini untuk memberitahu kalau aku akan libur kerja hari ini. Akan ada upacara penamaan, 'kan? Bayi itu pasti akan lahir dengan sehat; aku tahu aku akan harus melewatkan pekerjaan," kata Lutz sambil menyengir.
Ayah balas menyengir dan mengangguk kuat.
Setelah melihat kepergian Lutz, Ayah dan aku kembali mondar-mandir di sekeliling sumur.
"Ayah, bukankah kau harus memberitahu gerbang kalau kau akan libur kerja?"
"Al melakukan itu untukku saat dia pergi membeli burung. Aku tidak akan pergi sedikit pun dari sini."
“Baiklah.”
Sementara kami terus mondar-mandir di sekitar sumur, ayah Lutz, Deid, memanggil kami dengan suara menggelegar. "Gunther, Myne! Kalau kalian tidak bisa duduk diam, setidaknya bantulah kami di sini. Ini selalu terjadi padamu, Gunther, dan itu benar-benar melelahkan!"
Deid meminta Ayah dan aku mencuci sayuran, yang kami lakukan sambil jongkok di depan sumur dan melanjutkan pembicaraan kami. Aku tidak tahu seberapa berbahayanya kelahiran di sini, jadi kalau aku tidak terus menyibukkan pikiran dengan sesuatu, aku tidak akan bisa menghentikan diriku bergegas kembali ke dalam.
"Ayah, berapa lama biasanya kelahiran berlangsung?"
"Yang bisa Ayah ingat hanyalah menunggu kau dan Tuuli lahir sepertinya lama sekali. Rasanya seperti Ayah ada di sini sepanjang hari."
"Kelahiranmu benar-benar cepat, Gunther. Anak Al perlu waktu lebih lama," kata Deid, yang datang untuk mengambil air, dengan gelengan meremehkan.
Dari sudut pandang Ayah itu mungkin memakan waktu lama, tapi menurut orang lain, ibuku cenderung melahirkan relatif cepat. Itu membuatku lega, tapi Ayah hanya mengerut, alisnya saling mendorong membentuk ekspresi menyedihkan.
“Aku tidak peduli apakah itu cepat atau lambat. Selama kelahiran kali ini berjalan aman, aku tidak peduli perlu waktu berapa lama.”
“Kali ini?” tanyaku tanpa terlalu memikirkannya. Mungkin dia sedang mengatakan dia ingin anak yang sehat kali ini daripada yang sakit-sakitan sepertiku.
“Anak pertama kami mengalami keguguran. Berikutnya adalah anak laki-laki, tapi dia meninggal sebelum genap setahun. Kau dan Tuuli bertahan, tapi yang berikutnya tidak sampai akhir musim dingin. Dan yang berikutnya lagi keguguran. Aku ingin bayi ini selamat kali ini.”
Kenyataan kejam tingkat kelangsungan hidup di sini membuat rahangku membuka karena ngeri. Aku sudah membaca tentang betapa rendahnya kesempatan hidup dari buku-buku tentang abad pertengahan, dengan sebagian besar anak tidak bertahan lama, tapi itu tidak pernah benar-benar sampai di kepalaku hingga saat ini. Hal tersebut memberi lebih banyak beban mengerikan ketika aku mendengarnya dari Ayah, yang telah melihat sendiri anak-anaknya meninggal lebih cepat. Rasa takut itu begitu besar sampai-sampai aku pun mendongak ke lantai lima bangunan kami. Ibu ada di sana, berjuang untuk nyawanya sendiri dan si bayi.
“Ibu akan baik-baik saja, ya ‘kan?”
“...Myne, kau sebaiknya berdoa untuknya.”
Aku langsung mengangkat tanganku dan berdoa pada para dewa dari dalam lubuk hatiku. “Semoga ibuku mendapat berkat dan perlindungan ilahi dari Entrinduge, Dewi Kelahiran dan bawahan dari sang Dewi Air.”
Lutz kembali dari Firma Gilberta dan panti asuhan dengan sebuah keranjang besar di punggungnya. Dia menurunkan di depan kami dan mulai mengeluarkan isinya. “Myne, ini hadiah kain dari Master Benno. Dan saat aku memberitahu kamarmu dan bengkel tentang ini, Hugo membagi kita daging hasil buruan Pastor Syl kemarin.”
“...Tapi bayinya bahkan belum lahir.” Tapi tetap saja, dukungan dari semua orang membuatku tersenyum senang. “Aku akan membawa pulang potongan daging burung yang lebih kecil untuk Ibu. Kita bisa memakan potongan-potongan yang lebih besar dan daging rusanya di upacara. Tapi itu baru akan dilakukan saat dia sudah melahirkan dan para wanita yang bekerja keras keluar. Kau bisa ambil beberapa juga, Lutz, karena kau yang pergi dan membawakannya,” kataku, memberikan Lutz beberapa daging.
Dad menunjukkan persetujuannya dengan mengangguk antusias, dan saat itulah Tuuli menyeruak keluar ke alun-alun, kepangan rambutnya melonjak-lonjak di belakang dan terdapat seulas senyum lebar di wajahnya.
“Ayah, Myne! Lahirannya lancar! Bayinya laki-laki!”
“Oooh! Selamat!” Alun-alun pun meledak dengan sorak-sorai. Berkat kelahiran yang berjalan dengan selamat, upacara penamaan dan acara minum-minum dimulai. Para ayah mengucapkan selamat sambil meraih bir dan mulai memasak daging di wajan yang sudah disiapkan lebih dulu.
“Mereka bilang kalian berdua bisa masuk lagi. Ayo.”
Yang pertama pergi dan melihat si bayi adalah keluarga. Ayah, dengan keranjang yang tadi Lutz bawa di punggungnya, mengangkatku dan menaiki dua anak tangga setiap langkah. Dia begitu gembira sampai-sampai dia berlari sepanjang lima lantai ini.
Saat Ayah bergegas masuk ke dalam rumah kami, dia berterima kasih pada para wanita yang masih ada di dalam atas kerja mereka ketika selesai bersih-bersih. Mereka membalas dengan memberi selamat pada Ayah, dan memberitahu dia betapa sehat kelihatannya si bayi laki-laki.
“Ayah, jangan bawa (kuman) dari luar ke dalam kamar!”
Sebelum Ayah bisa lari ke dalam kamar, aku menyuruhnya menurunkan keranjang dan membersihkan tangan. Para wanita menyebutku gila kebersihan lagi, tapi aku mengabaikan mereka. Aku harus mencuci tanganku juga.
“Ibu, kami bisa masuk?”
“Gunther, Myne, ini anak laki-laki.”
“Kerja bagus, Effa! Aku senang kalian berdua selamat!” Ayah berlutut di depan bantal Ibu dan meraih tangannya, memberikan banyak ciuman di belakang tangan dan jari-jarinya.
Si bayi yang ada di depan dada Ibu yang kelelahan itu kecil dan dipenuhi keriput-keriput tipis, dan kulitnya mengilap merah. Pemandangan si bayi kecil yang sudah bersih dimandikan dan memakai baju bayi kecil yang Tuuli buat itu sangat mengharukan sampai-sampai aku mengeluarkan helaan napas emosional.
“Jadi, siapa nama si bayi?”
“Kalian sudah memutuskannya, ‘kan? Siapa namanya?” tanya Tuuli, matanya melirik antara Ibu dan Ayah dengan penuh semangat. Mereka berdua mengangguk serempak, kemudian memandang satu sama lain dan tersenyum sambil mengelus kepala si bayi.
“Kami akan menamainya ‘Kamil’. Bagaimana menurutmu?” tanya Ibu.
“Kamil? Kamil... Ahaha.” Tuuli terkekeh dan mencolek pipi Kamil.
Ibu menyaksikan sambil tersenyum, kemudian melihat ke arahku. “Myne, apa kau mau mencoba menggendongnya? Tuuli sudah melakukannya.”
Itu kedengaran luar biasa, tapi aku takut menjatuhkannya. Kalau aku mengingat dengan benar, bayi-bayi baru lahir beratnya rata-rata sekitar tiga kilogram. Apa aku akan bisa menggendongnya?
Saat aku menekankan hal itu, ekspresi Ibu jadi muram. “Kau tidak mau?”
“Tidak, aku mau. Hanya saja… Aku tidak tahu bagaimana caranya menggendong bayi, dan aku takut akan menjatuhkannya,” jelasku, membuat Ayah meledak tertawa.
Dia mengangkatku, masih tertawa, dan melepaskan sepatuku sebelum mendudukkanku di ranjang. “Kalau kau menggendongnya sambil duduk di tempat tidur, kau tidak perlu khawatir akan menjatuhkannya.”
Sambil duduk di sebelah Ibu, aku dengan hati-hati mengangkat Kamil. Dia kecil dan bahkan cukup ringan untuk kugendong. Mulutnya bergerak dan matanya membuka, menatap ke arahku dengan pandangan tidak fokus. Dia hidup, dan memenuhi hatiku dengan kehangatan.
“Kamil, Kamil. Ini aku, kakakmu.
Aku bicara pada Kamil, yang membuat wajahnya yang berkerut jadi semakin berkerut. Kemudian, dia mulai menangis, mengeluarkan suara melengking kecil.
“I-Ibu. Dia mulai menangis. Kamil, um… A-Apa yang harus kulakukan?”
“Jangan khawatir, sayang. Bayi selalu menangis. Itulah yang mereka lakukan.”
Begitulah yang dia katakan, tapi itu sama sekali tidak membantu. Yang bisa kulakukan adalah melihat sekeliling ruangan dengan cemas, merasa hampir menangis, sampai akhirnya Ayah berhenti berdiri saja dan mengangkat Kamil sambil menyengir. Kamil memprotes dengan beberapa rengekan lemah, tapi Ayah tidak terpengaruh.
“Baiklah, waktunya untuk memperkenalkan Kamil pada semua orang.”
“Tunggu, apa? Ayah akan membawa bayi yang baru lahir ke luar?”
“Tentu saja. Kita harus menunjukkan Kamil pada semua orang, ingat?”
Itu bahkan tidak bisa diperdebatkan bahwa membawa keluar bayi baru lahir yang tanpa pertahanan tepat setelah dia dilahirkan akan membuatnya lebih mungkin meninggal. Aku terkesiap takut. “Ayah, apa kau benar-benar harus membawanya keluar?”
“Yeah. Apa yang ingin kau katakan?”
“Terlalu berbahaya membawa bayi yang baru lahir ke luar. Kau akan mengeksposnya ke udara dingin dan semua (bakteri) yang ada di luar sana. Kemungkinan bahwa dia jadi sakit akan naik amat tinggi!” Aku menjelaskannya sekuat mungkin yang kubisa, dan ekspresi Ayah mengeras sedikit. Dia melihat antara aku dan Kamil, benar-benar memikirkannya, kemudian menggelengkan kepala dengan wajah mengerut.
“Kau mungkin benar, tapi kita tidak bisa mengabaikan tradisi.”
“Kalau dia harus pergi keluar, bisakah Ayah setidaknya menjaganya tetap hangat, dan memastikan tidak ada seorang pun yang menyentuhnya dengan tangan kotor? Ayah benar-benar harus kembali ke dalam secepat yang Ayah bisa, Itu mungkin masih belum cukup, tapi—”
“Kau ini konyol, Myne. Ini akan baik-baik saja,” kata Tuuli sambil mengangkat bahu. Tapi bayi-bayi yang baru lahir benar-benar dalam resiko besar meninggal. Terutama dalam lingkungan yang seperti ini.
Ayah, setelah barusan mengatakan di sumur betapa dia ingin bayi ini selamat, melihat dengan tekad bulat di matanya dan membungkus Kamil dengan kain yang terlihat hangat. “Ayah hanya perlu kembali secepat yang Ayah bisa, ya ‘kan?”
“Uh huh. Pastikan tidak membiarkan siapapun menggendong dia.”
“Kalian berdua sama-sama terlalu berlebihan,” Tuuli melanjutkan dengan nada jengkel. “Semua orang membawa bayi mereka ke luar untuk memperkenalkannya.”
Mungkin memang begitu, tapi di lingkungan seperti ini, tidak ada kata cukup untuk terlalu protektif. Istilah “lebih baik aman daripada menyesal” bahkan tidak dapat menutupinya.
Aku turun ke sumur bersama Tuuli dan Ayah, yang masih menggendong Kamil. Di sana kami menemukan barbekyu besar sedang diadakan di alun-alun—upacara penamaan yang disebutkan sebelumnya. Di sini para isteri di lingkungan ini yang membantu kelahiran bayi akan diberi imbalan, dan bayi itu akan diperkenalkan pada semua orang. Seperti inilah cara lingkungan mengetahui siapa yang lahir di tahun apa, dan seterusnya. Tidak ada catatan tertulis, jadi yang bisa kami lakukan hanyalah mengumpulkan semua orang dan meninggalkan kenangan yang tak terlupakan.
“Semuanya, terima kasih sudah bangun pagi-pagi sekali. Puteraku telah lahir dengan selamat. Namanya adalah Kamil. Aku ingin kalian semua menyambutnya sebagai anggota baru lingkungan kita.”
Setelah mengumumkan namanya, Ayah mengangkat Kamil tinggi-tinggi sehingga semua orang bisa melihat, kemudian cepat-cepat memberikan dia pada Tuuli dan mendesak mereka kembali ke dalam, dengan alasan bahwa dia mungkin sama lemahnya denganku. Semua orang mengangguk, cukup sadar bahwa aku begitu lemah sampai-sampai sepertinya tidak akan mengejutkan kalau aku mendadak mati.
“Akan jadi bencana kalau Kamil sama lemahnya dengan Myne.”
“Dia masih kadang-kadang demam, tapi bukankah dia jadi sedikit lebih baik? Aku benar-benar berharap semuanya akan baik-baik saja sekarang setelah dia dibaptis.”
Aku cepat-cepat kembali ke dalam dengan Tuuli, sambil mendengarkan semua pembicaraan orang tentang betapa mereka tidak menyangka aku akan tetap bertahan sampai baptisanku setelah semua peristiwa begitu dekatnya aku dengan kematian. Secara pribadi, aku merasa lebih nyaman makan dengan kecepatanku sendiri di dalam, daripada makan barbeque dengan takut-takut di alun-alun sambil bertanya-tanya tangan siapa yang memegang apa. Belum lagi aku sudah diberitahu untuk tidak pergi ke luar tanpa seorang pengawal. Walaupun aku telah dipaksa keluar saat kelahiran, mungkin akan lebih bijak untuk tidak berkeliaran lebih lama lagi daripada yang harus kulakukan.
“Tuuli, apa yang akan Ibu makan?”
“Aku akan mengambilkan dia sesuatu dari tempat memanggang,” balas Tuuli. Sepertinya dia benar-benar ingin ikut serta dalam barbekyu, karena dia bergegas menuruni tangga tepat setelah memberikan Kamil kembali pada Ibu.
Aku menyalakan api di perapian dan memanaskan sup sisa kemarin. Sambil menunggu, aku menghampiri keranjang yang Ayah jatuhkan begitu saja di pojok. Aku mengeluarkan daging burung yang sudah Hugo persiapkan ke ruang penyimpanan musim dingin, dan menaruh kain dari Benno di area penyimpanan biasa.
“Ibu, apa kau lapar? Aku memanaskan sup. Air susu Ibu tidak akan lancar kalau Ibu tidak makan.”
“Benar. Sepertinya Ibu akan makan sedikit, kalau kau tidak keberatan.”
Aku membawakan sup ke Ibu sementara dia duduk di tempat tidur. Aku mengambil semangkuk untukku juga, dan duduk di kursi sebelah tempat tidur supaya aku bisa makan dengannya.
“Kau tidak ikut acara memanggang, Myne?”
“Uh huh. Tuan Damuel bilang padaku untuk tidak pergi ke luar tanpa dia.”
“Ibu mengerti,” kata Ibu, nada bicaranya yang berat mengingatkanku bahwa dia khawatir tentang betapa sedikitnya waktu yang kuhabiskan dengan para tetangga kami. Menyakitkan bahwa aku tidak bisa melakukan apapun soal itu. Tidak ada seorangpun yang tahu apa yang kuketahui tentang kebersihan dan sanitasi yang akan makan di bawah sana.
“Oh, iya. Lutz membawakan kita kain dari Benno dan daging yang dipersiapkan oleh pembantuku di bengkel biara. Apa kita harus memberi mereka sesuatu sebagai balasan atau melakukan sesuatu untuk mereka?” tanyaku, tidak yakin dengan kebiasaan di sini.
Ibu menggelengkan kepala. Menurutnya, yang kami perlu lakukan adalah memberi mereka hadiah saat mereka punya anak. Itu tidak kelihatan cukup adil menurutku, karena Benno sudah menyatakan diri untuk membujang seumur hidup, dan kebanyakan orang di biara sama sekali tidak dalam posisi apapun untuk menikah.
“Meski begitu, Myne, bisakah kau tolong katakan pada mereka semua tentang Kamil? Kita mau sebanyak mungkin orang mengingat kelahiran Kamil.”
“Tentu. Ibu bisa mengandalkanku,” kataku dengan anggukan mantap sambil melihat adik laki-laki kecilku yang tidur di sebelah Ibu. Pemandangan dirinya yang tidur dengan nyaman dalam kain besar agar tetap hangat membuatku memandangnya dengan rasa sayang.
“Kamil benar-benar imut.”
“Ya ‘kan?”
Aku tidak punya banyak waktu untuk bersama Kamil. Karena aku akan pergi saat dia berumur dua tahun, kemungkinan besar dia bahkan tidak akan ingat padaku ketika dia tumbuh besar. Yang paling bisa kulakukan adalah membuatkan buku bergambar dan mainan untuknya, keduanya untuk membantu dia menjalani hidup begitu aku menghilang dan membantuku tetap berada dalam kenangannya sebagai kakaknya.
….Kalau hanya buku bergambar yang bisa kubuat, aku hanya harus membuat sebuah perpustakaan untuk itu demi adik laki-laki kecilku yang manis.
Buku bergambar hitam putih akan cukup saat dia berusia dua atau tiga bulan, tapi aku akan lebih banyak yang berwarna saat dia berusia enam bulan. Itu artinya aku perlu mengembangkan tinta berwarna, dan memikirkan isi untuk buku bayi yang baru.
...Tunggu. Kalau dipikir lagi, ada banyak hal yang harus kulakukan, ya ‘kan? Apa aku benar-benar akan sangat sibuk selama dua tahun ke depan?
Kalau aku ingin serius membuat buku bergambar untuk Kamil sementara dia tumbuh besar, mungkin aku bahkan tidak akan punya waktu untuk mencetak buku murni teks saja. Tidak masalah kalau mesin cetak ditahan, Aku hanya perlu terus meningkatkan stensil.
...Waktuku terbatas. Aku harus bekerja dengan cepat. Kamil, kakakmu akan melakukan apa yang bisa dia lakukan!
0 Comments
Posting Komentar