Dunia Tanpa Kehadiran Dirimu
(Bagian 3)
(Penerjemah : Nana)
Ujian Matematika II-nya berjalan lancar.
Sakuta mengisi setiap jawaban yang ada, berusaha semampu mungkin. Ia merasa kalau hal ini penting untuk suatu alasan.
Ia biasanya tidak mau repot-repot memeriksa jawabannya kembali, tetapi kali ini, ia berhati-hati dengan jawabannya. Sakuta yakin kalau ia bisa mendapat nilai bagus.
Ujian selanjutnya adalah Bahasa Jepang Modern.
Ketika bel berbunyi, seisi kelas membuka lembar jawaban mereka secara bersamaan. Suara goresan pensil dapat terdengar di ruang kelas tersebut.
Sakuta menulis nama, kelas, dan nomor tempat duduknya. Lalu, ia melihat bagian permasalahan pertama. Membaca petunjuknya. Diperiksanya pertanyaan pertama tersebut, lalu membaca soal cerita yang menyertainya.
Butuh waktu sekitar dua puluh menit, tetapi pada akhirnya, ia berhasil menyelesaikan permasalahan tersebut.
Soal selanjutnya juga bercerita panjang dan yang ini belum pernah dipelajari di buku paket.
Sepertinya akan memakan waktu cukup lama, jadi Sakuta memutuskan untuk melewatinya dulu dan mengerjakan kuis kanji di lembar selanjutnya.
Soal homonim yang paling ditakutinya.
-
Aku bisa __jamin kalau ia akan membayarnya.
-
Aku bisa __jamin kalau negara ini akan tetap stabil.
Keduanya ditulis dengan hosho memakai katakana, dan ia harus menulisnya dengan kanji.
Tanpa ragu, ia menulis menjamin (kata kerja) untuk masalah yang pertama dan menjamin (kata benda) untuk yang kedua.
“……”
Setelah selesai menulis, tangannya berhenti karena pensilnya yang berguncang.
Sebuah keraguan yang tidak terkait dengan ujian itu sendiri memenuhi pikirannya.
Alasan kenapa ia mengetahui jawaban ini adalah karena ia sudah belajar saat malam sebelumnya.
Tetapi ia tidak bisa mengingat kejadiannya secara detail.
Sakuta merasa ada yang salah. Perasaan tersebut dimulai dari kepalanya dan mulai menyebar ke seluruh tubuhnya. Sebuah perasaan yang sangat tidak mengenakan, seperti ia sedang mengingat sesuatu yang menolak untuk diingat. Ia hampir bisa mengingatnya tetapi entah kenapa macet di ujung lidah.
Semakin ia berusaha memikirkannya, semakin kesal dirinya. Ia merasa sesuatu sedang berteriak dari dalam dirinya.
“…Apa ini?”
Ia tidak bisa menjelaskannya. Rasanya seperti…
Seperti sebuah pancaran cahaya gembira dalam hatinya.
Seperti kenangan pahit.
Seperti kenangan indah.
Tetapi ada juga sebuah rasa sedih yang sangat hebat menyertai perasaan itu.
Satu demi satu emosi tersebut dirasakannya dan segera menghilang, lalu kembali lagi secara bersama-sama. Berbagai gelombang emosi tersebut mengguncang dirinya di hati terdalamnya.
Akhirnya, sesuatu terjatuh ke lembar jawabannya.
Sakuta khawatir kalau itu adalah ingusnya, tetapi ternyata bukan itu.
Sesuatu yang mengalir jatuh dari dirinya itu adalah...
Sebuah air mata.
Ia dengan cepat membilas air matanya. Sakuta tidak boleh menangis dengan tiba-tiba ketika ujian sedang berlangsung. Ia mencoba menarik napas sedalam-dalamnya, mencoba menenangkan dirinya, dan suara seseorang dapat terdengar di pikirannya.
“Jadi, kanji apa yang digunakan untuk kalimat ’Tidak ada satu pun yang bisa menjamin masa depanmu’?”
Ia mengenali suara tersebut.
“Kau juga bisa menunjukkan kalau ‘Keselamatan Sakuta tidak akan terjamin jika ia mencoba untuk curang lagi.’”
Sebuah kabut yang mengaburkan pikirannya mulai menghilang.
“Yang pertama bisa berarti tanggung jawab, sementara yang satunya lagi itu kepastian”
Ia menjawab pertanyaan itu seperti yang diperintahkan oleh seseorang.
Pensilnya terjatuh dari tangannya.
Ia seharusnya tidak sedang duduk dan mengerjakan ujian ini. Tidak untuk kali ini.
“Whoa!”
Teman sekelas yang duduk di belakangnya terkejut dan gadis di sebelahnya juga berteriak.
Siswa-siswi lain akhirnya mengabaikan lembar jawaban mereka dan melihat ke arah Sakuta.
Guru yang sedang mengawasi jalannya ujian dari belakang juga menatapnya dengan bingung. “Ada apa, Azusagawa?”
“Buang air besar,” ucap Sakuta.
Suara tawa dapat terdengar di seisi ruang kelas.
“Fokus, semuanya!”
Sementara perhatian guru teralihkan, Sakuta berlari menuju lorong sekolah.
Ia berlari melewati kamar mandi dan langsung menuruni tangga.
Pintu masuk sekolah terlalu jauh dan berada di arah sebaliknya, jadi ia langsung melompat keluar dari jendela di lantai pertama.
Ia mengingat suatu hal yang penting.
Kenangan akan seseorang yang penting baginya.
Ada suatu hal yang harus Sakuta lakukan untuknya.
“Ugh, ini akan sangat menyebalkan…,” gumamnya sambil merasa malu sendiri.
Halaman sekolah SMA Minegahara terhampar di depannya. Sakuta berjalan ke tengah-tengah lapangan sambil menghitung langkahnya.
“Sungguh rencana yang bodoh.”
Surat dari Futaba memberinya sebuah rencana.
Di baris terakhir.
Alam bawah sadar para siswa-siswi yang menolak keberadaannya dapat ditulis ulang oleh perasaan cinta Azusagawa.
Ia tidak tahu apakah ini akan menyelesaikan masalahnya, kecuali ia mencobanya.
Jujur saja, ia tidak yakin kalau rencana ini akan berhasil. Lagi pula, Sakuta akan melawan yang namanya ‘arus’ itu sendiri.
Sebuah arus yang tidak bisa didesak, ditahan, ataupun diserang yang mengalir di sekolah ini. Arus yang sama yang Sakuta abaikan selama ini.
Orang-orang yang berperan dalam membuat arus tersebut juga tidak menyadari kalau mereka juga terlibat.
Jika orang-orang tersebut tidak menyadari akan hal tersebut, tidak peduli seberapa keras Sakuta melawannya, baik kata-kata dan perasaannya tidak akan pernah dipedulikan oleh mereka.
Mereka hanya akan menertawakan usahanya.
Semakin ia bersikeras, mereka akan semakin tidak peduli padanya.
Sebuah sindiran pasti akan dilayangkan kepadanya dan memberitahunya untuk membaca situasinya.
Inilah dunia yang mereka tempati saat ini, dan Sakuta sangat sadar akan keberadaan dirinya di dunia tersebut.
Akan lebih mudah jika harus mengikuti langkah dari orang di sebelahmu. Memutuskan salah atau benar hanya akan menguras tenaga sendiri, dan semakin kuat argumen seseorang, akan semakin sakit jika orang lain juga tidak sependapat denganmu. Cukup dengan menyetujui pendapat dari “semua orang” sudah membuat orang itu berada dalam zona aman. Tidak perlu melihat sesuatu yang tidak ingin dilihat oleh diri sendiri. Tidak perlu memikirkan sesuatu yang tidak ingin membuat diri sendiri khawatir. Serahkan saja semua itu ke orang lain.
Dunia ini begitu kejam.
Sangat kejam hingga tanpa sadar mengasingkan seseorang dan akan mengabaikan siapa pun yang sudah terasingkan begitu saja. Untuk melindungi arus dan diri sendiri, akan lebih mudah jika seseorang berpura-pura tidak menyadarinya. Tidak peduli siapa pun yang tersakiti olehnya.
Dunia ini begitu kejam hingga bisa bergabung dalam perlakuan diam tersebut dan tidak memperdulikan siapa pun yang tersakiti karenanya.
“Tapi, semua orang melakukannya, jadi Aku juga sama” bukanlah sebuah alasan yang bagus jika harus membiarkan orang lain menderita. “Semua orang melakukannya, berarti sudah pasti benar” bukan berarti hal itu benar. Lagi pula, siapa yang dimaksud oleh semua orang?
Jika Sakuta tidak bertemu Mai di Perpustakaan Shonandai pada hari itu, ia mungkin tetap menjadi bagian dari “semua orang” itu. Dirinya hanya akan menjadi salah satu pelaku yang membuatnya menderita.
Tetapi, karena ia sudah menyadari hal tersebut, ia harus menyadarkan yang lainnya.
Bahkan, jika Sakuta harus melawan seisi sekolah sendirian.
Melawan seluruh siswa-siswi.
Melawan arus yang sudah susah payah ia abaikan selama ini…Ia tidak bisa terus-menerus melarikan diri dari masalahnya lagi.
Karena ia telah menemukan sesuatu yang lebih berharga dibandingkan harus mempertahankan status dirinya.
Ia sangat menikmati menghabiskan waktu dengannya.
Tentang bagaimana dia selalu menggodanya karena dirinya lebih muda dibandingkan dirinya. Bagaimana ia membuat candaan jorok dan malu sendiri karenanya hingga wajahnya memerah. Serta, bagaimana dia mencoba menyembunyikan rasa malunya itu dengan bersikap keras kepala.
Tingkahnya yang kekanak-kanakan saat cemberut ketika Sakuta tidak melakukan apa yang dia inginkan.
Dia itu agak egois, suka mengatur, dan emosional. Namun, meski dia lebih tua satu tahun dari Sakuta, terkadang dirinya bisa sangat polos. Dia akan menginjak kaki Sakuta, mencubit pipinya, dan bahkan menamparnya.
Dibentak olehnya adalah yang terbaik. Ketika dia membalas perkataannya, memarahinya, atau memanggilnya dengan kurang ajar. Sakuta sangat menikmati sikap sinisnya itu.
Hanya dia yang bisa membuat Sakuta merasa seperti itu.
Hanya dia satu-satunya orang di dunia ini yang bisa seperti itu.
Karena sekarang ia sudah merasakan kebahagian seperti itu, hidup ini tidak berwarna tanpanya.
Tidak peduli sesulit apa pun, ia harus mendapatkan kebahagiaan itu lagi.
Ini adalah harga yang harus ia bayar.
Ia mungkin sudah kehilangan Shoko Makinohara tanpa pernah bisa mengucapkan sepatah kata pun, tetapi ia tidak akan membiarkannya terjadi lagi.
Ia tidak ingin merasa seperti sebelumnya lagi.
“Aku sudah tak peduli dengan yang namanya ‘membaca situasi’. Persetan dengan itu!”
Di tengah-tengah lapangan, Sakuta perlahan berbalik menghadap gedung sekolah.
Sebuah gedung tiga tingkat berada di hadapannya.
Sekitar seribu siswa-siswi sedang berada di dalam gedung itu.
Dari ukuran dan jumlahnya memang sangat banyak & besar dan jika semua itu mengabaikan usahanya, tamat sudah riwayatnya.
Sakuta tidak punya rencana khusus.
Tetapi ia tahu apa yang harus ia lakukan.
Sudah saatnya berhenti untuk mencemaskan hal lainnya.
Ia harus melakukan hal yang menurutnya benar.
Melakukan apa yang dirasa benar.
Persetan dengan semua alasan itu.
Sakuta menjejakkan kakinya dengan kuat ke tanah.
Ia menarik napas dalam-dalam, seperti mengumpulkan tenaga dari hatinya.
Lalu, ia berteriak sekeras-kerasnya.
“Dengar, semuanya!”
Semua siswa-siswi sedang fokus mengerjakan ujian. Suasana sekolah itu sunyi karenanya suaranya dapat terdengar dengan jelas.
“Namaku Sakuta Azusagawa!”
Pita suara yang menggetar sudah membuat tenggorokannya sakit. Tetapi, ia tidak akan menyerah.
Yang pertama menyadarinya adalah para guru di ruang staf. Jendela ruang tersebut terbuka, dan tiga orang guru menunjukkan diri mereka dari jendela yang terbuka. Mereka melambai ke Sakuta untuk memanggilnya, tetapi Sakuta mengabaikan panggilan mereka.
“Dari Kelas 2-1! Absen pertama.”
Kehebohan mulai menjalar ke seluruh ruang kelas.
“Ada yang ingin kusampaikan…!”
Sakuta merasakan kalau para siswa-siswi saling berbisik, “Di luar!”
Hal itu menyedot perhatian siswa-siswi untuk melihat ke luar jendela.
“Untuk Mai Sakurajima-senpai, Kelas 3-1!”
Ketika Sakuta menyebut namanya, sekujur tubuhnya merasa merinding, seluruh emosinya seperti mendesak keluar dari setiap pori-pori dan lubang di dirinya. Ia merasa kalau perkataannya itu benar, seperti ada kepingan puzzle yang menyatu. Di saat itulah, ia sangat yakin kalau perasaan cintanya ke Mai itu benar-benar nyata.
Kemudian, Sakuta mengembuskan napas dan mengeluarkan semua oksigen dari paru-parunya. Lalu, ia kembali menarik napas dalam-dalam. Ia melihat ke gedung sekolah, jendela kelas, dan para siswa-siswi yang berkumpul untuk melihatnya, menatap balik ke arahnya.
Dengan pasang mata dari sekitar seribu orang yang menatapnya, Sakuta mencurahkan perasaannya yang menggebu-gebu.
“Aku mencintaimu, Mai Sakurajima-senpai!”
Ia meneriakkan kata-kata tersebut sekeras mungkin.
“Aku mencintaimu, Mai-san!”
Rasanya ia seperti sedang merobek pita suaranya sendiri. Sakuta ingin agar semua orang di kota ini dan sekitarnya mengetahui perasaannya itu.
Jadi, tidak ada seorang pun yang mengabaikannya.
Jadi, tidak ada seorang pun yang berpura-pura kalau mereka tidak melihatnya.
Napasnya tidak bertahan lama, dan teriakannya membuatnya terbatuk-batuk.
Suasananya menjadi hening dan dipenuhi oleh kebingungan untuk beberapa saat.
Lalu, berbagai pertanyaan dilontarkan ke arah Sakuta.
Semua siswa-siswi sedang menatap Sakuta yang sedang berdiri di halaman sekolah. Seluruh tatapan mereka seperti sebuah palu raksasa yang sedang memukulnya. Namun, pukulan itu tidak langsung menghancurkannya, pukulan tersebut pelan seperti sedang menyiksanya secara perlahan. Sebuah beban yang lambat, mematikan, dan sangat berat buatnya.
Ia ingin berbalik dan melarikan diri dari situasi itu. Berlari melarikan diri melewati gerbang sekolah dan menuju langsung ke rumahnya.
Pernyataan cintanya yang begitu bergelora memukulnya begitu keras.
“Ah, sial! Aku tahu kalau ini akan terjadi. Aku hanya mempermalukan diriku sendiri di sini. Sial.”
Rasa kecewanya memuncak.
“Karena inilah Aku tak mau melawan arus tersebut!”
Dengan bermandikan tatapan dari seluruh penghuni sekolah, tangannya mengacak-acak rambutnya.
“Ini yang terburuk…”
Lagi dan lagi, keinginannya untuk lari dari situasi tersebut muncul di benaknya. Pandangannya beralih ke gerbang sekolah.
“……”
Tetapi kakinya tidak pernah mengambil langkah untuk melarikan diri.
“Aku sudah sejauh ini. Jika Aku tak mendapatkan hadiah dari Mai-san, apa gunanya semua ini?”
Dengan rasa dendam belaka, Sakuta kembali menatap ke gedung sekolah dan mulai berteriak lagi.
“Aku ingin berpegangan tangan denganmu dan berjalan menyusuri pantai Shichirigahama!”
Ia terus berteriak.
“Aku ingin melihatmu memakai kostum bunny girl lagi!”
Sakuta tanpa sadar mengikuti kata hatinya.
“Aku ingin memelukmu dan menciummu berkali-kali!”
Ia bahkan tidak sadar dengan kata-kata yang keluar dari mulutnya.
“Intinya…! Aku mencintaimu, Maiiiiii-san!”
Teriakannya menggema di langit. Setiap siswa-siswi dan guru yang berada di sekolah itu menatap ke arahnya, yang mana rasanya pasti sangat mengerikan buat seseorang…tapi di kala itu, Sakuta sudah terlalu senang untuk peduli dengan hal lain.
Keheningan menyelimuti seluruh tempat di sekolah itu.
Seperti seluruh penghuni sekolah ini menyetujui hal itu sebelumnya. Semuanya seperti menelan ludah secara bersamaan. Sakuta tidak yakin kenapa.
Seorang siswa yang tidak ia kenal menunjuk ke arahnya dari jendela kelasnya.
Ia tidak terlalu mengerti awalnya. Sakuta kira mereka meledeknya.
Ia baru berubah pikiran ketika ia menyadari kalau jari tersebut ditujukan ke sesuatu di belakangnya.
Sakuta bisa mendengar suara langkah kaki di belakangnya. Seseorang sedang berdiri di belakangnya.
Sakuta tersadar…dan suara lembutnya dapat terdengar di telinganya.
“Kau tidak perlu berteriak seperti itu. Aku bisa mendengarmu.”
Rasanya sudah sangat lama sejak terakhir ia mendengar suara Mai. Seperti sudah menunggu selama bertahun-tahun untuk mendengarnya lagi.
Sakuta berbalik.
Hembusan angin laut bertiup melewati kaki Mai.
Ujung roknya berkibar.
Stocking hitamnya yang biasa dapat terlihat menyelimuti kakinya. Kedua kakinya terbuka sejajar dengan bahunya. Lengan satunya bertumpu di pinggulnya sementara yang satu lagi menyisir rambutnya karena terpaan angin. Dirinya terlihat lebih dewasa, namun ekspresi wajahnya yang kesal membuatnya tampak lebih muda.
Beragam emosi dirasakan oleh diri Sakuta.
Mai sedang berdiri di depannya, sekitar sepuluh meter dari tempat Sakuta berdiri.
“Kau mengganggu orang lain.”
“Aku hanya ingin agar semua orang di dunia tahu perasaanku.”
“Tidak semua orang berbicara bahasa Jepang.”
“Oh! Aku tak memikirkan hal itu.”
“Dasar bodoh,” ucap Mai. Dia menundukkan kepalanya seolah menahan diri.
“Lebih baik daripada Aku berpura-pura pintar.”
“Kau malah akan terlihat lebih bodoh lagi.” Bahu Mai bergetar. “Aksi mu yang seperti ini hanya akan menimbulkan banyak rumor tentangmu.”
“Jika rumor tersebut membicarakan hubungan kita, Aku tak masalah.”
“Bukan itu maksud… Dasar bodoh.”
“……”
“Dasar Sakuta!” Mai berteriak dan mengangkat wajahnya, air mata mengalir di pipinya.
Langkah pertamanya ketika mendatangi Sakuta adalah dengan berjalan pelan.
Lalu, kemudian dia berlari.
Sakuta bersiap mengulurkan kedua tangannya untuk memeluknya.
Jaraknya hanya tinggal tiga langkah lagi, dua, satu, dan sebuah suara keras dapat terdengar sampai ke penjuru sekolah. Suara tersebut juga terdengar sampai ke langit luas di atas.
Karena terkejut, mulut Sakuta terbuka lebar di hadapan Mai.
Sesaat kemudian, pipinya mulai berdenyut kesakitan.
Baru saat itu Sakuta menyadari kalau Mai sudah menamparnya.
“Huh? Untuk apa itu?” tanya Sakuta yang terlihat kebingungan.
“Kau bohong padaku!”
Air matanya masih terus mengalir. Mai menatap Sakuta seakan-akan rasa takutnya akan meledak-ledak tidak terkendali.
“Kau bilang tidak akan melupakanku!”
Akhirnya, Sakuta mengerti. Mai memang pantas untuk marah kepadanya. Sakuta sudah berbohong kepadanya.
“Maaf,” ucapnya sambil mendekap tubuh gemetarnya.
Ia memeluk Mai dengan erat dan dia membenamkan wajahnya ke bahu Sakuta.
“Tidak akan ku maafkan.”
Suaranya teredam.
“Maaf.”
“Aku tidak akan mau memaafkanmu.”
Mai mengusap wajahnya di bahu Sakuta, terisak tangis.
“Kalau begitu, Aku tak akan melepaskanmu hingga memaafkanku.”
“Kalau begitu, kau harus bersama denganku selamanya.”
Suaranya masih terisak karena tangisnya.
“Uh…”
“Kau keberatan?”
Dia menghentikan tangisnya dan memendam emosinya itu.
“Tak ada seorang pun yang akan menolak jika senpai cantiknya meminta---Ow! Mai-san, kakiku!”
“Kau membuatku mengatakan semua ini, dan kau masih mencoba untuk menyembunyikan perasaanmu? Lancang sekali kau!”
“Um, kakiku…”
“Bukannya kau senang kalau diinjak, kan?”
“Maaf. Aku minta maaf! Aku menyesal! Maafkan Aku!”
Dia menginjaknya dengan keras, dan itu terasa sangat sakit.
“Ada lagi yang mau kau katakan?”
“Jika kau ketakutan sampai mau menangis, kau seharusnya tak memberikanku obat tidur itu!”
“Aku sedang berakting menangis untuk membuatmu bersalah.”
“Kalau begitu, terima kasih karena sudah menggagalkan rencanaku untuk tak tidur.”
“Sama-sama. Tapi Aku tidak ingin rasa terima kasihmu saat ini.”
Dia menginjak dengan semakin keras.
“Kau tahu apa yang mau kudengar.”
Dia terus menginjaknya.
Sakuta menyerah dan mengucapkan kata-kata yang ingin Mai dengar.
“Aku mencintaimu.”
“Sungguh?”
“Maaf. Aku bohong. Aku benar-benar sangat mencintaimu.”
“……”
Untuk sesaat, dirinya terdiam dan Mai mundur selangkah darinya. Air matanya sudah menghilang dan hanya tersisa sedikit jejak di pipinya.
“Sakuta.”
“Apa?”
“Katakan itu lagi sebulan dari sekarang.”
“Kenapa?” tanya Sakuta karena tidak mengerti maksud Mai.
“Jika kujawab sekarang, rasanya seperti Aku sedang terbawa perasaan.”
“Aku berharap agar bisa memanfaatkan momen ini untuk mencium dirimu.”
“Jantungku memang berdebar-debar, tapi…mungkin karena situasinya,” ucap Mai. Dia memalingkan muka dan tersipu malu. Pipinya yang terlihat memerah sangat imut buatnya.
“Aku terkejut kau bisa setenang ini.”
Dia tidak terpengaruh efek jembatan gantung sama sekali. [1]
“Dan Aku juga ingin agar kau memikirkannya.”
“Memikirkan apa?”
Sakuta tahu bagaimana perasaan dirinya sendiri. Jadi ia pikir tidak perlu memikirkannya lagi.
“Aku lebih tua darimu.”
“Aku sangat beruntung kalau begitu!”
“Aku agak ragu berpacaran dengan pria yang lebih muda.”
“Kau tak mempercayaiku?”
“Tidak…Aku mempercayaimu, tapi…” nada bicaranya mengecil seperti sedang berbisik. “Rasanya seperti Aku yang merayumu.”
“Kau memang merayuku, jadi…”
“Tidak!”
Kalau dipikirkan lagi, Sakuta bisa mengingat banyak kontak fisik yang dilakukannya. Ditambah dengan semua cubitan dan kakinya yang sering diinjak, hasilnya cukup banyak kontak fisik yang terjadi.
“A-apa omonganku sudah jelas?”
“Entahlah…”
“Jangan mengeluh.”
“Aku tak bisa menunggu selama sebulan! Bagaimana kalau Aku mengatakannya setiap hari?”
Mai terlihat terkejut namun juga merasa senang dengan tersenyum.
“Baiklah, tapi kau harus melakukannya selama sebulan. Jika tidak, Aku akan menganggapnya kalau kau berubah pikiran.”
Dia menunjuk hidung Sakuta dengan jarinya dan tersenyum nakal. Sakuta ingin kalau senyumnya itu untuk ia sendiri. Tetapi untuk kali ini saja, ia membiarkan semua orang untuk melihatnya.
Seluruh siswa-siswi SMA Minegahara sedang melihat ke arah mereka, terheran-heran dengan mulut yang terbuka lebar. Tidak ada yang tahu harus bersikap seperti apa. Semua orang saling melihat satu sama lain, menunggu agar seseorang bertindak sesuatu.
“Orang-orang memang sangat suka terikut arus,” ucap Mai dengan sinis. Dia menatap siswa-siswi yang melihat dari jendela, lalu menarik napas dalam-dalam. Meneriakkan, “Kalian tahu cerita tentang Sakuta yang membuat teman sekelasnya harus dirawat di rumah sakit? Itu semua bohong!”
Seketika, suasananya hening kembali.
Lalu, Mai berbalik menghadap Sakuta seperti sedang menyombongkan dirinya.
“Kau ingin agar yang lain tahu, kan?”
Kalau di pikir-pikir lagi, mereka pernah membicarakannya saat naik Enoden.
Sesaat kemudian, beragam rasa terkejut mulai membanjiri para siswa-siswi. Seluruh penghuni sekolah semakin bersemangat. Semua orang menatap ke arah mereka dengan rasa terpesona.
“…Bukan reaksi yang kuharapkan,” ucap Mai.
Tentu saja. Reaksi para siswa-siswi itu bukan berasal dari apa yang Mai ucapkan.
“Mai-san, kau memanggilku dengan nama depanku. Kurasa mereka jadi salah sangka.”
Dalam sekejap, para siswa-siswi tersebut mulai berhenti mengkhawatirkan rumor tentang Sakuta dan memusatkan perhatian mereka ke skandal yang muncul di depan mereka, mengikuti naluri terdalam mereka. Sungguh sebuah keajaiban di masa remaja ini.
“Berkatmu, kita jadi pusat perhatian.”
“Cuma ada sekitar seribu orang di sini. Masih belum bisa dibilang banyak. Kau terlalu melebih-lebihkan.”
Untuk seseorang yang sudah terbiasa dengan ketenaran tentu memiliki perspektif yang berbeda.
“Mungkin memang kurang banyak untukmu, tapi…”
Pada akhirnya, tiga orang dewasa memutuskan untuk mengakhiri aksi ini. Wali kelas Sakuta, kepala sekolah, dan seorang pria yang mengenakan pakaian olahraga---guru olahraga---berlari ke tempat mereka.
“Oof, Aku akan kena omel, ya?”
“Jangan khawatir.”
“Kenapa?”
“Aku akan menemanimu.”
“Oh. Jadi lebih baik kalau begitu.”
Setidaknya, Sakuta bisa bersama dengan Mai.
Mai dan Sakuta mulai berjalan menuju gedung sekolah.
Saling berpegang tangan satu sama lain.
Dengan demikian, Mai Sakurajima kembali ke dunia ini.
[1] [Nananotes: Efek Jembatan Gantung adalah suatu fenomena secara psikologi yang terjadi ketika seseorang berjalan melintasi jembatan gantung dan bertemu dengan lawan jenis. Perasaan takut seseorang saat melintasi jembatan gantung membuat jantungnya berdegup kencang yang kemudian akan berubah menjadi ketertarikan atau gairah ketika bertemu dengan lawan jenis. Hal itulah yang membuat seseorang salah mengartikan perasaan tersebut sebagai rasa cinta.]
0 Comments
Posting Komentar