Akankah Hari Esok Tiba Keesokannya?
(Bagian 4)
(Penerjemah : Nana)
Sakuta berendam di air panas untuk waktu yang lama demi menghilangkan kepenatan setelah shift kerjanya yang lama dan keluar dari dalam kamar mandi dengan hanya mengenakan celana boxer, selepas itu ia melihat Kaede sedang duduk manis menonton TV di ruang tamu. Pikirnya, hal ini tidak biasa.
Acara TV yang dia tonton bercerita tentang binatang…atau lebih tepatnya, sebuah dokumenter yang menampilkan penjaga kebun binatang dan bayi panda. Saat Sakuta melihat sekilas ke acara TV tersebut, merawat bayi panda yang baru lahir tampaknya merepotkan, pikirnya.
Sambil memegang kucing mereka, Nasuno, di dadanya, perhatian Kaede tertuju ke adegan tentang bayi panda yang sedang mengambil langkah pertamanya.
Karena tidak terlalu memperhatikan, Sakuta mengeluarkan minuman olahraga dari dalam kulkasnya dan menuangkan sebagian isinya ke cangkir. Lalu, diminumnya minuman yang penuh dengan elektrolit tersebut.
Tubuhnya masih terasa hangat setelah mandi, dan minuman dingin yang diminumnya terasa sangat nikmat. Ia membuka kulkasnya lagi untuk meminum minumannya lagi.
“Oh!” ucap Kaede. “L-lihat onii-chan, itu dia!”
Kaede menunjuk ke layar TV dengan riang gembiar.
“Orang yang kita kenal?”
“Ya!”
“Huh?”
Sakuta berniat bercanda, jadi jawaban Kaede agak membuatnya terkejut. Karena bingung, ia menoleh dari balik pintu kulkas menuju ke layar TV.
“……”
Ia memang mengenal gadis itu.
Layar TV-nya menayangkan iklan minuman olahraga. Merek minuman dengan label biru yang sama seperti yang dipegangnya saat ini. Gadis itu mengulurkan minuman yang dipegangnya ke dekat kamera dengan pose menggoda sambil tertawa licik. “Ingin minum ini? Heh-heh. Tidak boooleh!” Kemudian, dia berlari menjauh dari kamera sambil mencipratkan pasir putih dari larinya.
Gadis itu adalah Mai.
“Di-dia itu cewek yang kau bawa kemari, kan onii-chan?”
“Ya.”
Gadis yang ada di iklan tersebut sudah pasti Mai. Sang aktris terkenal, Mai Sakurajima.
Tetapi, ini pertama kalinya Sakuta mengetahui kalau Mai membintangi sebuah iklan.
Karena cuma iklan, hal tersebut berakhir dengan cepat.
Dan ketika iklan tersebut berakhir, interkom rumah berbunyi.
“Siapa itu? Selarut ini?”
Jam dinding sudah menunjukkan pukul 10 lewat.
Karena kebingungan, Sakuta menjawabnya.
“Ya?” ucapnya.
“Ini aku.”
Balasan yang singkat, dengan suara yang sama seperti yang baru saja ia dengar di TV.
Tiga menit kemudian, Sakuta mengajak Mai masuk dan langsung duduk bersimpuh di hadapannya. Masih memakai celana boxernya. Mai sedang duduk manis di tempat tidur Sakuta sambil menyilangkan kaki dan menghadap ke arahnya. Serta memberi Sakuta tatapan sinis.
“Kenapa kau tidak muncul dan menceritakan alasanmu?”
“Jika boleh lancang, Aku beberapa kali mencoba melakukannya dan kau tidak ada di kelasmu.”
Sakuta sebenarnya mengunjungi kelasnya sebanyak dua kali di hari itu saat jam istirahat dan jam pulang sekolah, tetapi Mai tidak ada di kelasnya.
“Kau menyalahkanku untuk itu?”
“Maaf, ini karena Aku yang tak mengusahakannya lagi.”
“Kalau begitu, apa yang mau kau katakan?”
“Um, Mai-san, kau terlihat sangat cantik.”
Sakuta menyadari begitu ia membuka pintu rumahnya. Mai biasanya tidak seperti ini. Riasannya terlihat jelas, dan rambutnya tertata rapi dengan ujungnya yang melengkung ke dalam membuatnya terlihat imut. Bukan gaya Mai yang seperti biasanya sama sekali.
“Aku ada pemotretan untuk majalah fashion. Aku melakukan ini untukmu, kau tahu!”
Karena itulah dia tidak masuk sekolah.
“Kau sangat sangat imut.”
“Aku tahu.”
“Aku mencintaimu.”
“Jika mencoba mengelak dengan candamu itu, kuinjak kau.”
Mai mengangkat kaki yang berbalut stocking hitam tersebut dan menaruhnya di atas lutut Sakuta.
Ia bisa merasakan kehangatan tubuh Mai dari itu dan rasa licin dari stocking yang menyentuh kulitnya.
Ini merupakan hadiah yang sangat berharga untuknya.
Sakuta kesulitan untuk menyembunyikan perasaan senangnya dari ekspresi wajahnya.
“Kenapa kau terlihat bahagia seperti itu.”
Usahanya jelas-jelas gagal dan Mai memindahkan kakinya dari lutut Sakuta. Sayang sekali, pikir Sakuta.
“Aku baru melihat iklan yang kau bintangi.”
“Oh.”
Mai menatap ke luar jendela dengan ekspresi wajah bosan.
“Kau tidak pernah memberitahuku.”
“Aku tahu kapan iklannya akan tayang, jadi Aku berencana untuk memberitahumu tepat sebelum iklan itu muncul sebagai kejutan. Tapi karena kau begitu mesra bermain dengan anak kelas satu… Jadi, apa yang mau kau katakan?”
“Aku sangat menyesal.”
“Apa kau benar-benar menyesalinya?”
“Sangat.”
“Aku tidak yakin.”
“Aku sangat menyesalinya! Tapi… Yah, ini bukan waktu yang tepat, tapi…”
“Tapi apa?”
“Aku harus membantu anak kelas satu itu.”
Sakuta harus berpura-pura berpacaran dengan Koga selama sisa semester. Jika ia juga harus bertengkar dengan Mai, hal itu bisa membuatnya gila. Ia sudah tertangkap basah, jadi, mungkin sekarang saat yang tepat untuk membicarakannya.
Tetapi dengan suasana hati Mai saat ini, hal itu akan sangat sulit.
“Sakuta.”
“Ya? Apa?”
“Mungkin pakai bajumu dulu.”
Sakuta masih mengenakan pakaian dalamnya kala ini.
Setelah mengenakan celana pendek dan kaus oblong, Sakuta kembali duduk bersimpuh sambil memperhatikan dengan saksama ekspresi wajah Mai saat ia menjelaskan situasi yang dialami Koga. Seperti kenapa Koga berada di kelas yang kosong itu kemarin lusa. Bagaimana dia terjatuh di pelukan Sakuta. Bagaimana seorang senpai dari klub basket yang bernama Yousuke Maesawa mengajak Koga berpacaran dan menempatkannya dalam situasi yang rumit. Sakuta menjelaskan semua hal itu dan tentang bagaimana Koga yang secara kebetulan mulai bekerja di tempat yang sama dengannya dan meminta untuk mempertahankan hubungan “lebih dari senpai, tapi bukan pacar” selama sisa semester ini. Semuanya ia jelaskan tanpa meninggalkan detail apa pun.
Kecuali tentang Sindrom Pubertas… Sakuta memilih untuk tidak berkata sepatah kata pun tentang bagaimana ia dan Koga mengulangi tanggal 27 Juni sebanyak tiga kali atau tentang bagaimana Mai setuju untuk berpacaran dengan dirinya sebanyak dua kali.
Mai sudah kembali mulai bekerja di dunia hiburan, dan semuanya berjalan lancar hingga saat ini. Sakuta tidak ingin membuatnya khawatir dengan masalah ini, dan memberitahunya apa yang Mai lakukan di garis waktu yang berbeda terasa seperti dirinya sedang melanggar aturan.
Ketika Sakuta selesai menjelaskan, Mai berkata, “Masalah gadis SMA sangat serius ya,” dengan santainya.
Mai sendiri gadis SMA tapi sepertinya dia tidak menyadari hal ini.
“Baiklah, Aku mengerti situasinya.”
Dengan mudahnya Mai menerima penjelasan Sakuta. Padahal, ia mengharapkan cacian dan makian Mai yang terus berlanjut.
“Cuma itu saja?”
“Jika Aku memarahimu, itu hanya akan menyenangkanmu.”
Mai sangat mengerti Sakuta.
“Hukuman terbaik untukmu adalah dengan tidak menghukummu.”
“Setidaknya bentak Aku.”
“Tidak.”
“Aww.”
“Jangan kecewa begitu.”
Mungkin ia harus menikmati cacian seperti ini sebagai gantinya? Ah tidak, ia merasa seharusnya Mai keberatan dengan penjelasannya.
“Tapi, masih terasa tidak masuk akal buatku,” ucap Mai.
“Tentang apa?”
“Hubungan palsumu itu---kau seharusnya benci dengan hal seperti itu.”
“Kami tidak berpura-pura pacaran! Hanya…saja lebih dari sekedar teman.”
“Sama saja.”
“Kurasa tidak ada orang yang suka berbohong dengan hal semacam ini.”
“Karena itu kubilang tidak masuk akal. Kau menyembunyikan sesuatu, kan?”
Mai mencondongkan tubuhnya ke depan, menatap langsung ke arah Sakuta.
“Aku memandangi kakimu sejak tadi dan itu membuatku terangsang.”
“A-Aku tahu itu.”
Sambil memegang roknya, Mai membetulkan posisi kakinya.
“J-jangan menatapnya seperti itu!”
“Aku tidak merugikan siapa pun.”
“Berhenti mengalihkan perhatianku dan katakan saja!”
Mai cepat tanggap dan menyuruhnya untuk langsung ke intinya.
“Koga…mengatakan hal yang sama seperti Kaede.”
“Apa?”
Sakuta memilih kata-katanya dengan hati-hati.
“Jika teman-temannya mengetahui kalau si Maesawa mengajaknya berpacaran, dia akan dikeluarkan dari kelompoknya saat ini dan menjadi orang yang dikucilkan di kelas…dia akan merasa malu karenanya.”
Malu.
Jika Koga tidak mengatakan hal itu, Sakuta tidak akan pernah setuju dengan rencana “lebih dari senpai, tapi bukan pacar.”
“Dalam kasus Kaede, skenario terburuknya benar-benar terjadi, jadi…”
Hal itu membuatnya mengingat kenangan pahit tentang adiknya.
Menolak untuk pergi ke sekolah, menyendiri di kamar, dan pada akhirnya dirinya tersiksa akan Sindrom Pubertas. Dengan luka memar dan sayatan di seluruh tubuhnya.
Tanpa bisa menerima kenyataan itu, keadaan ibu mereka memburuk dan harus di rawat di rumah sakit. Hingga saat ini, mereka tidak lagi tinggal bersama.
Dan akar dari masalah tersebut bisa dibilang sepele. Kaede hanya tidak sadar tidak membalas pesan singkat dari temannya.
Kesalahan kecil itu menjadi lepas kendali, dan dua tahun setelahnya, dampak dari Sindrom Pubertas masih memengaruhi kehidupan Sakuta dan Kaede.
Hal-hal kecil dapat merusak segala yang terjadi. Jadi…
“Aku hanya ingin melakukan sesuatu tentang hal itu kali ini.”
Bukan berarti kalau keputusan ini sudah tepat, pikir Sakuta. Hal ini hanya seperti menebus kegagalan masa lalunya. Ia mungkin hanya memanfaatkan permasalahan Koga untuk mengatasi masalahnya sendiri. Trauma akan situasi Kaede masih menghantuinya hingga saat ini.
“Sakuta.”
“Apa?”
“Membosankan.”
“Ini respons yang kudapatkan karena serius?”
“Jika kau mengkaitkannya dengan masalah yang dialami adikmu, Aku jadi tidak bisa mengeluh, kan?”
Namun, yang baru saja terucap itu sebuah keluhan. Mai jelas-jelas menunjukkan rasa kesalnya.
“Aku tahu kalau kau memahami hal ini Sakuta.”
“Memahami apa?”
“Selesaikan masalah yang dibuat oleh kebohongan ini.”
“Aku akan memastikan kalau hal ini tidak akan ketahuan dan akan membawa rahasia ini sampai Aku mati.”
“Jika kau tahu betapa sulitnya untuk menutupi kebohongan ini, berarti tidak apa-apa.”
“Maesawa punya pacar tapi ia tetap mengejar Koga, dan ia mengancam akan putus dengan pacarnya saat ini karena pacarnya itu tidak mau tidur dengannya. Aku tidak mau kalah dengan pria yang bicara omong kosong seperti itu.”
“Ugh, dasar pria.”
Tanpa suatu alasan, tampaknya Sakuta juga termasuk dari cemoohan Mai barusan.
“Aku sangat setia denganmu, Mai-san.”
“Kau mungkin akan jatuh cinta dengan anak kelas satu itu saat berpura-pura lebih dari senpai.”
“Apa kau tidak percaya denganku?”
“Aku tidak akan mau menunggu lebih lama dari akhir semester ini.”
“Berarti, kau berjanji untuk berpacaran denganku begitu masalah ini selesai?”
“Yah…”
Mai mengalihkan pandangannya.
“Tergantung dengan suasana hatiku saat itu.”
“Ew.”
“Kenapa kau begitu kecewa?”
“Jika Aku tahu kalau kau akan menghadiahiku setelah ini, Aku jadi semakin berniat untuk menyelesaikan masalah ini.”
“Percaya diri sekali dengan masalah yang kau buat sendiri.”
Lalu, Mai seperti mengingat sesuatu yang penting. Dia mengucap, “Oh” dan lanjut, “Apa kau bekerja paruh waktu besok?”
“Ya.”
“Sampai jam?”
“Dua.”
“Hmm.”
Dia mulai mengayunkan kakinya dengan riang. Wajahnya jelas mengharapkan sesuatu.
“Besok sore Aku ada waktu luang.”
Apa dia mengajak untuk berkencan?
“Pameran bunga Hortensia yang ada di Kamakura masih buka.”
Dia bahkan telah memilih tempat kencannya.
Setelah Sakuta mendengar hal ini, ia merasa sulit untuk menolaknya.
“Um,” ucap Sakuta dengan canggung.
Mai langsung memahaminya dan ekspresi wajahnya langsung terlihat bosan.
“Kau sudah berjanji akan berkencan dengan anak kelas satu itu?”
“Bukan kencan, cuma…tes kencan.”
“……”
“Mai-san?”
“Baiklah, kuizinkan.” Keluhnya dengan muram.
“……”
“……”
Sakuta menunggu keluhan berikutnya, tetapi tidak ada lagi.
“Kau tak akan bilang ‘Anak kelas satu itu lebih penting buatmu dibandingkanku, begitu?’”
“Kenapa Aku harus cemburu?”
“Aw.”
“Aku tahu kau sangat tergila-gila denganku.”
“Memang benar.”
“Anak kelas satu itu tidak ada apa-apanya buatku.”
“Wow, percaya diri sekali.”
Begitulah Mai Sakurajima itu. Beginilah diri Mai seharusnya.
“Jadi, Aku akan mengenyampingkannya kali ini saja.”
“Terima kasih banyak.”
“Tapi…yah…”
Mai memikirkan sesuatu dan dua detik kemudian, terpampang senyum jahat di wajahnya.
“Tapi, memaafkanmu begitu saja hanya akan menjadi contoh buruk. Jadi, tunjukkan kesetiaanmu itu.”
“Seperti?”
“Pikirkan sendiri.”
“Hmm.”
Sakuta merangkak mendekati Mai yang sedang duduk di tepi kasurnya.
“Ap-apa yang kau lakukan?”
Karena kaget, Mai mulai menjauh mundur tetapi segera terhenti karena dinding di belakangnya.
Sakuta terus mendekat dengan perlahan.
“Menjauh dariku!” bentak Mai, dan tanpa sadar kakinya berada di wajah Sakuta.”
“Ow!” ucap Sakuta, dengan hidungnya yang rata. Sambil berguling-guling di tempat tidur dengan menghadap ke langit-langit ruangan.
“Apa yang ingin kau lakukan?”
“Menunjukkan kesetiaanku.”
“Itu cuma nafsumu!”
“Yah…mungkin saja.”
“Ada tata cara yang harus dilakukan untuk hal ini! Kita bahkan belum berpacaran!”
“Ini momen yang tepat untuk melewati hal itu.”
“Tidak!”
“Sangat mengecewakan.”
“Dan salah siapa itu?”
Mai menatapnya dengan marah.
“Salahku sepenuhnya.”
“Kalau begitu, menyesal lah sedikit!”
Sakuta kembali duduk bersimpuh untuk ketiga kalinya.
“Yah, sebagai penggantinya, apa kau ada waktu luang Minggu depan?”
“Seminggu besok Aku akan pergi ke Kagoshima untuk syuting acara TV.”
“Oh.”
“……”
Mai duduk kembali sambil menatap Sakuta dengan curiga.
“Kau tidak tampak terkejut.”
Ini karena Mai sudah pernah memberitahunya tentang peran di serial TV itu. Tetapi ini pertama kalinya Mai memberitahunya setelah berhasil terlepas dari tanggal 27 Juni yang terus terulang.
“Yah, kalau kita bicara tentang dirimu. Kurasa kau akan memainkan suatu peran di salah satu acara TV dalam waktu dekat.”
“Tentu saja,” ucap Mai, tetapi dia merasa masih ada hal yang janggal. Tatapan matanya menyipit.
“Aku jadi ingin ikut ke Kagoshima.”
“Aku kesana bukan untuk bersenang-senang.”
Mai kembali duduk di tepi kasur, namun kakinya tidak sengaja menyentuh paper bag yang dibawanya. Diambilnya paper bag itu dan berkata, “Ini,” sambil menyerahkannya ke Sakuta.
“Mm?”
“Ambil ini.”
Lalu, Sakuta mengambilnya dari tangan Mai.
Di dalamnya ada gaun imut untuk anak gadis.
“Kau memberiku ini sebagai ganti dirimu saat kau pergi ke Kagoshima?”
“Itu untuk adikmu,” ucap Mai dengan tatapan sinis.
“Huh?” Sakuta tidak mengerti dengan yang Mai maksud.
“Kubilang Aku baru saja selesai pemotretan, kan? Gaun itu boleh kusimpan katanya.”
Jadi, Mai baru saja memakai gaun ini. Aroma gaunnya memang harum.
“Tapi agak terlalu feminin buatku.”
Mai mengeluarkan gaunnya dari paper bag, dan gaun itu dipenuhi dengan renda di ujung serta bagian lengannya.
“Jadi kau memikirkan tentang Kaede?”
“Dia cuma sedikit lebih pendek dariku, jadi harusnya pas untuknya.”
“Bukan itu maksudku…”
Hanya saja agak aneh jika tiba-tiba memberi pakaian ini ke Kaede.
“Ini caraku menyarankan agar kau harus lebih memperhatikan penampilan adikmu.”
“Jadi kali ini kau menunjukkannya langsung?”
“Jika dia lebih menyukai piama panda itu, tidak apa-apa. Tapi sebentar lagi dia akan berusia 15 tahun, kan?”
“Ya.”
“Mungkin jika dia mulai memakai pakaian seperti ini, dia ingin berjalan-jalan ke luar sesekali.”
“Ohhh…”
Kata-kata tersebut menjelaskan semuanya ke Sakuta. Mai mengkhawatirkan Kaede. Dia tidak bilang kalau Kaede yang mengurung diri itu hal yang benar.
Tidak hanya sekadar simpati yang mengatakan “Kasihan sekali dia”---tidak, Mai mencoba untuk membantu Kaede untuk terbuka dengan orang lain.
“……”
Tanpa Sakuta sadari, dirinya mulai menatap dengan kagum ke arah Mai.
“Ke-kenapa dengan tatapanmu itu?”
“Aku hanya senang karena kau memikirkan Kaede.”
“Tentu saja Aku memikirkannya!”
Mai bersikap seperti bukan apa-apa. Meskipun sikapnya terkadang seperti kekanak-kanakan saat sedang menggoda Sakuta, tetapi di saat seperti ini, sikap Mai tiba-tiba seperti sangat dewasa. Sakuta sangat menyukainya yang seperti ini dan hal itu selalu membuatnya merasa kalau dirinya tidak pantas untuk Mai.
“Aku akan memanggilnya,” ucap Sakuta sambil berdiri.
“Kau yakin?”
“Hanya saja jangan tunjukkan wajah menyeramkanmu itu.”
“Tidak akan!” bentak Mai merasa tersindir.
Tatapan Sakuta tertuju ke wajah Mai. “Seperti, wajahmu saat ini.”
“Kenapa dengan wajahku?” ucap Mai dengan sedikit kesal. Lalu, wajah tersebut perlahan menghilang digantikan dengan senyuman manis.
Perubahan ekspresi wajahnya yang begitu cepat bisa terbilang sangat menakutkan, pikir Sakuta. Tetapi jika ia mengatakan itu, Mai mungkin akan benar-benar marah padanya, jadi ia abaikan saja.
Sakuta meraih gagang pintu dan mencoba membuka pintu kamarnya. Namun, pintu itu seperti menabrak sesuatu hingga hanya terbuka sebagian, hanya terbuka sekitar lima senti.
“Ugh…” suara rintihan dapat terdengar di luar kamarnya.
Ia dengan perlahan membuka pintu kamarnya lagi, dan kali ini pintu itu terbuka sepenuhnya.
Kaede bisa terlihat di depan pintu kamar Sakuta sambil mengelus-elus dahinya.
“Kau sedang apa?”
Kaede melihat ke atas, dan pandangan mereka saling bertemu. Dia meringis kesakitan sambil meneriakkan, “Kaede tidak!”
Sakuta bahkan belum mengucapkan sepatah kata pun.
“Kaede tidak sedang berpura-pura sebagai ninja atau yang lainnya!”
“Ku…kira kau sedang menguping.”
Tapi rupanya, khayalannya lebih tinggi dari dugaan Sakuta. Kaede akhir-akhir ini sedang membaca novel sejarah; mungkin saja hal itu mempengaruhinya.
“Yah, tidak perlu repot kalau begitu.”
“Apa maksud onii-chan?” tanya Kaede yang terkejut.
Sakuta membawanya masuk ke dalam kamar.
Ketika Kaede melihat Mai, dia bersembunyi di belakang Sakuta.
“Halo,” ucap Mai.
Kaede menunjukkan wajahnya sekilas dan membalas, “H-halo,” bisiknya. Dengan cukup keras agar terdengar oleh Mai.
“Kaede, ini hadiah dari Mai-san.” Sakuta menyerahkan gaun imut yang berenda tersebut. Dengan ragu, Kaede mengambil gaun itu dari tangan Sakuta.
“Benarkah?” tanya Kaede sambil melihat gaun itu. Pandangannya seperti terkesima dengan gaun yang dipegangnya. Dilihat dari ekspresi wajahnya, sudah jelas kalau gaun tersebut menarik perhatiannya. “Ini sangat imut!”
“Mau mencobanya?” Mai menyarankan.
Kaede melihat ke Sakuta, seakan meminta izin untuk mengenakan.
Sakuta mengangguk, dan Kaede langsung keluar dari kamar itu seolah tidak bisa menunggu lebih lama lagi untuk memakainya.
Sakuta belum pernah melihat adiknya sebegitu ceria ini sebelumnya.
Kurasa memang butuh gadis lain untuk mengerti pikiran seorang gadis.
Setelah beberapa menit, Kaede muncul kembali tetapi kali ini hanya menunjukkan wajahnya dari balik pintu yang terbuka sedikit sambil tersipu malu.
“Onii-chan harus berjanji agar tidak tertawa,” ucapnya sambil menatap ke arah Sakuta.
“Aku akan tertawa jika memang lucu.”
Wajah Kaede langsung menghilang setelah itu.
“Jangan khawatir,” Mai memanggilnya. “Aku janji pasti akan terlihat imut.”
Dengan pujian itu, Kaede akhirnya melangkah masuk.
“G-gimana?”
Gaun putih elegan dengan tema musim panas dan panjang selutut. Sangat cocok untuk tubuh ramping Kaede.
“Ya! Benar-benar imut.”
“Kaede belum pernah memakai sesuatu seperti ini! Rasanya sangat canggung.”
Wajah Kaede memerah. Dia terus mencuri pandang dari dirinya yang tecermin di kaca, dirinya jelas sangat menyukai hal ini. Dia memutar tubuhnya ke kiri dan kanan, bahkan berbalik arah dan melihat bagian belakang gaunnya dari balik bahu.
“Menurut onii-chan gimana?” tanyanya menghadap Sakuta.
“Tidak lucu sama sekali.”
“Akui saja kalau itu imut?” Mai menggodanya dengan nakal. Sakuta sebaiknya merubah topik pembicaraannya dengan cepat.
“Jangan lupa berterima kasih ke Mai-san,” ucap Sakuta.
Mata Kaede dan Mai saling bertemu, dan dia langsung bersembunyi lagi di balik tubuh Sakuta tetapi berhasil menjawab dengan “Te-terima kasih banyak.”
“Sama-sama.”
“Er, um…” Kaede menatap Mai seperti ingin menanyakan sesuatu.
“Ya?” tanya Mai dengan lembut.
“Kaede boleh memanggil dengan sebutan Mai-san, juga?”
“Tentu saja. Kalau begitu, Aku juga akan memanggil Kaede-chan, ya?”
“T-tentu.”
“Kalau begitu, um…”
“Mm?”
“Apa hubungan Mai-san dengan onii-chan?”
“Yah…” Mai memikirkan hal ini, lalu melirik ke arah Sakuta. Jelas dengan niat jahat. “lebih dari senpai, tapi bukan pacar,” seru Mai yang sedikit kesal.
“A-apa Mai-san akan jadi pacar onii-chan?”
“Itu tergantung sama Sakuta. Tampaknya ia juga dekat dengan gadis lain.”
“O-onii-chan?!”
“Mai-san, jangan menipu Kaede.”
Begitu Sakuta ingin meluruskan penjelasannya, alarm jam digitalnya yang disetel ke jam sebelas malam berbunyi.
“Ini sudah larut, sebaiknya Aku segera pulang,” ucap Mai sambil bersiap pergi. “Sakuta nanti akan berbuat yang aneh-aneh jika Aku belum pulang juga.”
“Me-memangnya apa yang akan onii-chan lakukan?” tanya Kaede yang menatap ke arah Sakuta.
“Sesuatu yang seksi,” balasnya. Sakuta sepenuh hati mengatakan itu.
Lalu, ia mengikuti Mai yang keluar dari kamar. “Aku akan mengantarmu,” ucapnya.
Mereka berdua memakai sepatu di genkan.[1]
“Oh? Baiklah, kuizinkan. Sampai jumpa lagi, Kaede-chan.”
“S-sampai jumpa juga Mai-san!”
Masih terlalu takut untuk mendekat, Kaede hanya menjulurkan kepalanya keluar dari pintu kamar tidur Sakuta sambil melambai.
Sakuta dan Mai berjalan menuju lift tanpa berkata apa pun.
Pintu menutup, dan lift itu mulai bergerak turun. Rasanya seperti kaki mereka tidak menapak ke tanah.
“Mai-san, terima kasih untuk hari ini.”
“Kenapa begitu kaku.”
“Sudah lama semenjak Kaede berbicara ke orang lain selain diriku. Aku sangat senang dia bisa melakukan itu hari ini.”
“Ketika kau jujur seperti ini, Aku bahkan tidak bisa menggodamu.”
Lift tersebut akhirnya tiba di lantai pertama saat Mai mengatakan kata-kata tersebut.
Mereka berdua berjalan keluar dari pintu masuk otomatis. Kelembapan musim panas menyelimuti mereka begitu keluar dari gedung apartemen.
“Kurasa musim panas memang sudah tiba.”
Bahkan dengan matahari yang sudah terbenam, udara malam tidak terasa dingin sama sekali. Akan sulit untuk tidur dengan udara yang begitu panas ini.
“Mai-san, kau tidak suka dengan musim panas?”
“Sangat sulit untuk mempertahankan kulit putihku ini,” gerutunya. Tetapi sepertinya dia sudah terbiasa dengan itu sekarang ini.
“Ah, itu menjelaskan kenapa kau sering memakai stocking hitam.”
“Y-yah, Aku harus bekerja sebagai model, jadi… gimana denganmu?”
“Mm?”
“Apa kau suka musim panas?”
“Musim panas di mana Aku tak bisa melihat kaki telanjangmu bukan musim yang kusuka.”
Hawanya panas dan lembap, serta ia harus memaparkan bekas luka di dadanya saat kelas renang. Tidak ada yang enak dari musim panas.
Saat mereka asyik berbincang-bincang, mereka sampai di tujuan. Tujuannya adalah apartemen di seberang jalan, jadi tidak butuh waktu lama.
“Hanya saja, jangan biarkan hubungan palsu itu menjadi nyata,” Mai memperingatkan setelah diam beberapa saat.
“Mm?”
“Dengan anak kelas satu itu.”
“Hatiku ini hanya untukmu seorang, Mai-san. Seperti yang kubilang sebelumnya.”
“……”
Mai menatapnya seperti ingin mengatakan sesuatu kepada Sakuta, tetapi sebagai gantinya, dia hanya bilang “Yah, Aku senang kalau kau mengerti,” dan masuk ke dalam gedung apartemennya.
“Mai-san?”
“Selamat malam, Sakuta!” ucapnya. Dia berbalik saat di pintu masuk dan melambaikan tangannya.
“Selamat malam,” balas Sakuta dan melambaikan tangannya juga sebagai gantinya.
Pintu otomatis tersebut mulai menutup, dan Sakuta menatap Mai sampai tidak terlihat lagi.
Kemudian ia berbalik, dan berjalan pulang dengan Kaede yang sudah menunggunya.
Ia harus masuk kerja lebih awal besok. Sebaiknya Sakuta pergi tidur. Dengan sedikit niat, ia bisa tertidur. Namun saat hari perlahan berganti, ada sesuatu yang mengganjal di benaknya.
“Apa esok benar-benar akan tiba?” gumamnya sambil menaiki lift yang menuju ke atas.
Tetapi tidak ada satu pun yang dapat menjawab pertanyaannya.
[1] Nananotes: Genkan adalah ruangan di pintu masuk rumah yang digunakan untuk melepas atau memakai sepatu di Jepang.
0 Comments
Posting Komentar