Awal Hubungan Palsu
(Bagian 3)
(Penerjemah : Nana)
Satu hari kemudian setelah kencannya dengan Koga---Hari Senin, tanggal 30 Juni---tiba dengan normal.
Mungkin tidak akan ada pengulangan lagi. Mungkin juga mereka sudah menyelesaikan masalah Sindrom Pubertas Koga.
Sambil merenungkan hal tersebut, Sakuta berangkat ke sekolah…dan bertemu dengan Koga saat di peron Enoden, Stasiun Fujisawa.
Dengan banyak siswa-siswi SMA Minegahara di sekitar, mereka tidak bisa berpura-pura tidak kenal satu sama lain. Lagi pula, Sakuta seharusnya menjadi seorang yang “lebih dari senpai, tapi bukan pacar.” Mereka harus bersikap layaknya seperti itu. Dengan begitu, ia menyarankan, “Koga, mau bareng?”
“Mm.” balasnya. Suaranya terbilang sesak, dan Sakuta hampir tidak mengerti ucapannya.
Saat ia membungkuk untuk menoleh ke arahnya. Wajah Koga terlihat kemerahan.
“Kau demam?”
Terhantam ombak dan basah kuyup terkena air laut memang akan berakhir seperti ini. Mereka tidak bisa naik kereta bareng dengan Koga yang begitu berkeringat, jadi mereka harus berjalan pulang ke Fujisawa, yang harus di tempuh dengan berjalan kaki mendaki hampir tiga kilometer.
Bahkan ketika di musim panas, hal itu sangat berbahaya untuk dilakukan.
“Aku baik-baik saja,” ucapnya, tetapi matanya berkaca-kaca. Dia bahkan tidak punya tenaga untuk melihat ke arah Sakuta. Bahkan, bernapas saja sepertinya membutuhkan usaha lebih.
“Kau terlihat tak baik-baik saja,” ucap Sakuta sambil meletakkan tangannya di dahi Koga. Tubuhnya terasa sangat panas seperti terbakar. Jika ia sendiri terkena demam seperti ini, ia akan senang hati untuk tidak masuk karena sakit. Namun ketika kereta tiba, Koga langsung masuk ke gerbong kereta tersebut.
Sakuta menempatkan Koga di kursi kosong.
“Kita akan turun di stasiun berikutnya dan pulang ke rumahmu.”
“Tak mau,” cemberutnya seperti anak kecil.
“Kau begitu menyukai sekolah?”
“Jika Aku tak masuk sehari, Aku tak akan tahu apa yang dibicarakan oleh teman-temanku.”
“Kau hanya perlu tak masuk sehari ini.”
“Hanya perlu sehari untuk dikucilkan.”
Jadwal yang sangat melelahkan, pikir Sakuta.
“Kalau begitu tidurlah sampai kita sampai. Nanti kubangunkan.”
“Makasih,” ucap Koga yang terdengar lega dan tertidur sesaat kemudian.
Ia akhirnya mengantar Koga ke sekolah. Saat Koga kesusahan berganti sepatu uwabakinya di pintu masuk, Sakuta menuntunnya dengan paksa ke ruang UKS. Ia meninggalkannya di tangan perawat sekolah.
Saat Sakuta keluar dari ruang UKS, ia mendengar panggilan “Pengkhianat!” dengan suara serak. Pada akhirnya, ia mengabaikan panggilan itu.
Saat jam makan siang, ia diam-diam ke luar sekolah menuju minimarket terdekat. Ia berhasil menyelesaikan belanjanya dan kembali sebelum ada guru yang menyadari kalau ia keluar sekolah. Lalu, ia mengunjungi ruang UKS.
Ia melihat Koga yang sedang berbaring di tempat tidur UKS. Rena, Hinako, dan Aya juga datang menjenguknya.
Ketika ketiganya melihat Sakuta, mereka semua menyeringai dan bersiap untuk pergi sambil bilang, “Selamat bersenang-senang!”
Tampaknya perawat sekolah sedang sibuk di tempat lain.
Jadi hanya ada mereka berdua di ruangan ini.
“Sudah baikan?” tanya Sakuta yang duduk di bangku di dekat ranjang Koga.
“Mm,” gumam Koga dengan pelan. Suaranya terdengar lebih baik dibandingkan pagi ini.
“Mau jeruk kalengan?” Sakuta menawarkan sambil menaruh plastik belanja di meja di samping ranjang.
“Diam-diam ke minimarket saat jam makan siang melanggar peraturan sekolah.”
“Kau tak mau ini?” Ia mengeluarkan kaleng tersebut dari plastik belanjaannya.
“Aku mau,” ucap Koga sambil meraih kaleng itu.
Sakuta berniat menggodanya. “Tunggu dulu.”
“Kenaaapa? Senpai membelinya untukku, kan?”
Kemudian, Sakuta mengeluarkan wadah plastik penuh dengan es yang hancur dari plastik belanjaannya juga.
“Es?” Koga bertanya-tanya.
Sakuta mengabaikan pertanyaannya. Lalu, ia menaruh es ke baskom air bersamaan dengan kaleng jeruk tersebut ke dalamnya dan memutar-mutarnya.
“Apa yang senpai lakukan?”
Ia sedang meniru cara mendinginkan sesuatu dengan cepat dari yang diajarkan Futaba kepadanya.
Ia kemudian mengangkat kaleng tersebut dari baskom setelah beberapa menit, membuka penutupnya, dan memegangnya di depan Koga.
“Atau kau lebih suka kalau kusuapi?”
“Akan lebih susah memakannya jika seperti itu.”
Dia mengambil garpu plastik toserba dan memakan isinya.
“Wow, ini sangat dingin,” ucapnya sambil tersenyum senang. Lalu dia menyadari kalau Sakuta sedang menatapnya. “Jangan melihatku makan!”
“Kenapa?”
“Karena memalukan.”
“Kuulangi lagi, kenapa?”
Sakuta semakin kebingungan, tetapi ia tidak datang kemari untuk membuat marah kohai yang sedang sakit. Ia kemudian berdiri dan membuka jendela ruangan.
Angin pantai menerpa masuk ruangan ber-AC tersebut.
“Oh! Aku bisa mencium aroma lautan!”
Koga menutup matanya, membiarkan angin laut menerpa dirinya.
Dia duduk seperti itu untuk beberapa saat.
Lalu, dia berkata “Senpai.”
“Mm?” balas Sakuta sambil mencondongkan tubuhnya ke luar jendela.
“Kenapa senpai menyetujui permintaan konyolku?”
“Maksudmu tentang kita yang ‘lebih dari senpai, tapi bukan pacar’ itu?”
“Ya, yang itu.”
Di pantai Shichirigahama, Sakuta bisa melihat banyak papan selancar yang menantang ombak.
“Karena kau tampak putus asa.”
“Tapi senpai hampir tak mengenalku.”
“Bukannya kita sudah saling menendang bokong masing-masing.”
“Argh, senpai bisa serius tak?”
Ia melirik dari bahunya dan melihat Koga yang sedang cemberut sambil menggigit garpu di mulutnya.
“Tapi Aku tahu kalau kau itu orang yang baik, Koga.”
Dia menendang Sakuta dengan maksud mencederai karena dia kira kalau Sakuta sedang mencoba menculik anak kecil. Dia memang salah, tetapi tidak semua orang punya keberanian untuk melakukan hal seperti itu. Dan sisi baik Koga yang seperti ini muncul lagi kemarin ketika dia membantu Nana Yoneyama menemukan tali gantungan ponselnya.
“Karena itu senpai membantuku?”
“Yah, dan juga karena dirimu yang imut.”
“Senpai bercanda lagi.”
“Aku tak yakin akan melakukan hal yang sama jika kau itu jelek. Aku hanya menyampaikan kebenaran dari sudut pandang cowok.”
“…Aku yakin senpai juga akan melakukan yang sama,” balasnya begitu pelan hingga Sakuta memutuskan untuk berpura-pura tidak mendengarnya.
“Aku tak baik ke semua orang,” ucap Sakuta.
“Tapi senpai menggantinya dengan bersikap lebih baik ke beberapa orang.”
“Yah, Aku memang ingin agar beberapa orang berpikir kalau Aku ini orang baik.”
“Hmm.”
Koga tampak tidak yakin, tetapi enggan untuk membahasnya lebih lanjut. Dia selesai memakan jeruk kalengan tersebut dan meminum cairan jeruk yang tersisa.
“Kau sedang menyukai orang lain, Koga?”
“Huh?!” dia tergagap, jelas-jelas terkejut dengan pertanyaan ini. “Ke-kenapa senpai menanyakan itu?!”
“Jika ada seseorang yang kau sukai, bukannya rumor tentangmu yang mengencaniku akan menghalangi hal itu?”
“Aku tak sedang menyukai siapa pun. Jangan khawatir.”
“Bahkan tak ada yang kau minati?”
“Tidak.”
“Huh. Sayang sekali.
“Aku hanya tak punya waktu untuk hal seperti itu sekarang.”
“Terlalu sibuk menonton semua video yang dikirim teman-temanmu?”
“Senpai kasar sekali sekarang.”
“Kedengarannya kasar karena kau sadar kalau hal itu menjadi masalah untuk dirimu sendiri.”
“Kenapa bisa begitu?”
“Jika kau memang tak meragukan hal itu, kau akan membantahnya.”
“……”
Dirinya terdiam menandakan kalau dia setuju.
“Senpai benar juga,” balas Koga setelah beberapa saat. “Aku memang memedulikan tentang apa yang orang lain pikirkan tentangku. Bahkan saat ini, Aku memikirkan apa yang sedang mereka pikirkan tentangku yang menghabiskan sepanjang hari berbaring di ruang UKS.”
“Kau terlalu mengkhawatirkannya, Koga.”
“Kurasa senpai sendiri yang aneh. Kenapa senpai bisa tetap datang ke sekolah seperti ini meski semua orang berpikir kalau senpai itu orang aneh? Ketika semuanya menertawai senpai? Bagaimana senpai bisa tetap tidak menjalani hari-hari biasanya? Bagaimana senpai bisa mengabaikan hal tersebut?”
“Aku tak mengira kau akan mengatakan hal itu langsung di depanku.”
“Urp…maaf.”
“Tapi bukan berarti hal itu memang tak menggangguku.”
“Kalau begitu, Aku tak jadi minta maaf,” bisik Koga.
Namun, tatapan yang diberikan ke arah Sakuta menunjukkan wajah serius. Dia jelas-jelas menginginkan jawabnya yang serius.
Baiklah. Sambil tetap melihat pemandangan di luar jendela, Sakuta menjawab pertanyaannya seakan sedang berbicara dengan dirinya sendiri.
“Bukan berarti tujuanku dalam hidup ini agar membuat semua orang menyukai diriku.”
“Aku memang ingin agar seseorang menyukai diriku. Atau setidaknya…tak membenci diriku.”
“Aku akan baik-baik saja dengan hanya satu orang yang menyukaiku. Jika satu orang itu membutuhkanku, Aku bisa terus menjalani hidup ini.”
Ia kemudian membuka kemasan onigiri yang dibelinya untuk dirinya sendiri. Menaruh rumput laut kembali ke tempatnya, dan menggigit onigiri tersebut. Makan siang memang terasa lebih enak dengan pemandangan laut. Ini saja sudah membuat sekolah ini berarti.
“Bahkan jika seluruh dunia membenci senpai?”
“Aku tetap akan bahagia.”
“Sungguh?”
“Kau akan mengerti suatu hari nanti,” balasnya. Percakapan ini menjadi semakin canggung, jadi Sakuta ingin mengakhirinya.
“Ugh, sombongnya!” keluh Koga sambil menggembungkan pipinya seperti anak kecil. Ketika Sakuta menertawakan ini, Koga mengendurkan pipinya itu. Dia pasti menyadari kalau hal itu hanya akan mendorong Sakuta untuk memperlakukannya seperti anak kecil.
Saat hari pertamanya bekerja, ia kira Koga seorang yang polos. Tetapi setelah berbicara dengannya seperti ini, dia tidak kesulitan mengikuti apa yang dibicarakan olehnya, mengerti tentang arti tersirat maupun tersurat dari perkataannya.
Perhatian Koga lebih seperti tertuju ke sekitarnya, mencoba untuk tidak melewatkan apa pun. Jika dilihat dari sisi positifnya, dia mengerti situasinya dengan baik. Namun negatifnya, dia terlalu fokus dengan membaca ‘situasi’ dalam ruangan dan selalu bersikap dalam cara yang sesuai dengan ‘situasi’ atau ‘arus’ tersebut. Riasannya, gaya rambutnya, dan gaya berpakaiannya merupakan contoh yang sempurna dari ini.
Bahkan, pacar palsunya juga merupakan bagian dari hal ini.
Dia sangat mahir dalam menghindari konflik atau pertikaian kecil dalam hidup ini. Berusaha keras agar tidak ada ombak konflik yang menghantamnya. Selalu waspada untuk mencegah suatu masalah sebelum hal itu terjadi.
Sakuta tidak bisa hidup seperti itu karena pikirnya terasa melelahkan.
“Senpai sedang memikirkan hal yang kasar kan?”
“Tak juga.”
“Aku tak percaya.”
“Sebenarnya, sebaliknya.”
“Apa maksudnya itu?”
Sakuta mengabaikan pertanyaan Koga dengan balik bertanya kepadanya.
“Koga, jika kau jatuh cinta dengan orang yang sama yang disukai Rena, apa yang akan kau lakukan?”
Ia bisa menebak jawaban Koga tetapi tetap menanyakannya karena ia ingin agar Koga menyadari hal yang sama.
Tidak semua konflik atau pertikaian dapat dihindari. Dengan melakukan hal itu hanya akan membebani mental seseorang.
“Jika hal itu terjadi, Aku tak akan pernah memberi tahu Rena.”
“Bagaimana jika kau menyukai orang yang sama dengan Hinako?”
“Aku juga tak akan memberi tahunya.”
“Atau Aya?”
“Sama juga.”
“Kalau begitu, kau hanya tinggal menyerah.”
“Kupikir begitu.”
“Ah memang benar tebakanku.”
“Kalau begitu jangan menanyakannya.”
Menyerah itu sah-sah saja dilakukan selama seseorang masih bisa melakukannya. Jika emosinya hanya sebatas itu saja, semuanya masih akan baik-baik saja. Tetapi ia mengira suatu saat Koga akan terjebak dalam masalah tersebut jika perasaannya begitu kuat hingga dia tidak bisa merelakannya. Jawaban yang diberikan oleh Koga sebelumnya pasti akan menjebaknya. Dan Sakuta mengira akan ada kemungkinan kalau bahaya nyata itu terjadi.
“Kau masih saja seperti anak-anak.”
“J-jangan perlakukan Aku seperti anak kecil!”
“Kurasa jawabanmu itu menunjukkan sifat kekanak-kanakanmu.”
“Urp… Oh, iia. Senpai. Aku jadi ingat…”
“Mm?”
“Apa yang terjadi dengan Sakurajima-senpai?”
“Masih menunggu jawabannya.”
“Huh? Dia masih belum menolak senpai?!”
“Jika pengulangannya tak terjadi, Aku akan menjadi pacarnya secara resmi setelah makan siang hari itu.”
“Senpai bercanda kan?!”
“Sumpah demi Tuhan.”
“Aku tak percaya senpai.”
“Kenapa tidak?”
“Maksudku, ini tentang Sakurajima-senpai kan?! Mai Sakurajima-senpai yang terkenal itu? Si Mai Sakurajima-senpai?!”
“Yeah.”
“Sakurajima-senpai bilang kalau dia mencintai senpai?” Koga menatapnya dengan curiga.
“Yah…tak dicurahkan dalam kata-kata.”
“Kan? Senpai cuma membayangkannya.”
Memang menjadi fakta kalau Mai tidak pernah secara khusus mengatakan “Aku mencintaimu.” Dan hal itu juga menjadi fakta kalau ia ingin agar Mai mengatakan hal itu ke dirinya. Hal tersebut akan membuat hubungan mereka menjadi lebih pasti.
Dan Koga yang menyinggung hal ini mengartikan kalau hal itu memang benar-benar mengganggunya. Apakah Mai benar-benar mencintainya? Setelah sebulan penuh mengajaknya berpacaran, rasanya seperti dia sudah tidak peduli lagi. Ditambah, dia mungkin sudah mengabaikan pernyataan cinta dirinya saat di lapangan. Sakuta merasa kalau Mai sudah menyerah untuk kabur dari rayuannya.
Dan hal itu membuatnya merasa sangat tidak nyaman.
“Kali berikutnya Aku mengajaknya pacaran, akan ku pastikan agar dia mengatakannya.”
“Sakurajima-senpai pasti akan menolak senpai dengan mentah-mentah.”
Koga sangat yakin akan hal ini.
“Yah, bagaimanapun juga, pertama-tama kita harus menyelesaikan semester ini dulu.”
Mereka hanya harus menipu seluruh siswa-siswi sampai saat itu.
Jika mereka tidak bisa melakukannya, baik Sakuta ataupun Koga tidak akan punya masa depan cerah yang menunggu mereka.
“…Mm.”
Untungnya, tidak ada tanda-tanda kalau Rena mencurigai mereka. Dengan begini, mereka seharusnya bisa bertahan selama tiga minggu ke depan. Yang tidak dapat diprediksi hanya tinggal Maesawa.
Apakah ia percaya kalau Sakuta dan Koga berpacaran atau tidak, ia mungkin akan memutuskan untuk mengajaknya berpacaran lagi atau melakukan sesuatu untuk memberi tahu Rena tentang apa yang sedang terjadi. Jika hal itu sampai terjadi, kebohongan mereka akan terbongkar. Rena tidak boleh sampai tahu kalau si Maesawa menyukai Koga.
Sakuta merasa kesulitan untuk bersikap optimis.
0 Comments
Posting Komentar