Awal Hubungan Palsu
(Bagian 4)
(Penerjemah : Nana)
Hari berikutnya adalah Hari Selasa. Dengan mengganti lembar kalender---hari ini adalah hari pertama di bulan Juli. Harus datang ke sekolah dengan demam dan menghabiskan sepanjang hari di ruang UKS, Koga mengerti keadaan dirinya dan beristirahat di rumah.
Namun saat Hari Rabu tiba, dia sudah pulih sepenuhnya dan saat jam makan siang dia membawa persik kalengan ke Kelas 2-1.
Pandangan semua orang yang ada di dalam kelas tertuju pada kaleng yang dibawanya dan saling bertanya-tanya, “Kenapa harus persik?”
Sepertinya ini untuk membalas jeruk kalengan yang diberikan oleh Sakuta.
Karena menyadari alasannya, Sakuta memutuskan untuk menggodanya kemudian.
“Ini karena bokongmu yang seperti persik?” tanya Sakuta.
“Jangan mesum!” bentaknya sambil cemberut.
“Yah, Aku akan menyantap ini nanti malam sambil memikirkan tentang bokongmu,” ucapnya menambahkan.
Koga langsung merebut persik kalengan itu dari tangan Sakuta.
“D-dasar bodoh!” bentaknya lagi dan langsung pergi dari kelas Sakuta.
“Mungkin Aku sudah sedikit kelewatan.”
Ia harus berusaha lebih baik untuk menyesuaikan diri dengan standar yang bisa diterima oleh yang lainnya kali berikutnya.
Ada banyak teman kelas yang menatapnya. Celotehan sinis para gadis di kelasnya yang bilang, “Pelecehan seksual? Sangat menjijikan.” Dan para siswa dengan irinya, “Saling bermesraan di depan orang-orang!” Sepertinya tidak satu pun dari mereka yang terkejut dengan Sakuta dan Koga yang berpacaran.
Semua ini berkat era globalisasi. Rumor tentang mereka pasti sudah menyebar ke seluruh siswa-siswi di sekolah ini.
Koga masih marah dengannya setelah pulang sekolah pada hari itu. Mereka berdua bekerja di shift yang sama, jadi mereka berdua berada di tempat yang sama. Tetapi setiap kali mereka bertemu, Koga menyembunyikan bokongnya dan melotot ke Sakuta seakan-akan ia membunuh orang tuanya.
Namun sayangnya, Sakuta sama sekali tidak merasa terancam dengan tatapan ini.
Saat jam delapan malam, jam sibuk mulai mereda. Pelanggan yang berdatangan sudah tidak terlihat lagi, dan pesanan semua pelanggan yang ada sudah dilayani. Sebagian besar juga sedang memakan pesanan mereka.
Sakuta sedang berjaga di kasir ketika Koga mendatanginya.
“Ada satu hal yang ingin ku perjelas,” ucapnya.
“Aku tahu Aku tak punya sopan santun.”
“Aku sudah menyerah dengan hal itu.”
“Kalau begitu apa?”
“……”
Cara Koga memandangnya membuat Sakuta ngeri.
Rasanya ada hal besar yang ingin diucapkannya.
“Bokongku tak sebesar itu,” desaknya.
Benar-benar bukan hal yang Sakuta harapkan sama sekali.
“Rendah hati sekali!” balasnya sambil menepuk bahu Koga seolah-olah menghiburnya.
“Jawabannya salah!”
“Kau harus lebih percaya diri.”
“Dalam hal?!”
“Bokong persikmu itu.”
“Bokongku tak seperti persik! Itu maksudku!”
“Tidak, tidak, jangan menyangkalnya seperti itu!”
“Argh, Aku seharusnya tak pernah membahas ini dengan senpai!”
Tampaknya sangat marah kali ini, Koga pergi dengan angkuhnya.
Tetapi kurang dari semenit kemudian, dia menerima pesanan minuman yang baru pertama kali baginya dan terpaksa harus datang ke Sakuta untuk meminta bantuan.
“Apa yang harus kulakukan dengan pesanan bir?” tanyanya dengan canggung.
“……”
Sakuta berpura-pura tidak mendengarnya saat ia mengisi ulang gelas kosong di konter minuman.
“Jangan mengabaikanku!” pintanya sambil menarik-narik celemek Sakuta.
“……”
“T-tolong! Bantu Aku!” Koga terlihat akan menangis. “A—Aku berjanji kalau Aku akan lebih percaya diri dengan bokongku.”
Ketika ia mendengar hal itu, Sakuta langsung menatap ke arahnya.
“Kau mengakui kalau bokongmu seperti persik?”
“B-baiklah! Aku mengakuinya! Aku punya bokong persik!”
Dia jelas-jelas sudah tidak peduli lagi.
“Yah, baiklah kalau begitu. Biar kutunjukkan caranya.”
“Senpai jahat!”
Sakuta terus menggoda Koga sampai shift mereka berakhir pukul sembilan malam. Ia lalu mengantar Koga pulang ke rumahnya sebelum kembali ke gedung apartemennya pukul setengah sepuluh.
Kaede baru saja selesai mandi, jadi Sakuta langsung saja gantian dengannya untuk membasuh keringat dari hari itu.
Setelahnya, ia merasa segar kembali.
Dengan hanya mengenakan celana boxernya, Sakuta mengambil minuman olahraga dari dalam kulkas, menuangkan isinya ke gelas, dan meminumnya. Sebuah perasaan menyegarkan menyebar ke seluruh tubuhnya yang masih hangat. Ia sedari dulu selalu menyukai minuman olahraga ini, namun semenjak Mai menjadi model dari minuman ini, rasanya semakin enak. Setiap tegukan yang ia minum mengingatkannya akan Mai.
Mai sedang berada di Kagoshima untuk syuting serial TV selama sepekan ini.
Sekarang sudah pukul sepuluh lewat, tapi mungkin dia masih syuting. Atau dia sudah kembali ke hotelnya sekarang? Sangat susah mengetahuinya dengan pekerjaan yang dilakukannya.
Ia kembali menuangkan minuman tersebut ke gelas untuk kedua kalinya. Kali ini Sakuta dengan pelan meminumnya dengan tiga tegukan.
Setelah selesai, ia mencuci gelas tersebut dan meletakkannya di rak pengering. Lalu, telepon rumahnya berdering.
Ia dengan cepat mengeringkan tangannya dan mengangkat panggilan tersebut.
“Ya, ini Azusagawa.”
“Ini Aku.”
Sakuta langsung tahu siapa yang meneleponnya.
“Mai-san, bagaimana kabarmu?”
“Aku menelepon karena kupikir kau ingin mendengar suaraku.”
“Aku baru saja memikirkan tentangmu.”
“Kau sebaiknya sedang memakai celana dalam.”
Dia benar-benar salah sangka dengan kata-katanya barusan.
“Aku memang sadar kalau kau menganggapku seperti itu, tapi…”
Rupanya, dia mengira kalau Sakuta baru saja onani.
“Aku memang memang memakai celana. Hanya celana dalam.”
“Huh? Kenapa cuma celana dalam?”
“Aku baru saja selesai mandi.”
“Oh. Alasan yang normal.”
Apa itu hal yang buruk?”
“Yah, jika Aku memang tak sanggup menahannya lagi, Aku mungkin butuh bantuanmu saat itu.”
“Baiklah, baiklah, silahkan saja.”
Sakuta kira Mai akan tersipu malu, tetapi dia menanggapinya dengan sepele.
“Bagaimana kabarmu?” tanya Mai.
“Entahlah, sama seperti biasanya.”
“Kau menikmati kencan dengan pacar imutmu itu?”
“Ya biasa saja.”
Reaksi Koga memang cukup lucu.
“Hmph.” Mai tidak terdengar puas.
“Apa jawaban yang tepat untuk pertanyaan itu?”
“Kau akan berlari kemari dan menemuiku di Kagoshima.”
“Lalu, berlari memelukmu?”
“Mungkin akan sedikit memalukan.” Dia terdengar kesal. Benarkah itu ide yang buruk?
“Bagaimana denganmu, Mai-san? Ada hal lain selain syuting?”
“Aku memakan beruang kutub.”
“Buas sekali.”
“Ini es serut.”
“Aku tahu itu. Yang ada buah di atasnya, kan?”
“Membosankan.”
Sang Ratu sangat tidak adil malam ini.
Tetapi nada bicaranya terdengar riang, dan tampak bersemangat seperti mengharapkan sesuatu. Mungkin dia sangat senang karena bisa berakting lagi.
“Kau menikmati syutingnya?”
“Tentu saja!” balasnya langsung. “Sakuta, apa kau tahu ingin jadi apa setelah lulus nanti?”
“Sebagian besar anak SMA masih belum memikirkan tentang hal itu.”
“Sayang sekali.”
“Tapi, Aku ingin jadi Sinterklas.”
“Karena kau bisa libur selama sisa 364 hari?”
“Ketahuan ya?”
“Jika kau terus bicara hal yang bodoh kau akan menjadi orang bodoh nantinya. Baiklah, selamat malam.”
“Uh, oke, malam juga.”
Sakuta menunggu sampai Mai menutup telepon, lalu meletakkan kembali gagang telepon ke tempatnya.
0 Comments
Posting Komentar