Segala Kebohonganku Padamu
(Bagian 3)
(Penerjemah : Nana)
Seusai sekolah di Hari Jum’at, dengan UAS yang berlangsung selama lima hari telah selesai, Koga menepati janjinya dan pergi berbelanja pakaian dengan Sakuta.
Mereka menaiki kereta yang melaju di Jalur Utama Tōkaidō dari Stasiun Kereta Fujisawa.
Perjalanannya memakan waktu sekitar dua puluh menit.
Di dalam kereta, Koga mengeluarkan majalah fashion dari ranselnya dan membacanya dengan begitu teliti dan serius. Dia tetap seperti itu ketika kereta yang mereka tumpangi sampai di Stasiun Yokohama.
Stasiun ini sangatlah besar dan tampak selalu menjalani renovasi. Di sana, mereka transit untuk berpindah kereta yang ada di Jalur Negishi.
Stasiun selanjutnya di jalur itu adalah Stasiun Sakuragicho, tempat pemberhentian mereka.
Gedung Pencakar Langit Yokohama baru-baru ini menjadi gedung tertinggi kedua di Jepang. Bianglala Raksasa bernama Cosmo Clock 21 juga tidak kalah terkenalnya. Jenis pelabuhan yang sangat berbeda dari Shichirigahama.
Pemandangan-pemandangan seperti ini adalah inti dari apa yang banyak orang kira dari “Yokohama” itu sendiri. Tetapi, kita tidak akan melihat hal-hal seperti ini jika keluar dari Stasiun Kereta Yokohama.
“Senpai dari Yokohama, kan? Atau itu juga rumor?”
“Aku berasal dari pedalaman Yokohama, tanpa bisa melihat laut sedikit pun, tapi Yokohama memang seluas itu.”
Apa dia benar-benar mendengarkanku? Karena Koga mengeluarkan ponselnya dan sedang mengambil gambar Bianglala Raksasa di kejauhan. Hubungan mereka mungkin saja palsu, tetapi selama semester ini belum berakhir, mereka masih sepasang kekasih. Dia berusaha keras untuk mengabadikan momen ini.
Tempat pertama yang Sakuta dan Koga kunjungi adalah mal besar yang berjarak sekitar tujuh atau delapan menit berjalan kaki dari stasiun. Tempat perbelanjaan baru yang baru saja dibuka setahun sebelumnya, semua yang ada di mal itu terasa masih sangat baru dan mengkilap.
Mereka menghabiskan waktu sekitar setengah jam untuk membeli pakaian yang dibutuhkan. Anggaran yang dimiliki oleh Sakuta sekitar 7000 sampai 8000-yen, jadi Koga membantunya mencari satu set pakaian yang cocok untuk Kaede. Pakaian yang dibelinya terasa sangat modis dan ternyata harganya juga terjangkau.
Karena Sakuta masih memiliki anggaran yang tersisa, ia juga ingin mencari pakaian dalam yang sesuai dengan usia Kaede.
“Uh, Koga…”
“Apa?”
“Pakaian dalam jenis apa yang kau pakai?”
“……”
“……”
“Huh?” Dia berbalik menatap Sakuta dengan mulut terbuka.
“Apa kau tak mengenakan apa-apa?”
“Tentu saja Aku memakainya! Tapi jenisnya biasa saja… Kenapa juga Aku mengatakan hal ini?! Kenapa senpai menanyakan hal itu?!”
“Kupikir kita juga harus mencari pakaian dalam yang cocok dengan gadis lima belas tahun.”
“Adik senpai seharusnya membelinya sendiri!”
“Uh, jadi Aku tak bilang hal ini ketika kau mampir kemarin, tapi Kaede itu tak suka keluar rumah.”
“Tak suka keluar rumah?” Koga berkedip ke Sakuta.
“Mengurung diri lebih tepatnya. Karena dirundung di SMP.”
“Huh? Gimana dengan ibu senpai?”
“Keadaan adikku yang seperti itu begitu berat untuknya. Kami tak tinggal bersama lagi. Ayahku yang merawat ibuku sekarang.”
“……”
Koga mengamati ekspresi wajah Sakuta dengan teliti.
“Akhirnya masuk akal juga.”
“Apanya?”
“Karena itulah senpai membantuku.”
“Kau memang pintar membaca situasi.”
Tidak ada gunanya jika ia menyangkalnya sekarang.
“Senpai juga. Kukira awalnya senpai tak bisa, dan karena itu senpai dikucilkan, tapi senpai bisa menyadari hal itu. Senpai hanya memilih untuk mengabaikannya.”
“Benarkah?”
“Ya.” Koga tersenyum dan berbelok ke arah kiri. “Senpai tunggu di sini.”
“Kenapa?”
“T-tunggu saja! Jangan bergerak selangkah pun!”
Koga menaiki eskalator ke lantai atas.
Sakuta menunggu sekitar lima belas menit. Ketika Koga kembali, dia memegang tas belanja biru yang tidak tembus cahaya sehingga barang di dalamnya tidak terlihat.
“Ini.”
Dia menyerahkan tas belanja itu ke Sakuta, tetapi ketika ia ingin melihat isinya, Koga menghentikannya.
“Jangan mengintip!”
“Kenapa tidak?”
“K-karena ini sama dengan yang kupakai.”
Koga merapikan roknya dengan gelisah. Sakuta melihat ke arahnya, lalu ke tas belanja di tangannya.
“Sekarang Aku jadi ingin melihat isinya,” ucap Sakuta sambil mencoba melihat isi dari tas belanja yang ada di tangannya lagi.
“Tidak! Jangan! Argh, Senpai! Jika kau begitu mesum, Sakurajima-senpai akan meninggalkanmu.”
“Huh?”
Kenapa sekarang dia membicarakan Mai?
“Entah kenapa ada aktris terkenal yang tertarik dengan senpai. Jangan menyia-nyiakannya!”
“Bukannya kau bersikeras kalau semua itu cuma khayalanku saja kemarin?”
Koga tidak percaya dengan Sakuta. Jadi dia meminta bukti kalau Mai menyatakan cintanya ke Sakuta. Hal ini terjadi saat Koga sakit di ruang UKS.
“Tapi Aku melihatnya muncul di apartemenmu.”
“Oh iia, dia membawa oleh-oleh untuk ku dan Kaede.”
Koga menyerah untuk belajar bersama dan bertemu dengan Mai di lift saat dia meninggalkan apartemen Sakuta.
“Aku akan membantumu dengannya, senpai! Kupastikan kalau kalian berdua jadi pacaran.”
“Salah siapa kalau kami masih belum pacaran sampai sekarang?”
“Urp…Ka-karena itulah Aku mau membantu senpai!”
“Tentu saja, makasih. Aku menghargainya… Jadi, selanjutnya mau apa? Ada barang yang ingin kau beli?”
“Er…uh, mm. Keberatan jika ikut Aku memeriksanya?”
Sakuta mengikuti Koga naik ke lantai atas, dan dunia yang kaya akan warna-warni terbentang di hadapannya. Toko baju renang dengan segala ukuran, bentuk, dan warna.
“Aku berjanji akan pergi ke pantai bersama dengan teman-temanku,” ucapnya. “Tapi satu-satunya baju renang yang kupunya cuma yang dari sekolah…Jadi Aku berpikir, apa yang akan dipakai teman-temanku yang lainnya?”
“Bukannya kau punya baju renang SMP?”
“Kenapa Aku harus memakai itu lagi? Oh, gimana kalau yang ini?”
Terlihat sedikit tersipu malu, Koga menunjukkan bikini berwarna pink yang berenda.
Dia coba membayangkan dirinya mengenakan bikini itu.
“Aku tak suka yang ada bantalan.”
“Ini bukan untuk senpai!”
“Baju renang seperti itu ya…”
Sakuta mengalihkan pandangannya ke manekin terdekat sebagai perbandingan. Tetapi pandangannya segera tertuju ke gadis cantik berambut pirang yang bahkan tidak sebanding dengan manekin yang ada. Wanita asing yang begitu cantik membuat dirinya tercengang hingga Sakuta tidak bisa tidak menatap dirinya yang begitu elok dipandang.
Warna mata biru yang menawan. Bibir yang seksi. Serta pakaiannya yang terang-terangan menunjukkan ukuran dada dan seberapa ramping pinggangnya itu. Dia sedang berdiri di sudut toko bagian baju renang, dengan bahasa Jepang fasih, dia berkata, “Gimana dengan ini? Atau ini?” ke gadis ramping dengan rambut hitam panjang.
Tidak, tunggu dulu, orang yang berambut hitam panjang itu bukanlah seorang gadis, tetapi pria kurus dengan fitur wajah yang memadukan unsur maskulin dan feminin (androgini). Lebih seperti “Cowok cantik” dibandingkan “tampan.” Ia tampak di usia yang sama seperti gadis pirang tersebut.
Pasangan asing ini begitu menarik perhatian dari semua orang yang berada di toko, tidak hanya Sakuta dan Koga.
“Gimana kalau yang ini?”
“Semuanya cocok,” ucap si pria yang jelas sudah muak.
“Tak perlu malu seperti itu! Tak ada yang melihat kita.”
Yeah, benar sekali, kecuali semua orang yang ada di toko terpaku dengan sepasang kekasih ini. Dan si pria tidak merasa malu, ia hanya muak. Apa hubungan ini bisa dibilang sehat?
“Mereka semua sama saja!”
“Maksudmu Aku bisa membuat semua ini jadi cocok denganku?” tanya si wanita sambil tersenyum dengan jahil.
Hal itu mengingatkan Sakuta akan Mai. Khususnya tentang betapa percaya dirinya seorang wanita yang tahu betul betapa cantik dirinya itu. Si wanita itu memang bercanda, tetapi maksudnya juga nyata.
“Yeah,” si pria mengakuinya. Hal ini sepertinya tidak diduga oleh si wanita. Tetapi kemudian dia tersenyum bahagia. Senyuman yang begitu cemerlang sehingga membuat situasinya menjadi rileks kembali.
“Tak biasanya Aku dipuji olehmu.”
“Faktanya memang begitu,” ucap si pria, dan kemudian ia mulai berjalan pergi seperti tidak bisa menahannya lagi.
“Ah! Tunggu!” si wanita berlari mengejarnya sambil merangkul tangannya meski si pria mengeluh.
“Kukira kau kembali ke Inggris? Kenapa kau ada di Jepang lagi?”
“Kan kubilang kalau Aku ada pameran di sini. Dan orang tuaku juga ikut. Kau harus bertemu dengan mereka malam ini!”
“Ap-apa?! Aku baru tahu!”
“Sekarang kuberi tahu.”
Tampaknya situasinya menjadi memanas, tetapi karena mereka sudah berada di eskalator sekarang ini, Sakuta tidak tahu kelanjutannya seperti apa.
“Uhm kau lihat sendiri kan, Koga?” ucap Sakuta sambil berbalik. “Ketika kau berisi seperti cewek rambut pirang tersebut, kau sudah siap untuk memakai bikini.”
“Aku tak akan pernah seperti dia!”
“Kalau begitu, Aku lebih suka yang seperti ini sebagai gantinya,” sakuta mengambil baju renang di dekatnya.
Baju renang tipe kamisol yang menutupi dada hingga pinggang pemakainya. Bagian bawahnya dipotong seperti sepasang celana pendek. Setelah dilihat lebih dekat, bagian atas dan bawah memiliki dua lapisan.
Koga menatap baju itu dengan lama, lalu mengembalikannya ke tempatnya.
“Akan kupikirkan lagi dan membelinya sendiri nanti,” ucapnya.
Ketika mereka selesai berbelanja, Sakuta dan Koga berjalan-jalan di Taman Yamashita. Sebuah taman yang cukup besar yang dibangun di tepi laut. Koga mengambil banyak gambar dan terkadang mereka berdua saling berpose bersama seperti sepasang kekasih.
Saat matahari mulai terbenam, Koga menunjuk ke arah Bianglala raksasa dan berkata, “Mari kita selesaikan dengan itu,” sarannya.
Lampu-lampu gedung membuat kota ini tampak bersinar.
Gondola mereka perlahan naik dan pemandangan dari seluruh pelabuhan yang bermandikan cahaya matahari terbenam dapat mereka lihat. Sekali lagi, Koga mengeluarkan ponselnya dan mengabadikan momen dari kencan mereka.
Ketika dia selesai mengambil gambar, Sakuta memutuskan sudah saatnya untuk membahas masalah utamanya.
“Jadi, Koga…”
“Apa?”
Dia terpaku dengan pemandangan dibalik gelas kaca yang begitu memesona.
“Kita perlu mencari cara bagaimana kita akan putus.”
“Huh? Oh yeah…Aku sudah memikirkannya.”
Dia berbalik dan mengangguk. Hal ini menyiratkan kalau dia sudah berpikir tentang hal ini lebih dulu dibanding Sakuta.
Berita tentang hubungan mereka berdua sudah tersebar ke seluruh siswa-siswi Minegahara. Sakuta bahkan berkelahi dengan anak kelas tiga demi Koga, jadi semuanya pasti mengira kalau hubungan mereka cukup serius.
Jika hubungan mereka putus begitu saja setelah liburan musim panas, tidak ada satu pun yang akan mempercayainya. Mereka harus mencari alasan tertentu kenapa hubungan mereka bisa berakhir.
“Jangan khawatir---Aku sudah punya rencana bagaimana putus dari senpai,” ucap Koga seperti sedang memikirkan permainan baru yang menyenangkannya.
“Tunggu dulu, Aku yang dicampakkan?”
“Ya, Aku menyadari kalau senpai masih menyukai Sakurajima-senpai, dan Aku putus dengan senpai karena itu.”
“Rasanya Aku pernah mengalaminya.”
“Lalu berakhir dengan Aku yang menampar senpai sambil teriak, ‘Aku tak butuh senpai lagi!’”
“Kita harus melakukan hal itu juga?”
“Agar lebih realistis.”
“Hoo boy…”
“Luangkan waktu senpai setelah upacara penutupan akhir semester. Kita akan bertengkar setelah selesai kencan di pantai.”
Koga tersenyum sepanjang waktu ketika dia menjelaskan rencana menampar Sakuta. Saat berada di Bianglala raksasa yang dipenuhi oleh pasangan lain.
Tetapi hubungan mereka tidak bisa dibilang sebagai romantis selama ini, seperti sepasang kekasih nyata. Mereka juga tidak pernah berpura-pura bertindak sebagai sepasang kekasih.
Jika Sakuta harus mengungkapkan hubungan mereka dengan kata-kata, mereka tidak lebih dari senpai dan kohai yang akur. Seiring berjalannya waktu, persahabatan mereka menjadi sebuah hubungan di mana menggoda satu sama lain itu sudah menjadi hal yang biasa.
Sakuta merasa kalau janji yang mereka buat sudah menjadi suatu kenyataan.
“Ketika kebohongan ini berakhir, kita tetap teman.”
Cara mereka bercanda atau melakukan sesuatu bersama sudah bisa dibilang seperti itu.
“Kenapa senpai tersenyum?”
“Tak apa-apa.”
“Ugh, jangan menggodaku seperti itu!”
Dan Sakuta merasa sangat nyaman dengannya.
0 Comments
Posting Komentar