Segala Kebohonganku Padamu
(Bagian 4)
(Penerjemah : Nana)
Dengan masa UAS yang berakhir, suasana di sekolah sudah dipenuhi oleh aura libur musim panas dari semua siswa-siswi. Selain suasana senang atau sedih karena hasil UAS, semua siswa-siswi merasa lega mengetahui kalau mereka bisa terlepas dari hari-hari sekolah yang sibuk setelah melewati minggu ini.
Dengan pantai lokal yang secara resmi dibuka untuk umum, sangat sulit untuk duduk manis di kelas sambil mengulas jawaban UAS.
Satu-satunya yang menghentikan mereka adalah ombak besar di Shichirigahama, dan saat ini berenang masih belum diperbolehkan. Hari di mana kerumunan wisatawan berada tepat di luar jendela sekolah, siswa-siswi terlihat seperti akan memberontak. Karena hanya perlu menoleh ke arah kiri untuk melihat pantai Yuigahama dan ke kanan untuk melihat Pantai Timur Enoshima.
Pemandangan dari kerumunan wisatawan yang berada di kejauhan dan kios-kios pantai yang dibuka membuat belajar seperti benar-benar membuang waktu.
Para guru juga menyadari hal itu dan tidak melarang siswa-siswinya.
Tidak ada yang peduli.
Kebanyakan siswa-siswi pergi berenang di pantai ketika jam sekolah usai. Perbedaannya sangat terlihat jelas karena kulit mereka semua menjadi kecokelatan setelah terbakar sinar matahari.
Pemandangan musim panas yang khas untuk sekolah yang berada di tepi pantai manapun.
Akhirnya, minggu terakhir semester berlalu dengan damai.
Hubungan palsunya dengan Koga berjalan dengan lancar. Tidak ada satu pun siswa-siswi yang mencurigai mereka. Hubungan Koga dengan teman-temannya juga baik-baik saja. Dia berbelanja bersama dengan Rena, Hinako, dan Aya di Hari Minggu dan membeli baju renang baru. Dia memberi tahu semua itu ke Sakuta saat kerja paruh waktu mereka di restoran dekat stasiun.
“Senpai ingin melihatnya?”
“Tak juga. Omong-omong, Koga…”
“Kenapa senpai kejam begitu?!”
“Adikku sangat menyukai pakaian yang kau pilih. Makasih.”
“Oh, tentu. Baguslah!”
“Tapi Aku masih tak percaya kau memakai dalaman seperti itu.”
“Huh?! Senpai melihatnya?!”
“Aku tak pernah mengira kalau dalaman itu selalu berada di balik rokmu.”
“Ak-Aku punya masih normal!”
Saling menghabiskan waktu bersama-sama, minggu terakhir dari semester pertama hampir berakhir. Dan di hari terakhir, Hari Jum’at tanggal 18 Juli, tiba dengan cepat dan begitu mudahnya.
Di hari saat upacara penutupan akhir semester, Sakuta dibangunkan dengan Kaede yang mengguncang tubuhnya seperti biasa.
“Pagi, Kaede.”
“Selamat pagi, onii-chan!”
Mereka berjalan ke ruang tamu dan Sakuta segera menyiapkan sarapan. Ia menyalakan TV sementara menunggu roti yang dipanggangnya selesai, dan layar TV menunjukkan berita utama dari laga pemain muda All-Star di malam sebelumnya. Kerumunan penonton yang berada di Stadion Nagasaki saling menyoraki kedua tim yang terdiri dari pemain muda terbaik dari setiap liga bisbol.
Sakuta dan Kaede menyantap sarapan mereka sambil menonton berita bisbol tersebut. Di antara kedua kaki mereka, Nasuno mengunyah dengan lahap semangkuk makanan kucingnya.
“Libur musim panas dimulai besok kan, onii-chan?”
“Dan kalau musim panas berarti?”
“Semangka!”
“Nanti kubeli.”
“Sebaiknya beli yang bulat!”
Memakan satu semangka utuh adalah tugas yang berat. Mereka mungkin harus membaginya sedikit ke Mai, pikir Sakuta. Ia segera bersiap dan berangkat ke sekolah.
“Selamat bersenang-senang!”
Ucap Kaede menyapa Sakuta yang pergi.
Saat di kereta yang menuju ke sekolah, Sakuta berpapasan dengan Kunimi. Mereka saling berdiri bersebelahan sambil memegang gantungan kereta yang tergantung.
“Kau ada rencana selama musim panas ini, Sakuta?”
“Kerja.”
“Koga juga ada di sana!” ucap Kunimi menggodanya.
Sakuta mengabaikan hal ini. Kunimi tampak tidak percaya dengan hubungan mereka awalnya, tetapi setelah melihat mereka berdua, ia tampak mengakuinya.
“Kalau kau sendiri, Kunimi?”
“Kerja, latihan, dan kencan.”
“Cerminan masa muda sekali.”
“Kau juga sama!” tawa Kunimi sambil menyenggol bahunya ke bahu Sakuta.
Mereka berbincang tentang banyak hal sepanjang perjalanan mereka ke sekolah.
Setelah bimbingan pagi, semua siswa-siswi berkumpul di gimnasium untuk upacara penutupan. Pidato kepala sekolah yang dimaksudkan dengan baik diabaikan oleh siswa-siswi---hawanya terlalu panas untuk mendengarkan pidatonya. Beberapa siswa-siswi membawa kipas lipat dan mengepakkan kipas lipat tersebut selama upacara berlangsung. Tidak ada yang menegur mereka karena para guru juga merasakan hal yang sama.
Kembali ke kelasnya, Sakuta duduk untuk bimbingan terakhir di semester pertama. Wali kelasnya memanggil nama mereka satu persatu secara berurutan dan menyerahkan rapor siswa-siswi.
Azusagawa lah yang pertama kali dipanggil, jadi Sakuta tidak punya waktu untuk gugup menunggu. Sistem penilaian di sekolahnya menggunakan penilaian 10 poin dan hal itu segera menyadarkan akan realitas yang menunggu dirinya.
Nilai Sakuta pada dasarnya sama seperti sebelumnya. Tetapi berkat bantuan dari Mai yang mengenakan pakaian bunny girl, nilai fisikanya berhasil menyentuh angka delapan, tetapi selain itu nilai rata-rata semua mata pelajarannya berada di angka enam.
Di kolom komentar guru, wali kelasnya menuliskan peringatan yang tersirat terkait perkelahiannya dengan Maesawa. Selain itu, tidak ada hal lain yang perlu diperhatikan.
Wali kelas mereka menyelesaikan bimbingan dengan berkata. “Bapak tahu kalau ini musim panas, tapi jangan terbawa suasana dan mencelakai diri kalian sendiri.” Semua guru selalu mengakhiri bimbingan dengan kata-kata seperti itu sejak SD.
Ketua kelas berteriak, “Berdiri! Beri salam!” dan sorak sorai mulai terdengar di seisi kelas. Akhirnya selesai, emosi seluruh siswa-siswi membeludak.
Mengabaikan keributan tersebut, Sakuta segera meninggalkan ruang kelasnya.
Lorong sekolah dipenuhi oleh siswa-siswi yang saling berbincang dengan teman-temannya. Dengan liburan yang panjang, dan mereka saling memiliki nomor ponsel masing masing, kenapa tidak langsung pulang ke rumah? Apa ada suatu alasan yang mengikat mereka di sekolah?
Karena sebagian besar siswa-siswi tetap berada di sekolah, jalan yang menuju ke stasiun sangat sepi. Begitu juga dengan Stasiun Shichirigahama sendiri. Ketika Sakuta sampai di sana, mungkin hanya ada sekitar sepuluh orang yang sedang menunggu kereta tiba.
Ia berjalan ke peron di mana kereta api yang menuju ke arah Fujisawa tiba dan menunggu di tempat itu selama sekitar enam menit.
Sebelum kereta yang ditumpanginya tiba, Koga berlari ke arah Sakuta.
“Senpai cepat sekali!” ucapnya.
Mereka berjanji untuk pergi ke pantai hari ini. Untuk kencan terakhir mereka dan memutuskan untuk bertemu di stasiun.
Koga sibuk membetulkan bagian atas roknya, seperti ada bagian yang longgar. Dan dia menyadari tatapan Sakuta ke arahnya.
“Aku memakai baju renangku saat ini dan menggantinya di ruang ganti sekolah,” ucapnya sebelum Sakuta menanyakannya.
Cara klasik untuk sekolah yang berada di tepi pantai. Siswa-siswi anggota klub olahraga pergi ke pantai, kembali ke sekolah setelahnya, dan menggunakan kamar mandi klub mereka. Kunimi pernah memberi tahu Sakuta hal ini tahun lalu.
“Senpai, tatapanmu.”
“Aku tahu.”
Sakuta bisa melihat warna pink dari balik seragam Koga.
“Itu petunjuk kalau senpai harus berhenti,” tegur Koga sambil memegang tote bag bergaris biru-putih untuk menutupi dirinya.
Sementara mereka saling berbincang, kereta yang ditunggu berhenti perlahan di stasiun.
Sakuta dan Koga turun dari kereta di Stasiun Enoshima, dengan berjalan kaki kurang dari sepuluh menit mereka sampai di Pantai Timur Enoshima. Pantai panjang dengan pasir yang lembut bisa ramai sekali di musim panas seperti ini.
Meski sekarang hari kerja, hanya ada warga lokal yang berkunjung dan masih cukup sepi.
Mereka berpisah di depan ruang ganti, dan Sakuta mengganti celana sekolahnya dengan celana pendek. Dia juga mengenakan kaus oblong putih karena orang-orang cenderung salah sangka jika mereka melihat bekas luka di dadanya.
Ia menaruh barang bawaannya di loker bersamaan dengan munculnya Koga. Mengganti ke baju renangnya di sekolah memang mempercepat dirinya berganti pakaian.
“Baiklah, ayo berenang!”
“Huh? Tidak ada tanggapan?”
“Kau tak ingin Aku menatapmu, kan?.”
Sakuta menyadari baju renang yang dipakai oleh Koga. Baju itu adalah baju yang sama yang ia pegang ketika mereka berbelanja pakaian untuk adiknya sebelum ini. Dia memilih untuk tidak membelinya saat itu tetapi pergi berbelanja bersama dengan teman-temannya dan memilih baju renang itu.
“Kurasa memang imut,” ucap Sakuta.
“J-jangan panggil Aku imut!”
“Terus harus kupanggil apa?”
“……”
Koga memikirkannya sesaat.
“…Imut, mungkin?”
“Emosimu tak stabil lagi, Koga.”
“Kan senpai tahu pikiran dari cewek sepertiku!”
“Tidak juga.”
“Ah, sial! Senpai menggodaku lagi!”
“Yah, jika kau mau mengupas sesuatu, sebaiknya kita makan jagung rebus.”
Sakuta berbalik dan berjalan menuju salah satu kios makanan.
“Oh! Aku juga mau.”
Koga segera mengikuti Sakuta dengan berjalan berdampingan.
Memakan jagung rebus di bawah matahari musim panas adalah jajanan yang sangat spesial.
Ketika sedang memakannya, terjadi hujan yang begitu tiba-tiba, tetapi semua orang yang mengunjungi pantai memang untuk basah-basahan jadi mereka tidak terlalu memedulikan hal tersebut.
Untuk makan siang, mereka membeli yakisoba dari salah satu kios di pantai. Sementara menunggu makanan yang mereka makan dicerna oleh perut mereka, Sakuta menarik Koga ke dalam air, dan ketika mereka telah benar-benar basah kuyup, mereka berenang lagi. Ketika sudah lelah, mereka membuat istana pasir.
“Istana mana yang akan bertahan paling lama dari ombak?”
“Yang kalah harus mentraktir es serut!”
“Jangan komplen nantinya.”
“Senpai juga sama.”
Sakuta kalah.
Yang menentukannya adalah istana pasir yang hancur sebagian ketika diterjang ombak. Sementara Koga membuat istana pasirnya dengan duduk, dia meninggalkan bekas dudukan di pasir karena bokongnya yang mana hal itu menjadi parit yang sukses menghalau ombak menyentuh istana pasirnya.
“Kau menang karena bokongmu, Koga.”
“Di-diam! Senpai masih harus mentraktirku!”
Koga menutupi bokongnya dengan kedua tangannya lagi dengan wajahnya yang mulai memerah.
Kalah ya kalah, jadi Sakuta mentraktir Koga es serut. Koga memilih yang sirop stroberi dan Sakuta memilih yang rasa melon.
Ketika matahari mulai terbenam, Sakuta dan Koga duduk di pasir pantai sambil menonton bocah laki-laki dan perempuan sekitar lima atau enam tahun sedang bermain bola pantai.
Lemparan kencang dari bocah perempuan tersebut membuat si bocah laki-laki itu terguncang. Ia menerima bola yang dilempar ke arahnya dengan wajahnya.
“Senpai…”
“Kau lapar lagi?”
“Terima kasih atas bantuan senpai.”
“……”
“Baiklah,” ucap Koga sambil mengulurkan tangannya, “Ayo jabat tangan.”
“Untuk apa?”
“Perpisahan.”
Sakuta membersihkan tangannya yang penuh pasir dengan menyeka di kausnya dan menjabat tangan Koga. Terasa sangat kecil, pikir Sakuta.
“Pada akhirnya, senpai masih menyukai Sakurajima-senpai. Aku tak tahan dengan itu, jadi Aku putus dengan senpai,” ucap Koga sambil menatap ke laut seperti sedang membacakan cerita sekeras mungkin.
“Kita tak perlu melakukan tamparan itu?”
“Tidak dan anggap saja kita sudah melakukannya. Jika Aku menampar senpai di sini, rasanya Aku seperti tak tahu terima kasih.”
“Baiklah. Yah…semoga berhasil?”
Ia belum pernah berada di situasi seperti ini sebelumnya, jadi Sakuta tidak begitu yakin harus bilang apa.
“Mm.”
“Semoga liburanmu menyenangkan.”
“Senpai juga. Aku harap Sakurajima-senpai menerima senpai.”
“Aku sangat gigih.”
Koga melepaskan tangannya dan berdiri.
“Sebaiknya kita pulang,” ucapnya sambil tersenyum.
“Ya, berenang seharian benar-benar membuatku lelah.” Sakuta kesulitan untuk berdiri.
“Senpai seperti kakek-kakek!” tawa Koga dengan keras.
Mereka berjalan menuju loker untuk mengambil barang bawaaan mereka.
Setelah mengganti pakaian, mereka menaiki Enoden dan pulang menuju Stasiun Fujisawa.
“Senpai punya rencana khusus untuk liburan musim panas ini?”
“Aku akan bermalas-malasan sepuasnya.”
Mereka saling berbincang hal lain setelahnya…
Tanpa terputus sama sekali percakapannya.
Ramah dan menyenangkan sampai akhir.
Sebuah hari yang benar-benar menyenangkan, seperti menghabiskan waktunya dengan teman baik.
Dengan demikian, kebohongan mereka berakhir tanpa ada satu siswa-siswi pun yang menyadarinya.
Dan liburan musim panas yang dinantikan akan segera tiba.
Semua ini berhasil berkatmu, senpai.
Sekarang Aku baik-baik saja.
Aku akan baik-baik saja.
Tapi…
…karena kehadiranmu di sisiku, Aku mungkin sudah membuat satu kesalahan.
0 Comments
Posting Komentar