Iblis Kecil Laplace
(Bagian 1)
(Penerjemah : Nana)
Tubuhnya gemetar atau lebih tepatnya sedang diguncang.
“Bangun onii-chan! Sudah pagi!”
“Pagi.”
“Selamat pagi onii-chan!”
Sakuta mengucek matanya.
“Uh, Kaede…”
“Ya onii-chan?”
“Kau tau yang namanya liburan musim panas…”
Ia berhak untuk tidur sampai siang hari ini. Satu-satunya orang yang bangun sepagi ini saat hari pertama liburan musim panas adalah anak-anak kecil yang pergi ke taman untuk melakukan senam radio.
“Tapi liburan musim panas dimulai besok!” ucap Kaede yang kebingungan.
“……”
Apa katanya?
“Tidak, liburnya mulai hari ini.”
“Tidak…besok baru libur.”
Sakuta meraih jam digitalnya dan layarnya menunjukkan tanggal 18 Juli, Hari Jum’at. Jika ia ingat-ingat lagi, seharusnya tanggal 18 Juli itu kemarin…
18 Juli itu seperti yang Kaede katakan, liburan musim panas masih belum dimulai.
18 Juli adalah hari terakhir dari semester pertama.
“……”
Tepat ketika Sakuta kira kalau dirinya sudah aman, ia mengulang hari lagi. Pertama kali terjadi sejak 27 Juni.
Tetapi entah kenapa, ia tidak terlalu terkejut dengan hal ini.
Jauh di dalam lubuk hatinya, Sakuta punya firasat kalau hal ini akan terjadi.
Ada sesuatu yang terasa sedikit tidak beres selama kencan terakhirnya dengan Koga.
Koga sendiri tampaknya sangat bersenang-senang saat di pantai kemarin. Mereka berpisah dengan senyuman seperti sudah tidak memperdulikannya lagi.
Namun, justru itulah yang tidak beres.
Rasanya terlalu mudah.
“……”
Sakuta bangun dari tempat tidur dan berjalan ke ruang tamu. Ia menyalakan TV, dan berita yang sedang dibawakan adalah hasil pertandingan bisbol professional laga pemain muda All-Star malam kemarin.
Berita yang sama seperti yang ia lihat kemarin, saat 18 Juli pertama kalinya.
Anehnya, hal itu membuat Sakuta tidak khawatir sama sekali.
“Ada apa onii-chan?”
“Kau ingin makan semangka, Kaede?”
“Huh? Aku sangat menginginkannya.”
“Nanti kubeli satu yang bulat.”
Mereka menyantap sarapan mereka, dan Sakuta bersiap untuk berangkat ke sekolah.
“Selamat bersenang-senang!”
Kaede melambaikan tangannya dari ambang pintu, dan Sakuta memulai 18 Juli keduanya.
Ia bertemu dengan Kunimi di Enoden.
Kunimi menghampirinya dan berdiri di sebelahnya.
“Kau ada rencana selama musim panas ini, Sakuta?”
“Kerja.”
“Koga juga ada di sana!”
Sangat persis seperti apa yang ia ingat. Bahkan, senyuman menggoda Kunimi pun juga sama.
“Kalau kau sendiri, Kunimi?”
“Kerja, latihan, dan kencan.”
“Cerminan masa muda sekali.”
“Kau juga sama!” tawa Kunimi sambil menyenggol bahunya ke bahu Sakuta dengan sama persis seperti sebelumnya.
Semuanya sama persis seperti 18 Juli pertamanya.
Sakuta dan Kunimi berpisah di loker sepatu, alih-alih menaiki tangga menuju ke kelasnya, Sakuta berjalan ke arah kanan menuju Kelas 1-4, kelasnya Koga.
Ia melihat ke sekeliling ruangan kelas dan langsung menemukan diri Koga. Dia sedang duduk dan saling berbincang-bincang dengan tawa bersama Rena, Hinako, dan Aya.
Hinako melihat diri Sakuta dan menyenggol Koga.
Dia tampak terkejut. Tetapi dia segera menghampiri Sakuta di lorong dengan sikap yang canggung.
“Senpai tak bisa datang begitu saja ke kelasku!” ucapnya sambil memeriksa apakah teman sekelasnya memperhatikan mereka berdua.
“Aku tahu, tapi Aku tak punya pilihan lain.”
Situasi yang terjadi sudah terjadilah. Ada baiknya langsung menyinggung akar permasalahannya.
“Apa ada yang tak beres?” tanya Sakuta.
Sejauh yang ia tahu, semuanya berjalan lancar-lancar saja. Tepat seperti yang sudah direncanakan, semuanya berhasil dilakukan. Mereka berhasil mempertahankan hubungan palsu mereka sampai akhir semester tiba tanpa ada satu pun yang mengetahuinya. Hal yang harus dilakukan oleh Koga hanyalah harus memberi tahu temannya kalau dia mencampakkan Sakuta. Berita seperti itu pasti akan menyebar ke seluruh sekolah tanpa keduanya perlu bersusah payah. Harusnya semua itu sudah berakhir.
“Kenapa senpai?” tanya Koga yang terlihat kebingungan.
“Um.” Sakuta ragu-ragu. Reaksi Koga bukan seperti yang diharapkan. Dia tidak terlihat khawatir sedikit pun.
“Kita kembali mengulang hari lagi.”
“Huh?” mulut Koga terbuka lebar ke arahnya.
Hal itu membuktikannya kalau Koga tidak tahu sama sekali.
Bulu kuduknya terasa merinding.
“Ini sudah yang kedua kalinya, kan?”
“…Tidak,” ucap Koga dengan ekspresi wajah serius.
“Eh, tunggu dulu. Hari ini pertama kalinya untukmu?”
“Ya,” jawabnya sambil menatap langsung ke arah Sakuta.
Bel sekolah berbunyi, menandakan dimulainya jam pertama kelas.
“Baiklah. Yah, lupakan saja kata-kataku tadi.”
“Setelah sekolah?”
“Seperti yang sudah kita rencanakan.”
“B-baiklah.”
“Sampai nanti.”
Sakuta berbalik pergi. Koga melambai padanya sambil terlihat sedikit khawatir.
Setelah upacara penutupan semester, bimbingan kelas terakhir diadakan, dan wali kelasnya menyerahkan rapor Sakuta kepadanya. Ia sudah tahu isi dari rapornya. Nilainya tidak berubah sama sekali. Komentar berbelit-belit tentang perkelahiannya dengan Maesawa juga tertulis di dalam rapornya.
“Bapak tahu kalau ini musim panas, tapi jangan terbawa suasana dan mencelakai diri kalian sendiri.”
Dengan akhir kata yang begitu ‘bijaksana’ itu, Sakuta meninggalkan Kelas 2-1. Kelas 2-2 sudah selesai bimbingan lebih awal, jadi masih ada beberapa siswa-siswi yang masih berada di ruang kelas.
Tidak ada tanda-tanda dari Rio Futaba. Dia pasti berada di tempat biasanya.
Sakuta berjalan menuju lab sains dan bertemu dengannya. Dia sedang menuliskan semacam formula di papan tulis.
Sakuta langsung menanyakan penjelasan tentang time loop (lingkaran waktu).
“Gimana menurutmu?” tanya Sakuta di akhir.
“Azusagawa, apa kau sudah gila?” tanya Futaba sambil berbalik ke arahnya.
“Kenapa tepatnya?”
“Karena kau harus menanyakan hal…”
“Tolong jelaskan.”
“Bahkan anak kecil bisa tahu hal ini.”
“……”
Anak-anak kecil sekarang ini sangat pintar. Masa depan negara ini sudah pasti aman.
“Jika yang kau katakan itu benar dan anak kelas satu itu…”
“Tomoe Koga.”
“Jika dia itu Iblis Laplace, maka jawabannya sudah jelas.”
“Yang mana?”
“Apa perbedaan paling besar yang terjadi antara 18 Juli dengan 19 Juli? Ada yang berubah misalnya, hubungannya denganmu?”
“……”
Kemampuannya dalam mengamati sesuatu memang sangat hebat. Sakuta bahkan belum menjelaskan apa-apa tentang hubungan palsunya dengan Koga, tetapi Futaba tampaknya sudah mengetahui hal itu.
“Aku tahu kalau kau tak akan mau untuk tetap seperti itu selamanya.”
Dia sangat tahu diri Sakuta.
“Azusagawa, apa kau yakin kau belum menyadarinya?”
“Menyadari apa?”
“Alasan kenapa dia mengulangi hari lagi.”
Sakuta mengalihkan pandangannya ke langit-langit ruangan, menghindar dari tatapan Futaba.
“……”
Ia bukannya benar-benar tidak sadar. Jika Sakuta diberi pilihan antara sadar atau tidak, ia pasti akan bilang sadar. Tetapi hal itu sangat jauh dari tahu yang sebenarnya.
“Tapi kali ini, Koga tak tahu kalau sekarang sudah yang kedua kali.”
Hal ini yang membuatnya bingung.
Futaba terlihat benar-benar terkejut, dan hal itu membuat Sakuta takut. Bagian perutnya terasa sakit.
“Hmmm… Kalau begitu mungkin seperti yang kubilang sebelumnya, dan kau ini Iblisnya.”
Futaba tampaknya tidak benar-benar tertarik dengan hal ini. Tetapi jika dia langsung memanggil Sakuta sebagai Iblis Laplace, dia tampak tidak percaya dengan apa yang diucapnya sendiri. Lebih seperti kemungkinan lain yang diucapkannya.
“Bukan Aku.”
“Kalau begitu hanya ada satu kemungkinannya.”
“Hanya satu?”
“Ya. Anak kelas satu itu berbohong.”
Sakuta tidak membantah perkataan Futaba.
Ia meninggalkan lab sains, bertemu dengan Koga di stasiun, dan menuju ke pantai. Sama seperti sebelumnya, mereka memakan jagung rebus dan yakisoba, mendirikan istana pasir, membeli es serut, dan berenang dengan ceria.
Koga tampaknya sangat menikmati hal itu semua.
Di perjalanan pulang, dia berterima kasih atas segalanya. Jabat tangan yang mereka lakukan di akhir sama seperti tanggal 18 Juli yang pertama.
Tidak ada yang berubah.
Jika hari esok tiba, ia tidak perlu mengeluhkannya lagi.
Tetapi ketika Sakuta terbangun di pagi berikutnya, Hari Jum’at tanggal 18 Juli terulang lagi.
Hari terakhir ketiganya di semester ini.
Libur musim panas yang sudah ditunggu Sakuta tidak kunjung tiba.
Saat tanggal 27 Juni, ia berhasil terbebas tanpa ada pengulangan keempat.
Berdasarkan dari pengalaman itu, Sakuta memulai harinya seperti sebelum-sebelumnya. Keingintahuannya muncul apakah mungkin ada batas waktu selama tiga hari.
Tidak menyadari dengan pengulangan yang terjadi. Koga kembali menikmati kencan pantainya.
0 Comments
Posting Komentar