Dunia yang Kau Pilih
(Penerjemah : Nana)
Dirinya bisa tahu kalau pagi sudah tiba meskipun matanya masih tertutup. Sakuta menyadari kalau dirinya sudah terbangun.
Sinar Matahari yang terpancar melalui celah di tirai membuat bayang-bayang seperti awan yang terpampang di langit-langit kamarnya. Tempat tidurnya yang mudah dikenali meyakinkannya kalau ia sedang berada di kamar tidurnya.
Ia meraih jam digital yang berada di atas meja di samping tempat tidurnya.
Jika pengulangannya berakhir, hari ini seharusnya tanggal 19 Juli. Hari pertama liburan musim panas.
Sakuta memeriksa layar dari jam digitalnya untuk memastikan.
“……”
Butuh beberapa saat agar matanya bisa melihat jelas tanggal yang tertera. 19 Juli? Atau 18 Juli lagi? Tetapi tanggal yang tertera di layar jam digitalnya sama sekali berbeda dengan yang dikiranya.
“Huh?”
Sakuta langsung melompat berdiri dari kasurnya dan berlari ke ruang tamu. Kemudian, ia menyalakan TV.
Berita pagi baru saja dimulai.
“Dan kemenangan besar untuk Timnas bola Jepang!”
Rasanya ia sangat kenal kata-kata tersebut. Ia pernah mendengar kata-kata ini sebelumnya. Karena pembawa berita pria tersebut mengucapkannya dengan gembira.
“Selamat pagi. Hari ini adalah Hari Jum’at, tanggal 27 Juni. Berita utama kami kali ini adalah hasil pertandingan Timnas bola Jepang kemarin.”
Layar TV-nya mulai menunjukkan pertandingan Piala Dunia yang diadakan di belahan barat bumi. Sebuah cuplikan dari pertandingan kedua untuk babak penyisihan grup.
Saat babak pertama hampir berakhir, Timnas bola Jepang tertinggal satu skor dari lawan mereka. Salah seorang pemain Jepang (nomor punggung sepuluh) sedang menggiring bola ke area lawan dan dihentikan oleh pertahanan yang agresif dari pemain lawan di barisan pertahanan. Kemudian, peluit wasit berbunyi.
Tepat di luar kotak penalti, Timnas bola Jepang mendapatkan kesempatan untuk melakukan tendangan bebas. Pemain dengan nomor punggung empat berkesempatan untuk melakukan tendangan tersebut. Setelah berlari kecil, ia menembak, sang kiper lawan salah mengira arah bola, dan bolanya masuk ke arah kanan gawang lawan. Pemain dengan nomor punggung empat tersebut berteriak dan rekan-rekan setimnya berbondong-bondong mengerubunginya, merayakan gol tersebut.
Hal tersebut menjadi penyemangat Timnas bola Jepang, dan mereka berhasil mencetak gol kembali di pertengahan babak kedua, skor akhir dari pertandingan itu 2-1.
Saat Sakuta menyaksikan cuplikan berita utama tersebut, pikirannya tertuju ke satu orang.
Tomoe Koga.
Seorang kohai yang setahun dibawahnya dan merupakan Iblis Laplace, “Dia sangat hebat…,” ucap Sakuta tanpa sadar. “Lalu, semua itu cuma ramalan masa depan?”
Sama seperti yang Futaba ucapkan. Hari yang terulang bukanlah karena mereka kembali ke masa lalu. Semua itu hanya kemungkinan tentang masa depan yang diramalkan di satu titik waktu.
Dan dalam hal ini, titik tersebut adalah tanggal 27 Juni.
Apalagi yang bisa Sakuta lakukan selain tertawa?
Ia dan Kaede menyantap sarapan mereka, dan ia sendiri bersiap untuk berangkat ke sekolah seperti biasa.
Hari itu sudah memasuki akhir bulan Juni, dan musim hujan masih belum juga berakhir. Matahari pagi yang menyinarinya tidak sepanas seperti matahari pagi di bulan Juli yang ia rasakan sehari sebelumnya, tetapi cuacanya terasa lebih lembap.
“Yo, Sakuta. Rambut bangun tidurmu itu sangat memukau seperti biasa.”
“Gaya rambutku ini sangat populer akhir-akhir ini.”
“Gayamu sangat kekinian sekali,” tawa Kunimi.
Hal ini sama seperti tanggal 27 Juni sebelumnya.
“……”
“Ada yang aneh, Sakuta?”
“……Tidak.”
“Kau yakin?”
“Wajah tampanmu itu sangat menggangguku.”
“Huh? Ini lagi?”
“Agh, sangat menyebalkan.”
Kelas pagi diisi Matematika, Fisika, Bahasa Inggris, dan Bahasa Jepang Modern. Saat kelas Matematika, guru yang mengajar berkata, “Ini akan muncul di ujian nanti!”, guyonan dari guru Fisika juga masih terasa garing. Pelajaran Bahasa Inggris di periode ketiga membuatnya kena omelan, “Azusagawa, dengarkan bapak!” karena tidak memperhatikan, ia dipaksa untuk membaca buku paket Bahasa Inggris dengan lantang. Dan sekali lagi, terdapat noda lipstik di kerah baju dari guru Bahasa Jepang modern.
Setiap kejadian yang sama membuktikan kalau Sakuta memang pernah mengalami sebuah kemungkinan (ramalan) dari masa depan.
Lalu, jam makan siang tiba.
Sakuta dan Mai duduk berdua di ruang kelas kosong di lantai tiga.
Jendela kelas sedikit terbuka, dan semilir angin laut masuk ke dalam ruangan tersebut. Tirai kelas juga bergoyang sedikit dan momen tersebut terasa sangat tenteram.
Mereka duduk saling berseberangan dengan makan siang yang dibuat sendiri oleh Mai untuk Sakuta tertata di depan mereka. Ayam karaage, tamagoyaki, salad kentang, tomat ceri, dan salad hijiki dengan tambahan kedelai. Sakuta mencoba satu-persatu makanan tersebut dan mengatakan betapa enaknya masakan tersebut.
Mai tampak sangat puas dengan kesempatan untuk menunjukkan kemampuan memasaknya.
Ketika Sakuta sudah selesai makan, Sakuta duduk tegak di bangkunya.
“Mai-san,” ucapnya.
“Mm?” dia melihat ke arah Sakuta dengan sumpit yang masih menempel di bibirnya.
“Aku mencintaimu. Berkencanlah denganku.”
“……”
Mai mengalihkan pandangannya. Kemudian, dia mengambil sepotong tamagoyaki dari bekal makannya dan memakannya.
“……”
Dia mengunyah makanan tersebut sebentar.
“……”
Sakuta menunggu sampai Mai menelan makanannya, tetapi tidak juga mendapatkan jawaban.
“Kau mengabaikannya?!”
“Aku hanya tidak merasakan hal yang sama,” ucapnya dengan ekpresi wajah yang bosan. “Kau mengatakan hal yang sama setiap hari selama sebulan ini kepadaku, dan kata-kata itu seperti sudah kehilangan artinya.”
“Oh…Aku ditolak? Kalau begitu, Aku perlu cari orang lain.”
“Ap…?”
“Terima kasih untuk semuanya.”
Sakuta menundukkan kepalanya dan mengeluhkan patah hatinya.
“A---aku tidak bilang kalau menolakmu! Kenapa kau menyerah begitu?” tanya Mai sambil menatapnya dengan sinis.
“Kalau begitu, kau menerimanya?”
“Urgh…Kau sangat lancang.”
“Jadi?”
Sakuta terus mendesaknya dan hanya perlu sekali lagi.
“……Mm,” ucapnya sambil mengangguk dengan nada bicara yang terbilang kecil seperti sedang berbisik. “Aku mau.”
Seakan seperti sedang menutupi rasa malunya, Mai cepat-cepat memakan sepotong tamagoyaki. Tingkahnya sangat imut, pikir Sakuta. Ia juga menggunakan kesempatan ini untuk memastikan satu hal lain.
“Jadi.”
“Apa?”
“Apa perasaanmu padaku?”
“Yah, jelas saja…”
Tomat ceri yang diambilnya terlepas dari sumpitnya.
“Jelas saja?”
“Kenapa kau peduli?”
“Karena memang penting buatku.”
“Sakuta, menyerah saja.”
“Ini sangat sangat penting.”
“Kau ingin mendengarnya?”
“Dari mulutmu sendiri.”
Sebuah tomat ceri masuk ke dalam mulut tersebut dan Mai mulai mengunyah sebentar, lalu ditelannya.
“Aku hanya akan mengatakan ini sekali saja.”
“Baiklah.”
“……”
“……”
Sesaat situasinya menjadi hening. Mai menarik napas dalam-dalam.
Lalu pandangannya tiba-tiba tertuju ke luar jendela. “Oh,” ucapnya.
“Mm?”
Sakuta menoleh untuk melihat ke luar. Yang bisa ia lihat hanyalah pasir putih dari pantai Shichirigahama, laut biru, dan langit yang cerah. Tidak ada yang spesial. Awan musim panas yang besar dapat terlihat di depannya.
Lalu, aroma harum menyelimuti Sakuta. Sebuah bayangan mendekati dirinya. Sebelum ia menyadarinya, sensasi yang lembut bertemu dengan pipinya.
Karena terkejut, ia kembali menoleh ke arah Mai.
“Sudah puas?”
Mai menatapnya dengan senyum nakal dan hanya sedikit tersipu malu.
Sakuta meraih pipinya dan merasakan sensasi lembut tersebut, ia yakin kalau sensasi tersebut berasal dari bibir Mai.
“Aku lebih suka dari mulut ke mulut.”
“Jangan menguji kesabaranku.”
Di bawah meja, Mai menginjak kaki Sakuta. Tidak terasa sakit sama sekali, pikirnya.
“Berhenti tersenyum!”
“Ini karena salahmu, Mai-san.”
Keduanya menikmati waktu mereka bersama.
Ketika bel masuk berbunyi, kencan makan siangnya dengan Mai sudah terbilang selesai. Sakuta berjalan di lorong sendiri, kembali menuju lantai bawah di mana kelas dua berada.
Saat ia melewati tangga, ia melihat orang yang ia kenal di antara tangga sekolah.
Tomoe Koga.
Dia sedang bersama dengan anak kelas tiga, Maesawa.
Suasananya tampak tegang, jadi Sakuta bersembunyi dengan bersandar di dinding terdekat.
“Maaf,” ucap Koga sambil menundukkan kepalanya. “Aku tak bisa berpacaran dengan senpai.”
“Kau masih belum punya pacar, kan?”
“Tidak.”
“Kalau begitu, kau suka dengan orang lain?”
“Yeah.”
Koga mengangguk.
“Orang itu satu tim denganku?”
“Tidak.”
“Kalau begitu…”
“Orang itu manusia gua yang bahkan tak punya ponsel.”
Saat dia mengatakan hal ini, wajah Koga berbinar-binar seperti bunga yang sedang mekar.
“Huh?” Maesawa kebingungan menanggapinya. Tetap saja, ia hanya mengangkat bahunya sambil berkata, “Yah, mungkin lain kali.” Entah apa artinya itu dan berbalik menaiki tangga.
Sakuta keluar dari persembunyiannya dan berjalan tepat melewatinya dengan tanpa ekspresi. Ia berjalan menuruni tangga.
Koga melihatnya turun.
“Menguping itu salah,” ucapnya.
Sakuta langsung tahu kalau Koga mengingat semuanya.
“Aku hanya kebetulan lewat.”
“Hmph.”
“Dan juga, Aku ini bukan manusia gua.”
“Aku tak sedang membicarakan senpai.” Koga menggembungkan pipinya. “Jadi sombong seperti itu sangat tak keren.”
Sakuta mematahkan hati Koga sehari sebelumnya, tetapi dia langsung segera pulih hingga bisa berbincang dengannya seperti ini---sebuah bukti akan kekuatan mentalnya. Situasi ini merupakan pilihannya.
“Senpai apa kau sudah siap untuk menerima konsekuensinya?”
“Hmm?”
“Jika Rena jadi membenciku karena ini dan Aku jadi dikucilkan di kelas…”
“Kenapa itu jadi masalahku?”
“Yah, semuanya itu salah senpai.”
“Kenapa begitu?”
“Karena senpai membuatku tumbuh dewasa.”
“Terdengar mesum jadinya.”
“Senpai tahu yang kumaksud, tapi selalu diubah jadi candaan. Apa itu karena senpai diam-diam malu?”
Koga tersenyum seperti bisa mengetahui diri Sakuta. Sikapnya yang sombong ini membuat Sakuta sedikit kesal, tetapi jika ia mencoba membantahnya hal itu hanya akan membuktikan perkataannya. Sakuta kembali mengalihkan topik pembicaraan mereka ke masalah awal.
“Yah, jika kau punya masalah, Aku akan jadi temanmu seumur hidup, Koga.”
Lalu, Sakuta menaruh tangannya di rambut Koga.
“Jadi setidaknya, kau tak akan sendirian.”
“Aku duluan yang akan menjadi teman baik senpai,” balas Koga dengan lebih agresif.
Sakuta tahu kalau dia bangun jam enam pagi untuk menata rambutnya, jadi ia sengaja mengacaukannya.
“Augh! Jangan!”
Ia tidak berhenti sampai bel sekolah berbunyi lagi.
Sejak hari itu hingga libur musim panas dimulai begitu ‘luar biasa’ jika harus diwakilkan dengan kata-kata.
Hari-hari yang dijalani oleh Sakuta dan Koga sama persis seperti yang sebelumnya mereka alami.
Timnas bola Jepang berhasil lolos dari babak penyisihan grup. Kerja tim yang kompak berhasil membawa mereka hingga ke perempat final. Dalam babak tersebut, mereka mengalami kekalahan besar, tetapi hasil tersebut membuat dunia sadar kalau Tim Jepang merupakan lawan yang tidak boleh diremehkan.
Secara pribadi, soal dari UAS mereka juga sama persis. Sakuta sudah pernah mengerjakan semua ujian ini sebelumnya. Dan mereka juga pernah mengulas semua jawabannya di minggu-minggu terakhir, jadi nilainya terbilang bagus.
Ia merasa sedikit bersalah akan hal tersebut, tetapi jika mempertimbangkan tentang semua masalah yang harus ia alami tentang Sindrom Pubertas, rasanya ini cukup adil sebagai balasannya.
Dan juga, Koga akhirnya bekerja paruh waktu bersama dengan Sakuta di restoran yang sama.
Saki Kamisato memanggilnya ke atap pada Hari Sabtu yang sama.
Banyak dari percakapannya dengan Mai juga sama. Dia masih memberi baju untuk Kaede, pergi ke Kagoshima selama seminggu untuk syuting acara TV, dia menelepon Sakuta dari sana, muncul tiba-tiba dan memaksanya untuk belajar, dan Mai bahkan setuju untuk memakai kostum bunny girl.
Ada sedikit perbedaan karena Sakuta tidak sedang menjalani hubungan palsu dengan Koga, tetapi selain itu, kejadian-kejadian yang ia ingat terjadi kembali.
Hal ini sudah lebih dari cukup sebagai bukti kalau tanggal 27 Juni sampai 18 Juli yang dijalani oleh Sakuta dan Koga sebelumnya bukanlah mimpi semata, tetapi sebuah ramalan tepat akan masa depan.
Suatu hari seusai jam sekolah, Sakuta membicarakan hal ini dengan Futaba di lab sains.
“Jika yang kau katakan itu benar, berarti benar-benar luar biasa.”
“Kau pikir Aku bohong?”
“Azusagawa…di masa depan yang diramalkan ini, kau berhasil meyakinkan seluruh murid di sekolah kalau kau berpacaran dengan anak kelas satu itu, jadi kupikir kau bisa juga berbohong tentang hal ini agar membuatku percaya.”
Sakuta tidak begitu yakin ia harus bersikeras agar Futaba percaya padanya.
“Tapi memang cukup masuk akal,” ucap Futaba tanpa sadar. “Cewek yang sangat ingin diterima oleh sekitarnya menghabiskan seluruh waktunya berusaha keras untuk menyesuaikan dirinya dengan orang lain, dan tanpa dia sadari, dia bahkan bisa meramal masa depan.”
Setidaknya, hal itu masuk akal baginya.
Tetapi satu hal yang masih membuat bingung Sakuta adalah bagaimana ia bisa terlibat ke dalam Sindrom Pubertas Koga. Sementara 7 miliar orang lainnya tidak pernah menyadari ada hal yang aneh, tidak pernah menyadari kalau mereka mengulangi hari yang sama.
Ketika Sakuta bertanya ke Futaba tentang hal itu, dia hanya berkata, “Keterkaitan kuantum” seperti ia sudah harus tahu apa yang dimaksud oleh Futaba.
“Keterkaitan kuantum?” tanya Sakuta.
“Ya. Kau tahu?”
“Tidak pisan.”
“Tidak apa?”
“Maksudku, Aku sama sekali tak tahu maksud perkataanmu.”
“Hmph.”
Futaba menuliskan pisan di papan tulis untuk dicari tahu nanti.
“Jadi, apa itu keterkaitan kuantum?”
“Fenomena menyeramkan di mana kedua partikel dalam lokasi yang berbeda saling berbagi informasi langsung tanpa adanya perantara.”
“Apa partikel-partikel itu punya ponsel?”
“Ponsel termasuk perantara.”
“Kalau begitu, mereka bisa telepati?”
“Benar sekali.”
“Sungguh?”
Sakuta bermaksud mengatakan hal itu sebagai lelucon.
“Faktanya, profesor-profesor paling terkenal sedunia telah melakukan penelitian apakah mereka dapat menerapkan prinsip-prinsip dari keterkaitan kuantum untuk menciptakan telepati.”
“Sebentar. Kau sungguhan?”
“Keterkaitan kuantum itu sendiri fenomena yang sudah dibuktikan.”
“Jadi kau pikir Koga dan Aku saling terkait dan dapat bertelepati seperti itu?”
Futaba mengangguk.
“Tapi kenapa kita saling terkait?”
“Keterkaitan kuantum terjadi setelah kedua partikel saling bertabrakan. Apa kau dan anak kelas satu itu pernah bertabrakan baru-baru ini?”
Dalam arti tertentu, memang iya.
“Kami saling menendang bokong satu sama lain.”
“……”
“……”
“Azusagawa.”
“Apa?”
“Aku ingin meniru hal ini. Persiapkan bokongmu.”
“Tidak mau.”
“Ayo cepat, dasar berandal.”
“Bukan seperti itu caranya untuk meminta bantuan!”
Futaba tampak sangat kecewa. Mungkin dia benar-benar ingin mengujinya.
Sedangkan untuk Koga setelah dirinya menolak Maesawa…yah, sama seperti yang sudah dia katakan, dia dikeluarkan dari kelompok Rena.
Sakuta bertemu dengannya di Hari Rabu setelahnya sedang duduk sendirian di tangga yang menuju ke atap, memakan bekal makan siang sendirian.
Ia duduk di sebelahnya dan makan bersama.
“Kau juga mau kutemani ke kamar mandi?”
“Rasanya jadi aneh.”
“Jangan sungkan, bilang saja.”
“Serius deh, senpai mesum. Apa Aku harus melaporkan ini ke Sakurajima-senpai?”
Situasi ini berlanjut hingga Hari Kamis dan Jum’at, tetapi saat hari pertama UAS, ia melihat Koga sedang berbicara dengan teman kelasnya yang lain saat di kereta menuju sekolah. Tidak dengan Rena, Hinako, atau Aya. Alasan kenapa Sakuta tahu kalau gadis itu teman sekelas Koga berasal dari ramalan masa depan di mana Sakuta pernah bertemu dengannya.
Saat kencan pertamanya dengan Koga, mereka membantu seorang gadis yang memakai kacamata menemukan gantungan ponselnya. Namanya adalah Nana Yoneyama.
Nana mengeluarkan ponselnya dan Sakuta melihat gantungan ubur-ubur yang terikat di ponselnya, gantungan yang membuat Koga basah kuyup untuk menemukannya.
Sakuta menduga kalau Koga pergi ke tempat yang sama dan membantunya menemukan gantungan itu lagi. Hal itu dibuktikan dengan Koga yang terkena demam tepat di hari yang sama seperti sebelumnya.
Saat di tempat kerja setelah UAS selesai, Koga berkata, “Aku punya teman-teman baru.”
“Cewek dengan gantungan ponsel itu?”
“Yep. Dan Nana menerimaku ke dalam kelompoknya di kelas.”
“Itu bagus.”
“Ya.”
Koga tampak sedikit malu mengakuinya tetapi begitu bahagia.
“Semua ini berkat senpai.”
“Aku tak melakukan apa-apa.”
Sifat Koga sendiri yang memang dasarnya baik membuatnya selamat dari pengucilan dirinya.
Dengan sifat seperti itu, Sakuta kira juga tidak akan butuh waktu lama agar dia bisa berbaikan dengan Rena.
“Tapi karena senpai, Aku bisa melalui ini semua tanpa harus berbohong, jad…terima kasih.”
Dalam arti tertentu, dia memang bermaksud demikian secara harfiahnya. Dia tidak berbohong ke siapapun kali ini. Tetapi dalam arti lain juga, Sakuta mengira kalau yang dimaksud oleh Koga adalah tentang berbohong ke dirinya sendiri.
Dengan semua kekhawatirannya yang terselesaikan, sisa-sisa semester berlalu dengan damai.
Akhirnya, upacara penutupan semester tiba.
Sang kepala sekolah yang membacakan pidato panjangnya, dan para guru membagikan rapor siswa-siswi.
Setelah bimbingan terakhir selesai, Sakuta menunggu Mai di loker sepatu, dan mereka pulang bersama. Akhir-akhir ini, Mai selalu absen dari sekolah karena masalah pekerjaan, jadi sudah dua minggu sejak mereka bisa pulang bersama seperti ini.
Ketika mereka memasuki kereta di Stasiun Shichirigahama, Mai mengulurkan tangannya ke arah Sakuta dengan ekspresi wajah yang penuh harap.
Sakuta mencoba menggenggamnya, tetapi Mai menarik tangannya.
“Tunjukkan rapormu.”
“Bilang sejak tadi.”
“Sudah, lakukan saja.”
“Aku tak mau.”
“Kenapa?”
“Kenapa kau mau melihatnya?”
“Kau akan masuk ke universitas yang sama denganku, kan?”
“Memang itu yang kutulis di survei kelas…”
“Kalau begitu tunjukkan.”
Mai kembali mengulurkan tangannya lagi. Sepertinya ia tidak bisa menghindari ini. Hasilnya, Sakuta dengan enggan menyerahkan rapor tersebut.
“Jika nilaiku lebih bagus dari yang kau duga, apa Aku dapat hadiah?”
“Jika nilai rata-ratamu lebih tinggi dari tujuh, Aku akan mengabulkan satu permintaanmu.”
Nilai di SMA Minegahara didasarkan dari skala 1-10. Siapapun yang mendapat nilai lebih dari tujuh sudah pasti pintar.
“Perintah yang sulit,” ucap Sakuta.
Ia dengan enggan menyerahkan rapornya ke Mai.
Ketika dia melihatnya, Mai tampak terkejut.
“Er…kok bisa?”
Ia belum benar-benar melihat nilainya dengan teliti, tetapi rata-ratanya pasti lebih dari tujuh. Ini semua berkat Iblis Laplace. Ia harus mentraktir Koga makan siang nanti. Karena, Mai harus mengabulkan sebuah permintaan darinya sekarang.
“Jadiiii, apa yang boleh kulakukan?”
“Jika permintaanmu aneh, kita putus,” ucap Mai.
Dia mengembalikan rapor Sakuuta.
“Kalau begitu, kau mau datang malam ini dan memasak makan malam?”
“Cuma itu?”
Punya pacar yang datang ke rumah dan memasak makan malam untuknya adalah pengalaman paling berharga baginya. Terutama jika pacarnya adalah Mai Sakurajima. Sepertinya Mai tidak begitu mengerti hal ini.
“Aku ingin melihatmu memakai celemek.”
“Aku tidak pernah pakai celemek saat memasak.”
“Aww.”
“Oke, oke, nanti kupakai.”
“Kau boleh langsung memakai celemek telanjang kok.” (hadaka apron)
“Aku juga bisa memasukkan obat pencahar ke makananmu.”
“Aku cuma bercanda.”
“Tidak terlihat seperti itu.”
Dia dapat mengetahui maksud Sakuta langsung dan ia sendiri berusaha untuk menertawakannya.
“Kita mau mampir ke supermarket dulu sebelum pulang ke rumah?”
“Ayo.”
Sakuta sangat senang karena bisa mendapatkan kesempatan untuk belanja bareng lagi.
Setelah membeli bahan makanan di supermarket dekat Stasiun Fujisawa, Sakuta dan Mai bersiap untuk pulang dan mendapati kalau di luar sedang hujan. Langitnya masih berwarna biru, tetapi hujan itu turun cukup deras. Hujan panas yang cukup deras.
“Sakuta, kau bawa payung?”
“Yep.”
Ia mengeluarkannya dari tas sekolah dan membuka payungnya. Mai mendekat ke Sakuta untuk berlindung di bawah payung.
“Sini kupegang yang satu,” ucapnya.
Tangan kanan Sakuta bertugas memegang payung, tetapi untuk tangan kirinya, tas sekolahnya tergantung di bahunya dan plastik belanjaan dengan bawang hijau yang mencuat keluar dipegangnya.
“Aku bisa membawanya.”
“Kau yakin?”
Ia menjaga payungnya tetap miring agar Mai tetap kering saat mereka berjalan.
“Mai-san, kau akan buat apa nanti?”
“Rahasia. Tidak asik jika kuberitahu sekarang.”
“Cukup adil.”
Saat ini, mereka berada di dekat taman selang beberapa menit dari gedung apartemen Sakuta.
Saat mereka melewati taman tersebut, Mai tiba-tiba berhenti.
“Ada apa dengan gadis itu?”
Sakuta mengikuti arah tatapan Mai.
Seorang gadis dengan payung merah sedang berdiri tepat setelah di pintu masuk taman yang ditumbuhi rerumputan. Dia mengenakan seragam sekolah dari SMP di sekitar sini. Sepertinya terlihat masih baru, dia pasti siswi kelas satu.
Sudah berapa lama dia berdiri di sana? Bahu dan kakinya basah kuyup.
Setelah Sakuta lihat lebih teliti, ia melihat kotak kardus yang tersembunyi di rerumputan.
Mai mulai berjalan ke arah gadis itu, jadi Sakuta juga terpaksa mengikutinya.
“Ada apa?” tanya Mai.
Gadis itu menoleh ke arah Sakuta dan Mai, wajahnya dapat terlihat dari balik payung.
Begitu Sakuta melihat wajahnya, rasanya ada yang aneh. Tidak, bukan “aneh,” lebih tepatnya. Rasanya seperti ia pernah bertemu dengan gadis berpayung merah ini sebelumnya. Atau gadis itu mengingatkannya akan seseorang yang ia kenal.
“Um, anak kucing ini…,” ucap gadis itu dengan suara yang begitu pelan.
Dia melihat ke arah kotak kardus itu lagi. Di dalamnya terdapat anak kucing yang sedang meringkuk, menggigil kedinginan dan basah kuyup.
Gadis itu jelas saja khawatir akan anak kucing itu tetapi tidak tahu harus berbuat apa.
“Mai-san, kau bisa pegang payungnya dulu?”
“Tentu.”
Mai mengambil payung yang dipegang Sakuta. Kemudian, Sakuta membungkuk dan menggendong anak kucing tersebut dengan satu tangan.
“Aku akan bawa pulang dia. Jika keadaannya membaik, berarti bagus; jika tak, akan kubawa ke dokter hewan nanti.”
“Oke. Oh, tapi…”
“Mm?”
“Aku ingin memeliharanya.”
“Oh, kalau begitu…”
Sakuta memberi gadis itu nomor telepon rumahnya. Dia memasukkan nomor itu ke daftar kontak di ponselnya.
“Sudah benar?” tanya gadis itu sambil menunjukkan layar ponselnya.
“Yep. Namaku Sakuta Azusagawa. Nama Azusagawa yang sama seperti nama cabang Rest Area di tol Nagano. Sakuta ditulis dari kata mekar dan taro.”
Gadis itu mengetik nama Sakuta seperti yang diperintahkan.
Lalu, dia berpaling dari layar ponselnya dan melihat ke arah Sakuta.
“Namaku Shoko Makinohara.”
Begitu Sakuta mendengar nama ini, jantungnya terasa berdenyut begitu kencang hingga sakit rasanya. Tetapi otaknya butuh sedikit waktu lebih lama untuk menyadari hal itu.
Sakuta berkedip beberapa kali. Kemudian, ia akhirnya tau perasaan yang mengganggunya saat ini. Ia kenal dengan nama itu. Tidak heran rasanya kalau ia merasa pernah bertemu dengan gadis itu sebelumnya. Memang masuk akal---tapi pertanyaan yang lebih besar juga muncul.
“Apa katamu?”
“Namaku Shoko Makinohara.”
Gadis SMP yang berada di depannya memiliki nama yang sama seperti gadis SMA yang menjadi cinta pertama Sakuta.
0 Comments
Posting Komentar