Sahabat yang Mengayuh 40 km/jam
(Bagian 1)
(Penerjemah : Nana)
Hari berikutnya adalah Hari Minggu tanggal 4 Agustus. Suatu hari minggu yang cerah.
Sakuta berjalan ke luar ke beranda untuk menjemur cucian basahnya dan melihat awan putih besar yang melayang melintasi langit dari arah barat ke timur. Semilir anginnya terasa sejuk, tetapi panas dari matahari tetap mengalahkannya. Hari ini akan menjadi hari yang sangat panas.
Jam rumah mereka menunjukkan pukul 10 pagi tepat dan di jam-jam seperti ini biasanya interkom rumah mereka selalu berbunyi, tetapi tidak untuk hari ini. Sebagai gantinya, telepon rumah mereka yang berdering.
“Sebentar,” seru Sakuta.
Ia mengenali nomor telepon yang terpampang pada layar monokrom dari telepon rumahnya. Nomor dengan sebelas digit dan dimulai dari angka 090 memanggil ke telepon rumah mereka? Ini pasti nomor ponsel Shoko.
“Ya? Kediaman Azusagawa.”
“Selamat pagi. Ini Makinohara.”
“Pagi juga.”
“Um…maaf,” ucap Shoko tanpa memberi tahu apa yang membuatnya meminta maaf.
“Mm?”
“Aku tidak bisa datang pagi ini.”
Apa ada sesuatu yang terjadi? Nada bicaranya terdengar sedih yang mana membuat Sakuta khawatir. Mereka belum lama berbicara di telepon, tetapi ia bisa tahu kalau Shoko tidak ceria seperti biasanya.
“Baiklah, kan kupastikan tuk beri makan Hayate.”
“Terima kasih. Dan, um…”
“Mm.”
“Tidak cuma hari ini saja. Mungkin sekitar seminggu…atau mungkin lebih.”
“Kau pergi liburan ke luar negeri?”
Dari nada bicaranya tidak terdengar seperti akan liburan. Shoko tampaknya tidak yakin dengan jangka waktu dari ‘tidak berkunjungnya’ ini, dan lebih terdengar seperti kalau rencananya masih belum diatur.
“Tidak, bukan liburan. Tapi Aku tidak akan ada di rumah untuk sementara waktu.”
Memangnya apa kalau bukan liburan jika meninggalkan rumah? Pikir Sakuta.
“……”
Sakuta memang pernah memikirkan tentang kemungkinan ini. Hanya ada satu jawaban yang muncul dalam pikirannya. Ia sendiri bahkan pernah mengalaminya. Tetapi ia memutuskan jika tebakannya itu benar, maka ia tidak harus menanyakan Shoko tentang hal tersebut.
Karena Shoko sangat berhati-hati dalam memilih kata-kata untuk memberitahunya. Dia pasti tidak ingin Sakuta tahu. Dan alasan seperti itu sudah cukup bagi Sakuta untuk tidak menanyakan detailnya.
“Baiklah. Kabari Aku ketika kau bisa datang lagi. Aku akan merawat Hayate sampai saat itu tiba.”
“Baiklah, terima kasih.”
Sakuta bisa mendengar suara seorang wanita memanggil nama Shoko. Ibunya mungkin? “Sebentar!” seru Shoko. Lalu dia menambahkan, “Akan ku kabari lagi nanti.”
Setelahnya, Shoko menutup panggilan tersebut dengan nada yang terdengar murung bagi Sakuta. Ia juga menempatkan telepon rumahnya ke tempatnya semula.
“Kaede!”
“Ada apa onii-chan?” ucap Kaede yang menoleh dari PR yang dikerjakannya.
“Makinohara tak akan datang untuk sementara waktu, jadi kau bisa merawat Hayate sepuasmu.”
“Serahkan pada Kaede!” ucapnya dengan wajah yang berseri-seri.
Sakuta makan siang sedikit lebih awal, berganti ke seragamnya, dan bersiap-siap untuk pergi ke sekolah.
“Kau benar-benar akan pergi?” ucap Futaba saat di ruang tamu. Nasuno sedang menyandarkan diri ke kaki Futaba. Tampaknya mereka sudah saling akrab.
“Kau ingin ikut denganku?”
“Kurasa sebaiknya tidak.”
“Kenapa?”
“Kau sendiri tahu kan cerita tentang doppelgänger. Jika dua orang dengan wajah yang sama saling bertemu, salah satu dari mereka bisa meninggal.”
“Ya.”
“Dan menurut teleportasi kuantum, seharusnya tak mungkin untuk melihat kedua diriku secara bersamaan di waktu yang sama, jadi…”
“Jika menurut hipotesis itu, apa yang akan terjadi jika Aku bertemu denganmu pada saat yang sama?”
“Untuk membenarkan paradoks tersebut, salah satu dari kami akan menghilang. Atau paradoksnya sendiri akan hancur dan kami berdua akan menghilang.”
Tidak lucu sama sekali kedengarannya.
“Rumor juga mengatakan kalau seorang penulis meninggal karena hal tersebut---seseorang yang sangat terkenal hingga sebuah penghargaan dinamai darinya. Cerita tentang doppelgänger itu mungkin muncul dari orang-orang yang mengalami fenomena yang sama denganku.”
Penulis yang dimaksud oleh Futaba telah menuliskan cerita tentang bertemu dengan doppelgänger dirinya. Dan dulu saat di SD, di saat cerita tentang mitos tentang doppelgänger ini sedang terkenalnya, cerita-cerita semacam ini dianggap cukup bisa dipercayai.
“Jadi karena itulah sebaiknya Aku tak pergi denganmu.”
“Baiklah, jaga tempat ini selagi Aku pergi.”
Sakuta berjalan menuju pintu rumah dan memakai sepatunya.
“Aku kan memasak makan malam nanti.”
“Rasanya kita seperti sudah menikah.”
Sakuta bermaksud bercanda, tetapi Futaba terlihat benar-benar jijik setelah mendengar kata-kata tersebut.
“Ini kedua kalinya kau mengatakan hal itu hari ini.”
Yang pertama terjadi saat pagi ini. Futaba sedang membantunya dengan cucian karena setidaknya inilah yang bisa dia bantu setelah Sakuta membolehkannya untuk menginap. Dia menyetrika kerutan yang ada di cucian dengan sangat mudah. Dari sini Sakuta bisa tahu kalau Futaba mencuci pakaiannya sendiri selama ini. Dan ketika dia akan menggantung celana dalam Sakuta, ia melontarkan candaan yang sama. Pada akhirnya, Futaba melemparkan celana dalam tersebut ke wajah Sakuta.
“Yang tersisa hanyalah tinggal menyambutku dengan hanya mengenakan celemek.”
“Yang seperti itu cuma dilakukan para pengantin baru.”
“Benar juga.”
“Dan kau sebaiknya melampiaskan fetishmu itu ke Sakurajima-senpai.”
“Ide bagus.”
Sakuta akhirnya pergi sambil membayangkan Mai yang mengenakan celemek.
Udara musim panas sangatlah hangat dan lembap. Panas terik matahari menyinarinya. Seakan sedang melihat fatamorgana yang terpampang di depannya, Sakuta berjalan melewati rute yang biasa dilaluinya untuk berangkat ke sekolah.
Setelah sepuluh menit berjalan kaki dengan dipenuhi keringat menuju Stasiun Fujisawa. Ia berjalan menaiki tangga, melintasi lorong penghubung, dan langsung berjalan menuju Stasiun Enoden.
Saat Sakuta gerbang tiket dan berjalan menuju peron, sebuah kereta dengan gerbong yang dicat hijau dan krem berhenti di stasiun tersebut. Bagian depan dari kereta tersebut terlihat seperti menampilkan wajah ramah dan memberikan kesan retro. Seperti memang sudah tugasnya untuk membawa penumpang yang naik dari Stasiun Fujisawa hingga ke Kamakura meskipun panas terik matahari menyinarinya.
Sakuta masuk ke gerbong kereta yang ber-AC tersebut, dan ketika ia menyejukkan diri di salah satu kursi kosong, ia melihat seseorang yang dikenalnya menaiki gerbong yang sama.
Dengan mengenakan seragam musim panas SMA Minegahara---rok biru tua, kemeja putih, rompi krem, dan dasi merah cerah yang diikat seperti seharusnya. Sebuah tampilan yang sama persis dengan yang sekolah inginkan bagi para siswinya. Tetapi hanya ada sedikit orang yang benar-benar mengikuti aturan seragam tersebut.
“……”
Ketika tatapan matanya bertemu dengan tatapan mata Sakuta, Futaba duduk di sebelahnya.
Saat bel peringatan berbunyi. Sekumpulan mahasiswi bergegas menaiki gerbong sebelum akhirnya pintu gerbong menutup di belakang mereka. Setelahnya, kereta perlahan berjalan meninggalkan stasiun tersebut.
“Kau sudah dapat informasi baru?” tanya Futaba sambil menatap ke luar jendela.
“Foto-foto telanjangmu sangat luaaar biasa.”
“……”
“Maksudku, Aku sendiri sudah tahu. Meskipun kau sedang mengenakan seragam mu.”
Jika Sakuta melihat ke arah dada Futaba, dia pasti akan berteriak ke arahnya, jadi ia juga memfokuskan diri untuk melihat pemandangan di luar jendela, sama seperti Futaba saat ini. Dari sudut penglihatannya, Sakuta bisa melihat kalau rambut Futaba masih di kuncir kuda sama seperti sebelumnya. Tanpa mengenakan kacamata. Futaba yang satu lagi mengenakan kacamata, jadi yang ini sepertinya tidak punya pilihan lain selain menggunakan lensa kontak.
“Dan kau repot-repot menemuiku dan memberitahuku untuk menghentikan kelakukan bodoh ini?”
“Tak juga. Terdengar merepotkan bagiku.”
“Kalau begitu, kenapa kau di sini?”
“Aku tak bisa kencan dengan Mai, dan karena Aku bosan, jadi kuputuskan untuk bermain denganmu.”
“……”
Futaba sudah membayangkan akan kemungkinan ini.
“Aku mengerti,” ucapnya. “Jadi kau memutuskan untuk menyelesaikan ini dengan cara yang lebih merepotkan lagi” tambahnya.
Sebagai balasannya, Sakuta menoleh dan menatap mata Futaba langsung.
“Apa?”
“Kau punya foto yang lain? Selain yang close-up?”
“Ya. Kenapa?”
“Aku boleh lihat?”
“……”
Wajahnya jelas-jelas menunjukkan rasa jijik.
“Kenapa kau begitu peduli jika Aku melihat yang lain?” tanya Sakuta sambil mendesak Futaba.
Futaba dengan diam menyerahkan ponselnya.
Sakuta membuka folder foto dari ponsel Futaba, dan layar ponsel dengan cepat terisi oleh banyak gambar.
“Banyak juga…”
Total fotonya ada lebih dari tiga ratus gambar. Setidaknya sepuluh kali lipat lebih banyak dari yang dibayangkan Sakuta.
Tetapi semua foto-foto tersebut bukan gambar provokatif yang dibuat untuk merangsang yang melihatnya. Beberapa dari gambar tersebut hanyalah foto dari telapak tangannya atau ujung dari jari kakinya. Dia bahkan juga mengambil gambar dari bagian dalam ranselnya.
Ia terus melihat lebih jauh dari foto-foto yang ada dan menemukan foto dari Futaba yang mengenakan seragam berbeda. Dengan blazer biru laut dan rok yang panjangnya sampai ke lututnya. Wajahnya tampak lebih muda dan rambutnya juga lebih pendek. Tetapi gadis yang ada di foto ini sudah pasti Futaba.
“Yang ini…?” tanya Sakuta sambil menunjukkan ke Futaba.
“Saat SMP.”
Dia bahkan sudah mengambil foto selfie saat ini. Hal ini jauh lebih dalam dari yang Sakuta kira.
“Yang ini banyak foto wajah dan seluruh tubuhmu ya.”
Semakin jauh ia melihat foto-foto yang sebelumnya, semakin banyak gambar yang serupa. Hanya akhir-akhir ini saja dia mulai menyembunyikan wajahnya ketika mengambil foto selfie. Namun sebagai gantinya, dia mulai menunjukkan kulit telanjangnya, atau gambar sekilas dari celana dalamnya---intinya, jauh lebih bermuatan seksual dibanding yang sebelumnya.
“Aku awalnya tak ada niat untuk menunjukkan hal itu ke orang lain, apalagi mengunggahnya ke medsos.”
“Cuma sebagai album pribadi sendiri?”
“Kau membuatnya terdengar lebih buruk dari kelihatannya.”
“Salahmu sendiri.”
“Baiklah.”
Senyum Futaba saat ini dipenuhi kebencian akan dirinya sendiri dan Sakuta tidak menyukai hal tersebut. Ia tidak ingin Futaba melihat dirinya sendiri seperti itu.
“Ketika pertama kali mulai mengambil selfie-selfie itu, Aku ingin melihat diriku sendiri sebagai barang dan bilang, ‘Dasar bodoh.’”
“Aku tak mengerti.”
“Rasanya melegakan ketika menunjukkan betapa bodohnya diriku.”
“……”
Ia benar-benar tidak mengerti.
“Menyebut hal ini sebagai ‘analisis diri’ mungkin terdengar konyol, tapi Aku menganggap hal ini sebagai cara untuk menyakiti diri sendiri.”
Namun, apa yang dikatakannya itu jauh dari kata konyol. Tetapi yang seperti itu juga tidak masuk akal ketika dia mengatakannya sendiri. Terutama ketika dia sadar kalau hal ini membuatnya lega/lebih baik dan dia tidak hanya terus melakukannya, tetapi juga memperparah tindakannya itu.
“Mungkin yang seperti tak masuk akal buatmu, tapi…Aku membenci diriku sendiri.”
“Futaba yang di rumahku juga bilang hal yang sama.”
Dimulai dari perubahan tubuhnya yang jauh lebih cepat dari gadis-gadis lain. Dia juga bilang tentang reaksi dari bagaimana para pria melihat dirinya membuatnya merasa jijik akan tubuhnya sendiri. Pada akhirnya, dia membenci tubuhnya sendiri.
“Karena itu Aku menghukum diriku sendiri. Karena Aku benci diriku.”
“Kau menolak bagian dari dirimu yang kau benci dan merasa lega untuk sesaat?”
“Kau jauh lebih pintar daripada kelihatannya ya.”
“Tapi bagian dari dirimu yang kau benci itu juga merupakan dirimu.”
Pada akhirnya, tindakannya sendiri tidak menyelesaikan masalah apa pun. Ketika rasa lega itu berlalu; dia mulai sadar dan menyadari hal yang telah terjadi. Dia mulai kembali memikirkan tentang apa yang sudah dilakukannya dan membenci kelemahan dirinya sendiri itu. Lalu, dia semakin membenci dirinya sendiri dan melakukan hal yang sama untuk menghukum dirinya. Dan begitu siklus keji ini terulang, tindakan yang diambilnya semakin kejam dan lebih ekstrem dari yang sebelumnya.
Futaba berhadapan dengan kontradiksi internal yang begitu hebat hingga sulit dihadapi seorang diri sampai akhirnya membelah dirinya menjadi dua.
Sakuta tidak bisa bilang kalau ia bisa mengerti sepenuhnya. Tetapi setidaknya ia bisa berempati dengannya di satu aspek dari masalah Futaba.
Ketika Kaede mulai dirundung oleh teman-teman sekelasnya saat kelas satu di SMP, Sakuta hanya bisa melihatnya menderita, tidak berdaya untuk membantunya. Tidak ada satu pun yang bisa ia lakukan. Ia merasa tidak berdaya dan tidak berguna, dan tanpa adanya tempat untuk mencurahkan perasaan itu, hal tersebut mulai menggerogoti dirinya dari dalam.
Karena merasa begitu tidak berguna, Sakuta mulai menyiksa dirinya sendiri. Dan di akhir dari siklus yang keji itu, terdapat tiga bekas cakaran besar di dadanya. Satu-satunya penjelasan yang bisa ia terima untuk luka tersebut adalah hukuman atas siksaan yang ia lakukan pada dirinya sendiri. Bukti dari dosanya, karena gagal menyelamatkan adiknya.
“Azusagawa,” ucap Futaba.
Ia menoleh sambil mengucapkan, “Mm?”
“Kau ada di pihak siapa?”
“Aku ada di pihak Rio Futaba,” ucapnya langsung.
“Dasar pembohong.”
“Jangan menghinaku seperti itu!”
“Aku dan diriku yang lain tak akan pernah saling mengerti.”
“Jangan berkata bodoh seperti itu.”
“Sudah kenyataannya seperti itu.”
“Aku tak suka bohong ke teman.”
Ia sedikit malu setelah mengatakan hal tersebut tetapi kalau dipikir-pikir lagi memang layak untuk dikatakan. Ia tahu kalau Futaba pasti mengerti maksudnya. Tetapi pada akhirnya, dia menertawakan kata-kata Sakuta.
“Kalau begitu, Aku juga tak akan menahan diri---Azusagawa, kau harus memilih antara salah satu dari kami.”
“Pemikiran yang menyeramkan. Sampai-sampai bisa membuatku untuk kencing di celana.”
“Jika kau masih tak serius menyikapi ini, itu berarti kau sudah tahu kalau Aku benar.”
Kereta yang mereka tumpangi berhenti. Akhirnya, mereka sudah tiba di Stasiun Shichirigahama.
“Dunia ini tak butuh dua Rio Futaba,” ucapnya dengan nada yang datar dan dingin.
Futaba berdiri dan turun dari kereta.
Pengeras suara di kereta mulai mengumumkan keberangkatan mereka selanjutnya.
“……”
Sementara ia masih mencari jawaban, pintu gerbong menutup, dan kereta tersebut melaju membawa Sakuta yang masih duduk di kursinya.
“Dia benar-benar bisa jadi menakutkan. Aku mungkin benar-benar bisa kencing di celana…”
Wanita yang duduk di sebelahnya pasti mendengar kata-kata Sakuta itu, karena dia mulai menjauh.
“Aku bercanda,” ucap Sakuta.
Tetapi tetap saja, wanita itu tetap tidak kembali duduk di dekatnya.
Sakuta memikirkan untuk turun di Stasiun Inamuragasaki (pemberhentian selanjutnya) tetapi pada akhirnya menumpangi kereta tersebut sampai ke Stasiun Kamakura yang merupakan pemberhentian terakhir dari kereta tersebut.
Lalu, tanpa alasan yang jelas, ia keluar dari stasiun tersebut, berjalan menuju ke toko terdekat, dan membeli sekotak biskuit kue hato sabure [1]. Kue ini adalah oleh-oleh wajib bagi yang berkunjung ke Kamakura. Setelah lahir dan dibesarkan di Prefektur Kanagawa, mereka sangat mirip seperti shumai [2] bagi Sakuta.
Setelah membeli kue itu, ia kembali masuk ke stasiun, menaiki Enoden, dan menumpanginya ke arah datangnya ia seperti semula.
Kali ini, ia akhirnya benar-benar turun di stasiun Shichirigahama. Stasiun pemberhentian dari sekolahnya.
Keputusannya itu membuatnya tiba sekitar 40 menit lewat dari waktu yang awalnya ia rencanakan.
“Aku bawa oleh-oleh.”
Sakuta meletakkan kotak kuning yang berisi biskuit kue berbentuk merpati di atas meja lab yang sedang Futaba gunakan.
“Memangnya kau pergi ke mana?”
“Kamakura, ho!”
“Seterahmu saja.”
Karena sudah hilang minat berbicara dengan Sakuta, Futaba meraih kotak kuning tersebut. Dia baru saja selesai menyeduh kopi, jadi Futaba memang sedang ingin makan makanan yang manis. Dan rupanya, dia itu tipe orang yang mulai memakan kue merpati dari ekornya.
Sakuta juga mengambil sepotong kue merpati. Sementara ia sendiri, mulai memakannya dari bagian kepala.
“Kau sudah memutuskan siapa yang akan kau pilih di antara kami berdua?”
“Dengar ya, Futaba.”
“Apa?”
“Kau yang harus memutuskan itu sendiri.”
“…..”
“Ini adalah masalahmu sendiri, dan kau yang harus mengakhirinya.”
“Kata-katamu ada benarnya juga.”
Sakuta menarik keluar sebuah bangku dari balik meja dan duduk di atasnya. Agar tidak bosan, ia meraih sebuah remote dan menyalakan TV yang ada di ruangan itu.
Layar TV yang menggantung di langit-langit di atas papan tulis mulai menyala. Menampilkan acara talkshow siang hari saat ini.
Seseorang yang Sakuta kenal sedang mewawancarai orang-orang yang mengikuti kompetisi seni memahat pasir di suatu pantai yang ada. Fumika Nanjou yang sedang memegang mikrofon dengan tatapan mata ke arah kamera sedang berada di lokasi langsung saat ini.
“Pemirsa sekalian, lihatlah karya yang luar biasa ini!” ucapnya dengan heboh. Dia melambai ke pahatan pasir yang ada di belakangnya. Rupanya, seseorang telah membuat model pasir dari Sagrada FamÃlia, sebuah gereja terkenal di Barcelona. Ditambah dengan 18 menara, sama seperti yang asli. Karya seni ini bahkan lebih menakjubkan dari yang asli. Perkataan Fumika memang benar adanya---memang luar biasa.
Karyanya setingkat di atas daripada karya lain yang ada di kompetisi itu.
“Keduanya ini adalah pencipta dari mahakarya di belakang saya ini.”
Fumika membawa seorang wanita dan pria ke depan kamera, usia keduanya mungkin sekitar 20-an. Sang pria terbilang tinggi dan langsing, dengan kacamata yang dikenakan membuatnya terlihat pintar dan tampan. Ia juga tersenyum di depan kamera, sama sekali tidak menunjukkan rasa takut dalam wawancara tersebut. Sementara si wanita terbilang kecil dan imut namun lekuk tubuhnya mengesankan. Dia mengenakan bikini merah di balik kaus oblongnya putihnya yang mana terlihat jelas dari balik kaus itu; payudaranya sendiri terlihat jauh lebih besar dari yang bisa ditampung oleh bikininya dan kaus yang dikenakannya terbilang sangat pendek, sehingga menampilkan pinggangnya yang ramping.
Sang wanita mungkin tingginya sama dengan Futaba. Karena itu, Sakuta melirik ke sampingnya untuk membandingkan dan tatapan mata mereka bertemu.
“Pinggangku tak seramping itu,” ucap Futaba yang membaca pikirannya.
Tetapi dari kata-katanya itu mengartikan kalau dia bisa saja unggul di bagian lain. Mungkin tubuh telanjang Futaba jauh lebih menakjubkan dari yang bisa ia bayangkan.
“Apa kalian berdua pacaran?” tanya Fumika.
“Kau bahkan lebih cantik setelah bertemu secara langsung, Mbak Nanjou,” ucap sang pria yang mengabaikan pertanyaan Fumika. Ketika Fumika berkedip ke sang pria, ia juga menambahkan, “Dia ini istriku.”
Sang wanita menunjukkan kilauan cincin di jari manis kirinya. “Kilau!” tambahnya juga.
“Kalian berdua masih sangat muda! Apa kalian ini pengantin baru?” tanya Fumika.
“Tidak! Kami menikah saat umur kami 18!” ucap sang pria sambil menatap ke kejauhan.
Menikah di umur semuda itu pasti ada alasannya tersendiri. Mungkin sang pria sedang merenungkan tentang kesulitan yang dihadapinya. Sakuta juga akan berumur 18 tahun depan, tetapi pernikahan itu seperti jargon dari dunia fantasi baginya.
“Eh, di 18 tahun?!” Fumika terbata-bata dan sangat terkejut setelah mendengarnya. “Saya bisa lihat kalau istri anda yang sebagian besar menciptakan karya seni ini. Tantangan apa yang anda sendiri hadapi?”
“Aku akan ikut di kompetisi lain di Pantai Kugenuma tanggal 23! Ayo jabat tanganku!” teriak sang wanita begitu mikrofon di arahkan padanya. Kenapa dengan wanita itu? pikir Sakuta.
Lalu sang wanita itu mulai mengaum dan berjalan maju ke arah kamera. Sang pria---yang merupakan suaminya---menahannya dan menariknya keluar dari kamera yang menyorot mereka.
“……” Fumika menatap ke arah mereka berdua untuk sesaat, lalu kembali bersikap profesional dan berkata, “Kembali ke studio!” dengan senyum lebar.
Semua orang yang ada di studio menunjukkan wajah canggung, dan tidak lama kemudian acaranya masuk ke sesi iklan.
Seseorang yang Sakuta kenali lagi juga muncul di layar. Kali ini adalah Mai yang membintangi iklan sampo. Rambutnya yang indah terurai lebar dan kembali tergerai lurus. “Menjaga kelembapan rambut setiap harinya,” ucap sang narator. Mai tersenyum ke arah cermin seperti sedang tertawa kecil. Perpaduan dari dirinya yang cantik dan juga imut sangat menakjubkan. Hal itu selalu membuat Sakuta terpukau. Ia menikmati momen yang singkat itu.
Ketika iklan lainnya muncul, Sakuta meraih kipas tangan dari meja dan berjalan ke arah jendela. Suhu AC di ruangan ini dinaikkan sedikit, jadi ruangannya terasa sedikit pengap. Ia mulai mengipasi dirinya sendiri.
Di luar jendela, ia bisa melihat lima orang sedang berlari memutar lapangan di bawah terik matahari yang panas. Salah satunya adalah Kunimi yang berada jauh di depan yang lain. Mereka pasti tim basket.
“Hei, Futaba.”
“Apa?”
“Apa yang diperlukan agar kalian berdua bisa jadi satu lagi?” tanya Sakuta tanpa berbalik ke belakang.
Dunia ini tidak butuh dua Rio Futaba.
Kata-kata Futaba itu selalu terngiang-ngiang di pikirannya. Foto-foto seksinya juga jadi masalah tersendiri juga, tetapi ia tetap tidak bisa membiarkan masalah Sindrom Pubertas ini terus berlanjut.
“Entahlah.”
“Jika kesadaranmu yang terpisah menyebabkan hal ini, bisakah kesadaran itu bersatu lagi?”
“…Yah, mungkin saja,” ucap Futaba yang akhirnya mulai mengakui masalahnya.
“Bagaimana kita mewujudkan hal itu?”
“Untuk saat ini, kami berdua semakin menjauh. Kami berdua melakukan hal yang sangat berbeda. Semakin banyak ingatan dan pengalaman yang berbeda, semakin kecil kemungkinannya kami akan bisa bersatu lagi.”
“Beri Aku jawaban yang lebih optimi sebelum perutku sakit.”
“Kurasa kami berdua hanya harus merasakan hal yang sama.”
“Seperti besarnya rasa sukamu ke Kunimi?”
“……”
Kata-kata yang baru saja diucapkannya itu membuatnya mendapatkan balasan diam. Jika Sakuta berbalik saat ini juga, tatapan sinis pasti akan ditujukan padanya. Karena itu ia tidak berani membalikkan badannya.
“Aku yakin kami berdua setuju dalam hal itu.”
“Kalau begitu kenapa tak menyatu lagi?”
“Jika perasaan seperti itu masih belum cukup untuk membuat kami berdua menyatu di saat ini juga, maka kami perlu perasaan yang jauh lebih kuat daripada itu.”
“Perasaan yang jauh lebih kuat dibandingkan rasa sukamu ke Kunimi?”
Sakuta tidak bisa memikirkan jawaban apa pun dari pertanyaannya sendiri.
“Jangan tanya ke Aku,” ucap Futaba sambil mengangkat kedua tangannya ke udara.
Pada akhirnya, dia menyerahkan masalah tanpa ada solusi yang jelas ke Sakuta.
Sakuta hanya bisa menyeringai dan mulai fokus ke kue merpati di tangannya.
Dengan melemparkan bagian ekor dari kue merpati ke mulutnya, ia mengunyah habis makanan tersebut. Putaran yang dilakukan oleh Kunimi membawanya melewati gedung sekolah.
Tatapan Kunimi bertemu dengan Sakuta yang berada di jendela lab sains. Ia tersenyum menyeringai dan berlari ke arah Sakuta, lalu cepat-cepat duduk dengan bersandar di tembok sekolah sementara Sakuta membuka jendela.
“Argh, Aku bisa mati kepanasan!” ucap Kunimi yang terengah-engah.
Keringatnya menetes ke beton yang ada di bawah.
Ketika ia melihat kipas yang dipegang Sakuta, “Aku perlu itu,” katanya dengan jari-jari yang membuka dan menutup seperti menuntut upah.
“Tak mau.”
“Kenapa tidak?!”
“Apa untungnya buatku?”
“Aku perlu angin segar!”
Sakuta mengabaikannya dan berbalik.
“Futaba,” ucapnya sambil melambai ke arahnya.
Dia menoleh dari tabung percobaan yang digunakannya dan berkata, “Apa?”
Dia terdengar kesal, tetapi tetap berjalan ke arah Sakuta yang berada di sisi jendela. Sakuta memberinya kipas yang dipegangnya.
“Kipasi kunimi.”
“Ia yang memintamu.”
“Jika Aku akan dikipasi oleh seseorang, tentu saja Aku akan lebih suka jika yang mengipasiku cewek.”
“……”
Dia terdengar kesal mendengarnya, tetapi setengahnya lagi merasa malu.
“Futaba! Aku butuh angin segar!” pinta Kunimi.
Futaba berpikir sesaat, lalu diam-diam mulai mengipasi Kunimi.
“Ahhh…rasanya menyegarkan!”
Keempat orang lainnya masih berlari di lapangan atau lebih tepatnya lagi sempoyongan.
“Bukannya kau biasanya ada di GOR? Kenapa cuma kalian berlima yang lari?”
Karena yang Sakuta ingat, anggota klub basket ada banyak.
“Hukuman karena kalah kemarin.”
“Tunggu, timmu kalah?”
“Di tim ku cuma ada anak kelas satu!”
“Tak seperti biasanya kau menyalahkan teman setim mu. Kau pasti Kunimi palsu!”
“Aku masih tak mengerti kau menganggapku seperti apa Sakuta…”
“Aku tahu kau ini populer sampai membuatku kesal.”
“Kejamnya!” ucap Kunimi sambil tertawa keras.
“Memang sebuah misteri kenapa kalian berdua bisa jadi teman,” gumam Futaba.
Kunimi membalasnya dengan tersenyum dan Sakuta juga sama. Meskipun Futaba sepertinya mencari jawaban atas kata-katanya itu, keduanya tidak memberikan jawaban yang diinginkannya. Karena sulit jika dicurahkan ke dalam kata-kata. Mereka berdua memang akur dan ya memang cuma itu saja. Sakuta bisa langsung tahu kalau mereka berdua bisa saling mengutarakan pikiran mereka dengan bebas, dan Kunimi akan langsung mengerti apakah Sakuta memang bercanda atau sedang serius.
Ia sendiri juga merasakan hal yang sama tentang Futaba. Mereka pertama kali berbicara panjang lebar saat semester pertama mereka di kelas satu. Setelah rumor tentang Sakuta yang terlibat dalam perkelahian besar di SMP dan membuat beberapa teman sekelasnya harus dilarikan ke rumah sakit mulai menyebar.
Saat itu Sakuta sedang mencari tempat untuk makan siang dengan tenang. Dan ia menemukannya di lab sains---tetapi ternyata sudah ada orang yang terlebih dulu menggunakannya.
“Semua orang di sekolah ini takut akan dirimu, tapi kau tetap masuk sekolah seperti biasa,” ucapnya.
“’Agh, semua orang menghindariku!’ Seakan-akan Aku sudah bilang hal yang berlebihan.”
“Kurasa tak begitu berlebihan sebenarnya. Apa kau baik-baik saja? Oh, tidak ya; karena itu kau tetap datang ke sekolah.”
“Kau orang yang menarik, Futaba.”
“Huh? Bagaimana bisa?”
“Kau sedang berbicara langsung denganku saat ini, kan?”
Sejak awal, mereka berdua saling jujur dengan perkataan masing-masing. Ia ingat betul saat-saat itu. Hubungan mereka berdua juga masih seperti itu selama setahun ini.
“Putaran terakhir!” seru Kunimi yang memanggil teman klubnya. Keempat siswa kelas satu berhasil memaksa lari mereka, mencoba untuk menjadi yang pertama sampai di tempat Kunimi.
Lalu mereka jatuh berlutut dengan terengah-engah dan bahu yang naik-turun.
“Ugh, Kunimi-senpai tak adil!” ucap salah satu dari keempat orang itu yang melihat Futaba mengipasi Kunimi.
“Senpai punya pacar, dan ada juga cewek lain yang mengipasi senpai? Kenapa semua cewek lebih suka senpai?”
Sakuta sangat setuju dengan perkataan siswa kelas satu ini. Ia sampai mengangguk setuju.
“Sangat cantik! Senpai harus perkenalkan ke kami!”
“Apa dia ini anak kelas dua?”
“Huh? Kalian tak kenal dengan Futaba?”
Futaba sendiri sebenarnya cukup terkenal. Siswi kelas dua yang selalu mengenakan jas lab. Bahkan, para siswa kelas satu ini pasti sudah mengenalinya sekarang ini.
“Huh?” Mereka semua saling berkedip dan menatap satu sama lain.
“Aku tak tahu kalau dia seimut ini,” bisik salah satu dari mereka, tetapi Sakuta bisa mendengarnya dengan jelas.
Saat ini Futaba tidak sedang mengenakan jas labnya, rambutnya dikuncir, dan dia juga tidak mengenakan kacamata. Yang seperti ini saja sudah mengubah penampilannya hingga mereka sampai tidak mengenalinya. Ketika Sakuta pertama kali melihatnya seperti ini, ia juga melakukan hal yang sama.
“Kalian semua tak memperhatikan cewek-cewek dengan teliti. Tak bisa kuperkenalkan pada kalian kan sekarang? Cepat balik ke GOR.”
Kunimi mengusir mereka.
Mereka berjalan pelan-pelan sambil sesekali melihat ke arah Futaba.
“Cewek kelas dua itu terasa sangat dewasa sekali!”
“Benar-benar tipeku.”
“Seksi sekali! Cerdas dan seksi!”
“Aku ingin dia mengajariku ini-itu!”
Mereka benar-benar sudah mulai terangsang/bersemangat.
“Aku sendiri terkejut kau bisa bilang begitu Kunimi,” gumam Sakuta. Tetapi saat ini ia sedang memikirkan hal yang sama sekali berbeda.
Kata-kata Futaba masih terngiang-nging di kepalanya.
Dunia ini tidak butuh dua Rio Futaba.
Perkataannya memang tidak salah. Dunia ini tidak diatur dalam menangani dua orang yang sama. Keduanya tidak bisa menghadiri sekolah di semester selanjutnya, ataupun tinggal bersama di satu rumah yang sama. Bagaimana mungkin dia bisa terdaftar secara resmi menurut aturan pemerintah yang berlaku?
Dan saat ini juga, hanya salah satu dari dua Futaba saja yang aktif dalam bermasyarakat. Bahkan, hanya beberapa orang saja yang tahu kalau diri Futaba yang satu lagi ada di apartemennya.
Situasinya tidak bisa terus seperti ini. Tetapi setiap kelas yang dihadirinya tidak mengajarkan Sakuta cara membuat dua orang yang sama kembali menjadi satu.
Futaba bilang kalau mereka butuh perasaan yang jauh lebih kuat, tetapi ia sendiri tidak tahu perasaan apa yang lebih kuat dibandingkan perasaannya terhadap Kunimi. Pikirannya buntu.
“Aku tak tahu lagi apa yang harus kulakukan,” gumamnya.
“Mm?” balas Kunimi.
“Tak ada apa-apa.”
Untuk saat ini, Sakuta tidak punya pilihan lain selain menghindar dari masalahnya.
[1] Nananotes: Hato sabure adalah kue panggang sebesar telapak tangan yang berbentuk burung merpati. Sebuah oleh-oleh khas dari Kamakura. Agak sedikit berbeda dari biskuit pada umumnya karena mentega yang digunakan jauh lebih banyak. Dan pembuatannya juga dengan cara dipanggang.
[2] Nananotes: Shumai atau Siomay adalah sejenis pangsit tradisional yang berasal dari China. Karena bentuknya kecil dan bisa dimakan sebagai cemilan seperti kue hato sabure, Sakuta membandingkan kue itu dengan makanan ini.
0 Comments
Posting Komentar