Hujan di Malam Hari yang Menghapus Segalanya
(Bagian 1)
(Penerjemah : Nana)
Ketika Sakuta terbangun, kucing berbulu putih sedang berada di hadapannya. Dia adalah Hayate yang sedari tadi melompat-lompat dari tubuhnya. Dirinya sudah mulai lincah kembali.
Sakuta kemudian duduk dan melihat ke sekelilingnya. Ia kenal dengan tempat ini, karena sekarang ini ia sedang berada di ruang tamunya sendiri. Pasti ia langsung tertidur di lantai.
Otaknya akhirnya mulai bekerja, dan ia ingat kalau dirinya baru pulang ke rumah pagi ini.
Ia melihat ke arah jam dinding dan waktu sudah menunjukkan pukul enam sore. Yang artinya ia sudah tertidur selama dua belas jam. Tetapi dirinya masih saja terasa lesu dan mengantuk.
Otaknya menyuruhnya untuk membuat makan malam, jadi Sakuta bangkit dari duduknya. Tetapi ia memutuskan untuk membasuh dirinya terlebih dulu.
Air hangat dari shower terasa nyaman di tubuhnya.
Ketika Sakuta keluar dari kamar mandi, ia sudah sadar sepenuhnya. Begitu ia berjalan kembali ke ruang tamu dengan hanya mengenakan celana dalamnya, Kaede muncul dari kamar tidurnya.
“Onii-chan sudah bangun!” ucapnya.
“Pagi, Kaede.”
“Onii-chan menyebut sekarang ini pagi?!”
“Futaba ada di kamarnya?” Kamar Sakuta sudah menjadi kamar Futaba sekarang ini.
“Tidak, dia masih belum pulang.”
“Huh? Dia pergi keluar?”
“Ya, tepat setelah onii-chan pulang. Dia bilang mau pergi belanja.”
“Belanja?”
Sakuta sendiri baru pulang ke apartemennya sekitar pukul enam pagi. Memang siapa yang pergi belanja sepagi itu? Satu-satunya pasar yang baru buka di jam-jam itu hanyalah pasar tempat para koki membeli bahan masakan mereka.
Kemudian, Sakuta membuka pintu kamar tidurnya yang menjadi kamar tidur Futaba sementara ini.
“……”
Kamarnya sangat bersih sampai barang-barang pribadi Futaba tidak terlihat lagi dan kemungkinan dia bawa ‘belanja’ juga.
“Si bodoh itu!”
Tanpa sadar, Sakuta langsung berbalik dan berlari menuju pintu masuk rumahnya. Ia langsung membukanya dan melangkah keluar. Tetapi ia segera menghentikan langkahnya itu.
Sakuta menyadari kalau ia tidak punya petunjuk ke mana dirinya harus pergi.
Dan juga, saat ini ia hanya mengenakan celana dalamnya. Bahkan di era yang mengampanyekan “Cool Biz” [1] saat ini, masyarakat masih belum siap untuk gaya berpakaiannya itu. Setidaknya, ia sepuluh tahun lebih awal dari perkembangan fashion saat ini. Ia harus menunggu sampai awal dari era kampanye “Dangerous Cool Biz.”
Sakuta masuk kembali ke dalam apartemennya dan memakai celana pendek cargo. Sambil mengenakan kausnya, ia berjalan menuju telepon rumahnya.
Lalu, ia menekan nomor ponsel Futaba.
“……”
Panggilannya terus berdering tetapi Futaba masih tidak mengangkat panggilan Sakuta. Pada akhirnya, ia diarahkan ke pesan suara.
“Ini Aku, Azusagawa. Di mana kau? Tak pulang? Jika kau mendengar pesan ini, telepon Aku lagi cepat.”
Sakuta akhirnya menutup teleponnya. Pesannya yang barusan saja mungkin sia-sia. Ia mengangkat gagang teleponnya lagi untuk menelepon diri Futaba yang lain.
“……”
Tetapi ketika Sakuta akan menelepon, ia sadar kalau dirinya tidak tahu nomor telepon rumahnya. Saat di SD, mereka punya yang namanya daftar kelas dengan nomor telepon dari semua orang di kelasnya, tetapi ia belum pernah melihat hal yang sama saat di SMA. Dan sampai saat ini ia tidak pernah membutuhkan hal itu sebelumnya.
“Kaede, Aku harus pergi keluar.”
“Sekarang juga?”
Dia terlihat sedih, jadi Sakuta mengelus kepalanya.
“Maaf.”
“T-tidak, ini bukan salah onii-chan. Kaede akan baik-baik saja.”
“Panaskan saja kari sisa untuk makan malam.”
“Oke.”
“Aku kemungkinan akan pulang malam. Jangan begadang.”
“Kaede akan menunggu onii-chan sampai pulang!” balasnya.
Sakuta kembali mengelus kepala Kaede lagi dan meninggalkan rumahnya.
Sakuta menaiki sepedanya dan mengayuh sekencang mungkin di area tempat tinggalnya. Awalnya ia menuju ke arah Stasiun Fujisawa. Berniat untuk naik kereta ke Hon-Kugenuma tetapi karena hanya satu stasiun setelahnya, ia pikir akan lebih cepat jika mengayuh sepedanya ke rumah Futaba.
Angin yang menerpa wajahnya dirasa agak aneh hawanya. Dan cuacanya juga sangat lembap. Usianya sudah cukup tua untuk bisa tahu arti dari cuaca ini.
Sebuah badai sedang mengarah ke tempatnya.
Tanpa memperlambat laju sepedanya, Sakuta melihat ke arah langit. Awan tebal dan gelap menjulang di atas kepalanya. Bentuknya yang aneh terlihat menggeliat seolah-olah awan itu hidup dan melayang ke arah utara.
“Tak lama lagi…”
Tidak lama setelah kata-kata itu keluar dari mulutnya, setetes air besar mengenai dahinya. Tetes kedua dan ketiga juga mulai mengenai dirinya, dan awan tebal yang ada di atasnya mulai terbelah.
Tiba-tiba, tetesan hujan turun dengan derasnya sampai hanya terlihat warna putih di sekitar Sakuta.
“Kau bercanda, kan!
Kausnya sudah lepek dan menempel ke tubuhnya.
Sakuta berpikir untuk kembali pulang, tetapi ia akan basah kuyup juga.
“Menyebalkan sekali! Sial!”
Sambil menyuarakan sumpah serapahnya, ia mengayuh sepedanya lebih kencang lagi.
Saat Sakuta sampai di rumah Futaba, ia sudah basah kuyup sampai ke celana dalamnya. Rasanya menjijikkan, tetapi ia sudah tidak peduli lagi.
Kemudian, Sakuta menekan tombol interkom rumah Futaba.
Ia khawatir kalau orang tuanya yang akan menjawab, tetapi ternyata masih Futaba.
“Azusagawa?” suaranya terdengar dari speaker.
“Bagaimana kau bisa tahu?”
“Dari kamera.”
“Modern sekali!”
“Biasa saja. Cepat masuk.”
Gerbang rumahnya terbuka dan Sakuta mendorong sepedanya ke halaman depan rumah. Rasanya ia tidak akan bisa terbiasa dengan rumah sebesar ini. Dan dengan air yang menetes ke mana-mana hanya memperciut dirinya. Rasanya rumah besar ini seperti menolak keberadaan dirinya.
Sementara ia memarkirkan sepedanya, Futaba menjulurkan kepalanya dari pintu sambil mengenakan piama berbulunya.
“Ada apa?”
“Futaba hilang.”
“Hah?”
“Dia ada di rumahku saat Aku pulang pagi ini. Lalu Aku tertidur, dan setelah Aku bangun…dia sudah mengambil semua barang-barangnya dan menghilang entah ke mana.”
“Asal kau tahu saja, kami masih belum menyatu lagi.”
“Firasatku juga sama,” karena sepertinya tidak mungkin sampai masing-masing dari diri mereka membutuhkan sebuah alasan untuk kembali. “Kau tahu ke mana dia pergi?”
“Mungkin ke sekolah,” ucap Futaba. Dia tidak perlu butuh waktu lama untuk menjawab Sakuta. Seolah-olah dia sudah tahu jawabannya. “Jika diriku yang lain mencoba untuk menghindari darimu dan Aku, kalau begitu…kemungkinannya dia ada di sana. Jika Aku pergi mencari tempat terakhir di mana Aku tak sendirian, di sekolah lah tempatnya.”
Wajahnya terlihat sangat yakin sampai Sakuta tidak berani meragukan jawabannya.
“Baiklah. Makasih.”
Tiba-tiba, ada kilatan petir yang sangat besar disertai dengan suara dentuman kencang.
“Ack!”
Mendengar itu, Futaba menutup kedua telinga dengan tangannya.
“Aku tak pernah mendengarmu membuat suara seperti itu.”
“A-aku cuma kaget!”
Sebelum Futaba bisa menjelaskan alasannya, kilatan petir dan suara dentuman lainnya muncul lagi. Suaranya terjadi sangat cepat dan sangat dekat.
“Ack!”
“……”
“Tidak,” ucapnya sambil melotot ke arah Sakuta.
“Jika kau takut, telepon Kunimi.”
“Tak mau.”
“Bilang saja, ‘Aku takuuuut’ dan buat Kunimi memelukmu.”
“Tak akan.”
“Setelah ‘bergulat’ di tempat tidur, apa yang sudah terjadi biarlah terjadi, dan Kunimi harus mempertanggung jawabkannya.”
“Tak ada yang akan senang dengan rencanamu itu..”
“Yah kalau begitu, semoga berhasil.”
Sakuta kembali menaiki sepedanya.
“Aku juga ikut.”
“Kau jaga rumah saja. Dan…juga, beri tahu Aku nomor telepon rumahmu.”
Futaba kembali ke dalam dan menuliskannya di secarik kertas. Dan Sakuta mengambil kertas itu darinya.
“Aku akan meneleponmu jika sudah dapat info. Dan…”
“Diriku yang lain mungkin akan datang ke sini?” ucap Futaba yang mengatakannya terlebih dulu.
Dia tampak gugup. Mungkin karena sedang memikirkan cerita-cerita saat bertemu dengan seorang doppelgänger-nya dan berakhir tragis. Dengan adanya dua Rio Futaba, kita tidak mungkin bisa mengabaikan keduanya, meski cerita itu cuma sebatas mitos atau apa. Tidak ada yang tahu pasti apa yang akan terjadi jika mereka berdua bertemu. Dan dugaan Futaba sendiri sama buruknya.
“Jika itu terjadi…ajak dia bicara.”
“Bahkan jika niatku begitu…”
Sakuta tahu apa yang dimaksud Futaba. Tidak ada yang tahu apa yang akan dilakukan oleh diri Futaba yang lain. Dengan asumsi mereka tentang kenapa diri Futaba yang lain meninggalkan rumah Sakuta, ada kemungkinan kalau situasi ini bertambah lebih buruk. Jika keduanya tidak bisa menjadi satu lagi, maka hanya ada satu dari mereka yang bisa melanjutkan hidup sebagai Rio Futaba. Mereka harus memepertimbangkan adanya kemungkinan kalau kedua diri Futaba sedang berebut untuk posisi itu.
Mempersiapkan diri untuk kemungkinan terburuknya, Sakuta mulai mengayuh sepedanya. Yang bisa ia lakukan sekarang ini hanyalah mencari Futaba yang menghilang sesegera mungkin.
Sakuta awalnya berniat untuk berhenti di Stasiun Fujisawa dan menaiki Enoden untuk ke sekolah tetapi segera memutuskan niatnya.
Karena sedari tadi dirinya sudah sangat basah kuyup, jadi menumpangi kereta api adalah ide yang buruk. Karena seseorang pasti harus membersihkan air hujan yang telah mengguyur tubuhnya di kereta.
Dan juga, ia khawatir akan angin kencang yang terjadi saat ini. Antara angin kencang dan hujan yang lebat, ada kemungkinan besar kalau kereta akan berhenti untuk sementara, dan ia bisa-bisa terjebak di dalam kereta.
Jadi ia meninggalkan rumah Futaba dan langsung mengayuh sepedanya menuju Enoshima.
Terus melaju ke arah selatan sampai tiba di Jalan Raya Rute 134.
Jalan ini membentang di sepanjang pantai.
Dan jalan raya ini memang akan membawanya ke Shichirigahama. Tetapi jaraknya masih lebih dari satu kilometer.
Ada juga angin kencing yang bertiup dari arah lautan. Permukaan air laut juga menjadi gelap gulit dan teluk yang biasanya menahan goyangan air laut yang tenang digantikan dengan deburan ombak tinggi.
Sakuta menyipitkan matanya untuk melawan hujan deras yang mengarah horizontal sampai ia melewati Enoshima. Dan ia bahkan tidak bisa melihat lentera yang seharusnya sudah dipasang di musim panas ini. Mungkin orang-orang sudah lebih dulu menyimpannya sebelum badai ini tiba.
Hembusan angin yang ganas itu menerpa tubuh Sakuta sampai membuatnya hampir terjatuh beberapa kali.
Lalu lintas di jalanan itu juga bisa dibilang sibuk, jadi bisa sangat membahayakan, dan mobil-mobil yang lewat menyemburkan berton-ton air ke arah Sakuta.
“Ah, sial! Badai terkutuk!”
Tidak ada yang mendengarkan kata-katanya, karena suara deru angin yang jauh lebih kuat dari dirinya.
“Aku benci ini!”
Sakuta terus berteriak. Ia juga tidak memperlambat kayuhannya. Begitu ia melihat Shichirigahama di depannya, ia mengayuh pedal sepedanya sambil berdiri yang mana mempercepat laju sepedanya.
“Kau sangat merepotkan, Futaba!”
Sakuta selalu melihat Pantai Shichirigahama setiap harinya, tetapi sekarang ini terasa benar-benar berbeda. Jenis ombak yang selalu ada di pantai ini selalu didambakan oleh para peselancar, tetapi pemandangannya sekarang ini dapat membuat seseorang yang melihatnya gemetaran.
Ia mengabaikan pemandangan itu dan menuangkan sisa tenaga yang ia punya melaju ke jalan yang menuju sekolah.
“Ugh… Argh, rasanya Aku akan muntah…”
Sambil sempoyongan, ia memarkirkan sepedanya di luar gerbang sekolah yang tertutup.
Lalu, ia memanjat gerbang tersebut dan melangkah masuk ke sekolah Minegahara.
Tidak ada seorang pun di sini. Libur obon dimulai dari tanggal 13 Agustus (hari ini) sampai 16 Agustus. Para siswa-siswi tidak diperbolehkan untuk berada di sekolah selama libur obon ini. Sakuta mengira sekolah menempatkan seorang guru untuk berjaga-jaga, tetapi ia tidak melihat adanya hal itu. Pintu utama gedung juga dikunci.
“Jika Aku sudah jauh-jauh datang kemari dan dia tak ada di sini, Aku akan menangis,” gumamnya.
Ia pergi ke belakang gedung yang berada tepat di jendela belakang dari lab sains.
Diri Futaba yang lain juga memberi tahu dirinya tentang kunci jendela yang rusak. Ada di jendela kedua dari belakang.
“Yang ini.”
Sakuta meletakkan tangannya di atas kaca jendela, menariknya ke samping dan kaca jendelanya langsung terbuka.
Ia mengangkat kakinya melewati ambang jendela dan memanjat masuk ke dalam.
“Kau ada di sini, Futaba?”
Tidak ada jawaban.
“Tidak?”
Masih tidak ada jawaban.
Kemudian, Sakuta melepas sepatu dan kaus kakinya. Lalu melepas kaus yang dipakainya dan memerasnya di wastafel. Jumlah air yang cukup banyak keluar dari itu. Sekarang ini hanya tinggal celananya. Karena ia menduga tidak ada orang di sini, ia juga melepas celana dalamnya, dan memeras semua air yang keluar. Rasanya itu seperti sedang menguras air seember penuh.
Ia tidak bisa berkeliaran di sekolah dengan bertelanjang diri, jadi ia memakai kembali pakaian kotornya yang basah. Rasanya menjijikkan tetapi ia tidak punya pilihan lain.
Masalah terbesarnya adalah Futaba yang tidak ada di lab sains.
Futaba yang lain mengatakan kalau dirinya akan berada di sekolah, jadi Sakuta menganggap kalau dia akan berada di sini.
Tetapi kenyataannya tidak.
Mungkin dia tidak ada di sekolah sama sekali.
Tetapi tidak lama setelah pikiran itu terlintas di benaknya, ia menemukan bukti sebaliknya. Ada sebuah ponsel yang tergeletak di meja lab yang ada di dekat papan tulis. Ia mengambil ponsel itu, menyalakan layarnya dan benar saja kalau ponsel itu milik Futaba.
Dia pasti memang datang ke tempat ini beberapa saat lalu. Apakah dia masih ada di sekolah ini itu masih belum pasti.
Mencoba untuk tidak panik, Sakuta pergi mencarinya.
Tetapi ke mana? Ia memutuskan untuk pergi ke ruang kelas siswa-siswi kelas dua sebagai permulaan. Mungkin dia ada di kelasnya.
Saat di tangga, Sakuta melewati ruang kelas siswa-siswi kelas satu. Di SMA Minegahara ini, mereka menempatkan siswa-siswi yang berbeda tahun di lantai berbeda. Siswa-siswi kelas satu mendapat tempat di lantai dasar, sementara kelas dua di lantai dua, dan kelas tiga berada di lantai tiga.
Dan pintu ruang kelas 1-1 agak sedikit terbuka.
“……”
Ruangan itu adalah ruang kelas mereka tahun lalu. Sakuta, Futaba, dan Kunimi menghabiskan waktu bersama di ruang kelas itu.
Sakuta langsung membuka pintunya dan melangkah masuk.
Seseorang sampai melompat karena terkejut dengan aksi Sakuta itu.
Dan orang itu adalah Futaba yang ada di dekat jendela belakang. Duduk di kursi dengan lengan yang ada di lututnya dan menatap Sakuta dengan kaget.
“Azusagawa, kenapa…?”
“Ugh, sangat mengerikan!” ucapnya dan duduk di kursi yang ada di dekatnya. Ia memilih kursi yang jauh dari Futaba, sebuah kursi yang berada tepat di depan podium guru. Ini adalah kursinya saat tahun lalu dan dari kursi itu ia bisa melihat dengan jelas ke arah papan tulis.
“……”
Sakuta bisa merasakan kalau Futaba menatap dirinya dari belakang. Dia sangat jelas menatap langsung ke Sakuta.
Ia sendiri mencoba untuk mengabaikan tatapannya.
“Kemarin…ah tidak, pagi ini. Aku lupa memberitahumu sesuatu.”
“…Apa?”
“Ingin ikut melihat pertunjukan kembang api minggu depan?”
“Huh?”
Kata-kata Sakuta itu tidak seperti yang dia harapkan. Futaba pasti mengira kalau ia akan menceramahinya.
“Pertunjukan Kembang Api Enoshima! Kita tahun lalu juga ke sana, kan?”
“Aku tahu itu, tapi…”
Nada bicaranya terdengar seperti orang yang kesal dan marah padanya.
“Kunimi juga akan ikut.”
“……”
“Kita juga membicarakan tentang apa yang kau sarankan tahun lalu dan menontonnya dari Pantai Kugenuma.”
“Aku…”
“Kau ikut, kan?”
“…Tidak.”
“Kau punya acara lain?”
“Aku akan menghilang.”
Nada bicaranya terdengar seperti sedang memendam emosinya.
“Kau tak akan melihatku lagi. Aku akan menghilang.”
Sikapnya dingin dan tenang.
“Apa maksudmu?” ucap Sakuta sambil menjaga nada bicaranya agar tetap ramah dan menghilangkan kesan suram dari situasi ini.
“Dunia ini tak butuh dua Rio Futaba.”
Dirinya yang lain juga mengatakan hal yang sama. Karena mereka berdua orang yang sama, jadi hal itu masuk akal. Dan fakta itu membuat Sakuta merasa lega. Karena keduanya adalah Futaba.
“Jika Aku menghilang, maka semua ini bisa berakhir.”
“Kau yakin?”
“Diriku yang satu lagi sudah berhenti mengunggah foto-foto seksi, kan?”
“Yeah, katanya begitu.”
“Dia juga tinggal di rumah besar yang kosong itu.”
“Yep.”
“Dia juga pergi ke sekolah tiap harinya, menjaga agar klub Sains tetap berjalan.”
“Terkadang dia membolos untuk menonton Kunimi latihan.”
“Tak ada yang bisa menghentikannya menjadi seorang Rio Futaba.”
Futaba sedang membela dirinya sendiri dengan menyudutkan salah satu bagian dirinya. Mencoba untuk menghapus bagian dirinya itu dengan menutup dirinya. Sakuta tidak bisa membayangkan seperti apa rasanya begitu?
“Anak kelas satu di klub basket juga bilang kalau Futaba yang itu imut. Mereka sampai kesengsem.”
“Berarti sudah jelas. Diriku yang lain jauh lebih bisa menjadi Rio Futaba dibandingkan Aku.”
Satu kepingan lagi mulai terbentuk. Sebuah kepingan dari teka-teki kegundahan hatinya.
“Diriku yang lain adalah bagian dari dunia ini.”
Satu lagi terbentuk.
“Rio Futaba yang lain menjala hidup yang bahagia.”
Teka-tekinya hampir selesai. Tidak, rasanya sudah selesai. Yang tersisa hanyalah…
“Jika Aku menghilang, masalahnya akan selesai.”
…membuat sisa kepingan yang ada.
“Bukan begitu cara menyelesaikan suatu masalah,” ucap Sakuta dengan nada bicara ramah.
“Aku tak salah. Sudah paling benar seperti itu.”
“Tidak, kau membuat kesalahan besar! Yang paling penting malah!”
“Kalau begitu…!” teriak Futaba bersamaan dengan suara bangku jatuh karena dia tiba-tiba berdiri. “Kenapa kau menunjukkanku foto itu?”
“……”
Sakuta menatap ponsel yang ada di tangannya. Foto layar kuncinya diatur menjadi foto dari dirinya dengan Futaba dan Kunimi. Rasanya suling untuk diungkapkan dengan kata-kata, tetapi foto itu menjadi bukti tidak langsung. Sebagai simbol dari persahabatan mereka.
“Tak ada tempat bagiku di sana!” tangisnya dengan suara yang gemetaran. “Harusnya Aku yang ada di foto itu, tapi nyatanya tidak! Apa artinya kalau bukan Aku yang akan menghilang?!”
Sakuta mendengarnya terisak.
“Kau tak butuh Aku lagi. Kau ataupun Kunimi. Kalian berdua lebih suka yang ada di foto itu!”
Karena alasan itu Futaba menangis, pikir Sakuta. Menangis sekeras mungkin seakan dia sudah kehilangan segalanya.
“Kau memang brengsek Sakuta!!!”
Futaba balik memarahinya. Tatapan marahnya sudah pasti ditujukan ke diri Sakuta. Karena ia bisa merasakan tatapan sinis Futaba yang seperti menusuk dirinya.
Tetapi meski begitu, ia menertawakannya.
“Jangan konyol,” balasnya. “Aku tak percaya sekarang ini kau menyebutku begitu, Futaba.”
“HAAAAH?”
“Kau sendiri tahu kalau Aku ini brengsek! Kau selalu menyebutku begitu.”
“…Hanya orang brengsek yang akan mengatakan itu sekarang ini! Azusagawa…!”
Sebelum dia bisa mengatakan hal lainnya, Sakuta memotongnya, “Jadi kita akan menunggumu di Pantai Kugenuma tanggal 19. Kita kan ketemuan jam 6 sore lewat.”
Ucapnya dengan nada yang sama seperti ketika mereka sedang mengobrol bareng di lab sains atau seperti ia sedang menggoda Futaba tentang rasa sukanya dengan Kunimi.
Futaba akhirnya terdiam.
“Cuma itu yang mau kukatakan,” tambah Sakuta.
Ia memasukkan kembali ponsel Futaba ke dalam sakunya dan berdiri. Selama ini, Sakuta terus menatap ke arah papan tulis dan tidak sekalipun menatap balik ke Futaba.
Dan sisanya adalah masalahnya sendiri. Jika dia tidak mengambil uluran tangan Sakuta, ia tidak punya niat untuk melakukan apa-apa lagi. Karena ia tidak punya kekuatan untuk menyembuhkan seseorang yang sudah hampir putus asa. Berpikir kalau dirinya bisa melakukan hal itu hanyalah kesombongan dirinya.
Jadi tidak ada alasan baginya untuk tetap di sini. Ia mulai berjalan menuju pintu masuk kelas.
Tetapi saat ia melakukannya, pandangannya menjadi kabur. Jalannya sempoyongan. Ia bahkan tidak punya waktu untuk menyadari apa arti dari “pusing” sebelum akhirnya jatuh pingsan.
“Azusagawa?!” teriak Futaba yang terdengar sangat jauh baginya.
Dunianya menjadi hitam. Ia tidak bisa melihat apa-apa. Untuk sekilas, ia bisa melihat pola dari lantai ruang kelas, atau mungkin pola di tanah. Tetapi cuma sampai situ saja. Dirinya mulai berhenti berpikir sepenuhnya.
[1] Nananotes: Cool Biz adalah kampanye hemat energi yang ditujukan untuk mengurangi penggunaan listrik saat musim panas di Jepang. Kampanye ini dilakukan setiap tahunnya dengan mendorong para warga untuk mengenakan pakaian sesantai mungkin saat beraktivitas sehingga tidak bergantung ke AC.
0 Comments
Posting Komentar