Adik yang Panik
(Bagian 1)
(Penerjemah : Nana)
Hari itu, hanya ada satu hal yang terpikirkan di benak Sakuta Azusagawa.
Lagi-lagi begini…
Adegan yang tersiar dari layar TV dipenuhi oleh kilatan cahaya kamera.
“Saya minta maaf atas skandal yang saya sebabkan.”
Sosok yang mengatakan hal tersebut adalah mantan idol, seorang wanita yang sudah menikah itu tertangkap basah berselingkuh dengan peragawan muda.
Dia menundukkan kepalanya serendah mungkin dan tetap seperti itu selama sekitar sepuluh detik.
Ketika dia mulai mengangkat kepalanya kembali, sosoknya yang terlihat kecil dihujani oleh kilatan cahaya dan bunyi shutter kamera.
Tanpa sadar Sakuta Azusagawa memikirkan kalau menjadi terkenal itu menyebalkan saat menonton berita yang ada di layar TV.
Ada banyak orang yang berselingkuh atau main mata dari orang yang mereka cintai di penjuru negeri Jepang ini. Tapi tidak satu pun dari mereka yang dipaksa untuk membuka aib mereka terang-terangan di layar TV seperti ini. Mereka tidak dihujani dengan kata kata seperti pelakor, pelacur, ataupun nympho sama sekali. [1]
Wanita yang meminta maaf di layar TV itu terbata-bata menanggapi pertanyaan para wartawan dan tidak sekali pun menatap langsung ke arah kamera. Begitu sudah berakhir, dia kembali membungkuk dan mengulangi pernyataan sebelumnya.
“Saya minta maaf atas skandal yang saya sebabkan.”
Membuat gempar itu rupanya buruk.
Tapi dilihat dari penuhnya tempat itu oleh para wartawan gosip dan fotografer, semuanya senang dengan “Kegemparan” ini. Para wartawan itu harusnya berterima kasih atas penghakiman publik yang wanita itu lakukan untuk keuntungan mereka.
Tapi yang sebenarnya pantas mendapatkan permintaan maaf dari wanita itu adalah suaminya. Dan para staf serta sponsor acara yang dirugikan karena wanita itu harus berhenti secara paksa…dan mungkin juga kepada para penggemar setianya. Begitu harusnya sudah cukup. Dengan menundukkan kepala ke publik---atau siapa pun yang dimaksud dari ‘publik’ ini---bukanlah permintaan maaf yang idealnya ditujukan ke orang yang harus dimintai maaf.
Sakuta sendiri tentu saja tidak peduli. Sudah bukan urusannya kalau artis yang bahkan tidak pernah ia temui berkencan ataupun berselingkuh dengan orang lain.
Kenapa juga ia harus peduli jika karier kerja mantan idola yang hampir berusia 30 hancur?
Ia punya masalah sendiri yang jauh lebih penting.
Saat ini Sakuta sedang duduk di ruang tamu dari tempat tinggal pacarnya. Di lantai kesembilan dari gedung yang mempunyai sepuluh lantai dari apartemen Mai Sakurajima.
Dari tempat duduknya di sofa, ia sedang asyik menonton robot pembersih lantai membersihkan lantai di sekitar dirinya.
Mai sendiri sedang berada di sisi lain sofa, berseberangan dari Sakuta. Tatapan mereka berdua saling bertemu, tapi Sakuta segera memalingkan wajahnya tanpa berkata apa-apa. Bukan untuk menyembunyikan rasa malunya, tapi ia punya pertanyaan ke orang ketiga yang berada di ruangan yang sama dengan mereka.
Yang sedang duduk di sebelah Sakuta adalah seorang gadis dengan rambut pirang yang seusianya.
“Jadi, Mai-san…ada apa ini?” tanyanya ke gadis di sebelahnya.
Meskipun Mai jelas-jelas duduk di seberangnya.
Baik Mai maupun gadis pirang itu tidak terlihat kebingungan dengan aksi Sakuta. Sama sekali tidak terkejut dan gadis di sebelahnya sudah bersiap menjawab pertanyaannya tu.
“Sudah kubilang, kami bertukar tubuh,” ucapnya dengan nada bicara yang persis seperti Mai yang biasanya.
Jadi, bagaimana Sakuta bisa terjebak dalam situasi ini? Mari kita sedikit putar waktunya kembali.
Hari itu tanggal 1 September, Hari Senin. Empat puluh hari dari liburan musim panas telah berakhir, dan sekolah mengadakan upacara pembukaan untuk semester kedua. Sakuta sendiri sudah menantikan untuk bertemu dengan Mai lagi di sekolah.
Karena sekarang dia sudah mulai bekerja lagi, Mai menghabiskan sebagian besar libur musim panasnya dengan bekerja dan Sakuta jarang sekali bertemu dengannya.
Dan buruknya lagi, agensi tempat Mai bekerja melarang mereka untuk berkencan. Bahkan ketika Mai punya waktu luang, mereka tidak diperbolehkan untuk melakukan aktivitas musim panas yang biasanya dilakukan oleh para pasangan muda.
Semester kedua dimulai tanpa dirinya bisa melihat Mai yang memakai pakaian renang sama sekali!
Liburan yang sudah ia nantikan hancur berkeping-keping, tapi…
Mai pernah berkata padanya, “Setidaknya kita bisa berduaan di sekolah.”
Akibat dari itu, untuk pertama kalinya dalam hidup ini, Sakuta bersemangat menantikan tanggal 1 September tiba. Tadi malam Mai bahkan meneleponnya untuk mengatakan, “Sampai jumpa di sekolah besok.”
Tapi begitu Sakuta tiba di sekolah, Mai tidak terlihat saat upacara pembukaan. Setelah selesai kelas, ia mampir ke ruang kelas 3-1 tapi tidak ada tanda-tanda keberadaan Mai.
Tasnya tidak ada di mejanya, yang mengartikan kalau dia tidak datang ke sekolah sama sekali---jadi Sakuta terpaksa harus menyerah dan berjalan pulang.
Dengan perasaan muram saat berjalan pulang ke apartemennya, seseorang keluar dari gedung apartemen yang ada di seberang jalan. Dan orang itu adalah Mai.
Perasaannya sudah senang ketika memanggilnya, tapi balasan Mai membuat Sakuta gelisah.
“Kau siapa?” tanyanya sambil menatap dirinya dengan penuh curiga dan menepis tangan Sakuta dari bahunya.
Mai berusia setahun lebih tua darinya, dan dia bangga akan itu---tidak peduli se-stres apa pun dirinya, dia tidak akan pernah melampiaskan stres itu ke Sakuta.
“Sakuta Azusagawa,” balasnya. “Kau mungkin pernah mendengar tentangku. Dan kebetulan Aku ini pacarmu, Mai-san. Kita memiliki hubungan sempurna yang romantis nan murni bersama.”
“Pfft… Onee-chan tak mungkin berpacaran dengan cowok yang matanya busuk seperti dirimu.”
Hinaan yang terdengar dari nada bicaranya berbeda dari yang biasa.
Penampilannya memang sangat mirip dengan Mai, tapi dari caranya berbicara dan tingkah laku dirinya membuatnya jelas kalau dia ini orang lain.
“Huh?” balas Sakuta. “Kau sendiri siapa?”
Tapi jawaban dari pertanyaannya itu datang dari seseorang yang ada di belakangnya.
“Dia itu Nodoka Toyohama.”
Ia berbalik dan melihat gadis lain muncul dari balik pintu kaca yang ada di gedung apartemen Mai.
Gadis itu berjalan mendekati Sakuta.
Hal pertama yang menarik perhatiannya adalah warna rambutnya yang pirang. Selain itu sebagian besar rambutnya diikat ke sisi kiri kepalanya sama seperti seorang nyonya rumah. Gaya rambut yang diperuntukkan untuk menarik perhatian orang banyak. Riasan wajahnya juga sangat mencolok di sekitar mata---yang mana menunjukkan kalau dia ini orang yang suka berpesta.
Tingginya mungkin sekitar 150 cm. Tinggi rata-rata untuk gadis seumurannya, tapi karena Mai jauh lebih tinggi, gadis ini terlihat pendek jika dibandingkan dengannya.
Tubuhnya juga cukup ramping sampai-sampai bisa membuat gadis lain yang seumuran dengannya iri. Beberapa pria mungkin cenderung menyebutnya sedikit terlalu kurus, tapi sudah jelas kalau tubuhnya atletis, jadi tidak mungkin bisa dibilang lemah atau kurus. Dia juga mengenakan celana pendek dan dari situ Sakuta bisa tahu kalau tubuhnya terbilang bugar daripada ramping.
“Nodoka Toyohama?” tanya Sakuta. Rasanya ia pernah dengar nama itu dan gadis pirang ini juga sepertinya pernah ia lihat entah di mana.
Tapi di mana?
Sakuta menatapnya dengan lama. Lalu jawabannya langsung muncull di benaknya.
“Oh, benar juga.”
Di sampul majalah manga. Ia lupa membuang majalah itu dan sudah berbulan-bulan ada di kamarnya.
Sampulnya itu menampilkan grup idol yang sedang naik daun. Sweet Bullet namanya kalau ia tidak salah ingat. Dan gadis yang tidak ia kenal ini adalah salah satu anggota dari grup idol itu---Nodoka Toyohama.
Satu-satunya alasan kenapa ia mengingat nama itu dikarenakan biodata dirinya yang terisi oleh nama “Mai Sakurajima '' sebagai hal yang disukainya. Untuk itu Sakuta sangat setuju dengan sepenuh hati.
“Tidak, kau itu Nodoka Toyohama,” ucapnya sambil menunjuk ke gadis yang berambut pirang tersebut.
“Jangan menunjuk ke arahku.”
Dia meraih jari Sakuta dan menariknya dengan paksa.
“……”
Rasanya agak aneh. Mulai dari caranya berbicara dan bertingkah laku ke dirinya…bukan seperti orang yang biasanya berinteraksi dengan orang asing. Rasanya ia seperti mengenal dirinya. Dia seperti…Mai…
“Saat ini Akulah Mai Sakurajima,” ucap si gadis pirang itu. “Dan itu Nodoka.”
Dia menunjuk ke arah “Mai.” Jadi gadis pirang itu sebenarnya Mai, dan “Mai” itu adalah Nodoka Toyohama.
Ia memang mengerti apa yang dikatakannya, tapi menerima kenyataannya itu hal yang berbeda.
Kemudian, si gadis pirang itu jinjit dan berbisik ke telinga Sakuta.
“Aku menduga kalau ini Sindrom Pubertas,” ucapnya.
Baik dari suara maupun wajahnya memang bukan Mai, tapi…Sindrom Pubertas memang satu hal yang diketahui oleh diri Mai yang asli.
Kebanyakan orang pasti tidak akan percaya dengan fenomena misterius yang disebut dengan Sindrom Pubertas. Mereka akan menertawakan cerita-cerita yang berhubungan dengan itu seakan cerita tersebut hanyalah mitos belaka. Satu-satunya orang yang menganggap serius fenomena ini adalah orang yang pernah mengalami hal yang sama secara langsung.
“Tapi yang ini sangat berbeda dari kasusku yang hampir menghilang,” ucapnya dengan tegas.
Berarti sudah pasti. Musim semi lalu, keberadaan Mai menghilang dari ingatan orang-orang dan dirinya hampir lenyap sepenuhnya. Dan satu-satunya yang tahu tentang ini hanyalah Sakuta dan Mai…dan juga Rio Futaba, teman yang sering ia mintai saran.
“Jadi kau benar-benar Mai-san?”
“Sudah kubilang.”
Gadis pirang itu tersenyum padanya. Senyuman yang agak sedikit mengejek tapi tetap senyum lembut---sebuah ekspresi yang sering ia lihat dari wajah Mai. Sebuah senyuman yang sangat ia kenal.
“Nodoka, sebaiknya kau kembali ke dalam. Ini bukan mimpi.”
“Huh? Tak mungkin.”
“Terima kenyataannya.”
“Aku harus menerima kenyataan kalau entah bagaimana Aku bertukar tubuh dengan saudariku sendiri?”
Nodoka menunjuk ke arah pantulan dari dirinya di pintu kaca. Dirinya dengan penampilan yang persis seperti “Mai” menunjuk balik. Lalu, dia mulai meraba-raba wajah dan mengelus-elus seluruh tubuhnya.
“Tak mungkin,” ucapnya lagi. “Ini pasti cuma mimpi.”
“Tapi semua yang kau sentuh terasa sangat nyata.”
“……”
“Aku sudah bilang kalau ini bukan mimpi. Hanya…mirip saja.”
“Tak mungkin…maksudku, jika ini bukan mimpi…”
Bibir Nodoka mulai gemetaran. Seperti sedang berusaha mengucapkan sesuatu tapi tidak bisa menemukan kata-kata yang tepat. Setelahnya, dia terdiam kaget. Dia mencoba menggelengkan kepalanya beberapa kali, seolah-olah tidak percaya.
Akhirnya, dia mengucapkan, “berarti…gawat…”
Sebuah hal yang sangat bisa dimengerti dan itu dipicu dari fakta yang tampaknya mustahil untuk dipercayai orang lain. Ketika seseorang itu sedang berada di situasi yang rumit, akan sulit untuk menjelaskannya.
Setelahnya, Sakuta diundang ke apartemen Mai agar mereka bisa membahas ini lebih dalam.
Mereka menaiki lift untuk sampai ke lantai sembilan. Apartemen Mai berada di barisan terakhir dari lantai ini.
Apartemennya menghadap ke selatan sehingga memungkinkan banyak sinar matahari yang masuk ke ruangan. Dia tinggal sendirian, namun apartemennya punya tiga kamar tidur. Akhirnya, Sakuta dituntun ke arah ruang tamu.
Ruang tamunya itu besar dan terbuka dengan dapur counter yang terkesan mewah di belakangnya. Dua buah sofa, sebuah meja kopi, dan meja TV lengkap dengan TV-nya---semua perabotannya ini terkesan minimalis dengan pernis kayu megah yang sama. Dan robot pembersih lantai yang berbentuk seperti UFO sedang membersihkan lantai.
“Mai-san, berapa harga sewamu di sini?”
“Tidak ada.”
“Huh?”
“Aku membelinya.”
“Ohhh…”
Memang masuk akal.
Mai sangat terkenal dan sudah berkecimpung di bidang akting sejak dia kecil. Semua orang di negeri ini kenal dengan sosoknya. Dia pernah bermain dalam film, serial TV, dan berbagai iklan. Memang masuk akal kalau dia mampu membeli sebuah kondominium seperti ini.
“Cuma itu saja?” tanyanya terlihat terkejut. “Kukira kau akan lebih senang jika kuundang ke sini.”
“Jika cuma kita berdua, Aku sudah ada di kamarmu sekarang ini.”
“Jangan mengucapkannya dengan wajah polos begitu!”
“Aku sangat serius.”
“S-sudah…duduk saja. Kuambilkan minuman dulu.”
Karena tidak mau lagi berdebat dengannya, Mai membuka kulkasnya.
Setelahnya, Sakuta duduk manis di sofa. Sesaat kemudian, Mai…tidak, hanya penampilannya saja yang seperti Mai. Nodoka juga duduk di sofa berseberangan darinya.
“……”
Nodoka jelas-jelas masih mencoba untuk mengerti situasi saat ini. Dia menatap bayangan dirinya dari meja kaca dengan ekspresi wajah yang kebingungan.
“……”
Melihat itu, Sakuta memutuskan untuk mengabaikannya.
Agar suasananya tidak hening, Sakuta meraih remote TV. Layar TV itu segera menampilkan sebuah program berita. Seorang mantan idol yang tertangkap basah karena selingkuh sedang dihujani berbagai pertanyaan setelah permintaan maaf resminya.
Setelah semenit menonton berita ini, Mai datang membawa nampan dengan tiga gelas di atasnya. Atau setidaknya, versi diri Mai yang ekstrovert dan berambut pirang ini.
“Jadi, Mai-san…ada apa ini?”
“Sudah kubilang, kami bertukar tubuh.”
Sekali lagi, Sakuta melihat ke arah Mai lalu Nodoka. Atau lebih tepatnya lagi, dari tubuh Mai ke tubuh Nodoka.
“Yah, karena memang sudah begini…”
Percakapan mereka tidak akan maju-maju jika ia mempermasalahkan hal itu.
“Mai-san, apa hubunganmu dengan Nodoka Toyohama?”
Mai memanggil dia dengan nama depannya dan Nodoka juga menyebut Mai, onee-chan, sebelum ini. Jadi ia bisa menebaknya dan tebakannya pasti benar. Tetapi mengingat situasinya, ada baiknya ia bertanya lebih dulu.
“Aku pernah memberitahumu ini sebelumnya, ‘kan? Kalau Aku punya adik dari ibu yang berbeda.”
“Ya, memang.”
Setelah perceraian kedua orang tuanya, ayah Mai menikah lagi dan mempunyai seorang putri dari istri barunya. Mai dan anak itu punya ayah yang sama namun ibu yang berbeda.
Tapi ketika dia memberitahu ini ke Sakuta, ia tidak menyangka kalau adik tiri Mai itu mendekati usia Nodoka. Jika biodata diri yang ia baca memang benar, saat ini Nodoka Toyohama sedang ada di kelas dua SMA yang mana usianya sama dengan Sakuta. Hanya setahun lebih muda dari Mai.
“Ayahku mulai bertengkar dengan ibuku ketika ibu Nodoka sedang hamil,” ucap Mai yang melihat Sakuta dengan wajah kebingungan.
“Jadi kenapa Nodoka Toyohama ada di sini?”
“Dia tiba-tiba muncul di depan pintuku larut malam tadi.”
“Selarut apa?”
“Setelah tengah malam.”
“Ya ampun. Kenapa?”
“Dia bilang tidak ingin pulang ke rumah.”
“Hah.”
Sakuta melirik ke arah Nodoka yang masih menatap pantulan dirinya dari meja kaca sambil memegangi kepalanya dan menggumamkan, “Ini cuma mimpi…”
Ia ingin sekali mendengar alasan langsung dari Nodoka sendiri, tapi yang seperti itu bisa nanti saja.
“Kalau begitu, apa rencananya?” tanyanya kembali menoleh ke arah Mai.
“Kita harus menemukan cara untuk bertukar kembali, tapi kita juga harus punya anggapan kalau kami tidak mungkin akan bertukar kembali dalam waktu dekat ini.”
Sekarang sudah kedua kalinya Mai terlibat dengan Sindrom Pubertas, jadi dia jauh lebih tenang dalam menghadapinya.
“Mm, sudah kuduga.”
Mereka tidak tahu bagaimana harus menyelesaikan masalah ini, apalagi kapan akan selesai. Bahkan secercah dari solusinya mungkin hanya ada di masa depan.
Jika hanya beberapa hari tidak masuk sekolah maka tidak apa-apa, tapi yang seperti itu tidak bisa dijadikan solusi jangka panjang. Pihak sekolah pasti akan memeriksa keadaan mereka pada akhirnya.
Jadi Mai menyarankan kalau mereka harus mencari cara untuk melanjutkan hidup di tubuh baru mereka untuk waktu yang tidak dapat ditentukan---dengan Mai yang berperan sebagai Nodoka, dan Nodoka menggantikan Mai.
Dan semoga saja mereka bisa menemukan suatu cara untuk kembali sesegera mungkin.
“Um,” panggil Sakuta. Nodoka memandang ke arahnya---tapi hanya tatapannya saja yang mengarah ke dirinya. Yang seperti ini bukanlah hal yang biasanya Mai lakukan. Tidak peduli semirip apa pun dirinya dengan Mai Sakurajima dari penampilan luarnya, Sakuta bisa tahu kalau ada hal yang berbeda.
“Apa?”
Suaranya memang seperti Mai tapi tidak dengan nada bicaranya. Gadis ini jauh lebih waspada---sementara Mai yang asli selalu terdengar lebih percaya diri.
“Kau punya petunjuk?” tanya Sakuta yang memutuskan untuk langsung membicarakan inti dari masalahnya.
“Petunjuk?”
“Seperti kenapa kau bisa bertukar tubuh dengan Mai-san ku.”
“Aku ini bukan punyamu,” Tangan Mai terulur mendekati dirinya dan mencubit pipinya. Saat ini dia mungkin terlihat seperti gadis pirang yang aneh, tapi sensasi cubitan yang dirasakannya itu memang berasal dari Mai. Hal ini melegakan buatnya.
“Entahlah.”
“Okee…”
Sakuta memang tidak berharap banyak, jadi ia tidak begitu kecewa juga.
“Tapi tunggu…”
“Mm?”
Mai dan Sakuta menatap ke arah Nodoka dengan wajah bingung.
“Kenapa kalian berdua tak terlihat panik sekarang ini?”
Tatapannya beralih dari Sakuta ke arah Mai, mencoba untuk mencari jawabannya. Tatapan mata Mai dan Nodoka saling bertemu.
“Ah!” seru Nodoka dan langsung merubah pertanyaannya dengan kata-kata yang lebih formal, “Mengapa kalian berdua begitu tenang?” Postur tubuhnya juga berubah seperti sedang wawancara kerja sehingga menjadikan suasana canggung yang lebih terasa.
“Aku tidak tahu apa yang kau maksud, Nodoka,” ucap Mai yang tidak mengubah sikapnya sedikit pun.
“M-maksudku…kita bertukar tubuh! Yang. Kaya. Gitu. Gils! ‘Kan?” [2]
“Memang benar.”
Mai mengangguk untuk membenarkan maksud perkataannya tapi…pada akhirnya dia tetap tenang. Dia juga meminum teh hijau dengan santainya.
Nodoka yang melihat itu hanya berkedip padanya dan berkata, “Cuma itu saja?”
“Mm-hmm.”
“Mm-hmm? Apa onee-chan tak keberatan dengan situasi ini?!”
“Tentu saja tidak, tapi nyatanya sudah terjadi. Kita tidak tahu cara untuk bertukar tubuh kembali, jadi apa yang bisa kita lakukan? Kita harus cari cara bagaimana mengatasi situasi yang ada saat ini.”
“Benar…sih, tapi…”
“Dan mengingat betapa ‘Gils’ situasi yang ada, kita tidak bisa meminta bantuan orang lain. Tidak mungkin ada yang akan percaya dengan kita. Bahkan jika memang ada yang percaya, kita hanya akan jadi makanan para wartawan gosip, dan mereka akan melupakan kita begitu penonton mereka bosan. Kau tidak mau hal itu terjadi padamu, ‘kan?”
“…Tidak.”
“Jadi sampai kita bisa kembali ke tubuh masing-masing, Aku harus menjalani hidup sebagai Nodoka Toyohama dan kau harus menjadi Mai Sakurajima. Cuma itu caranya.”
“……”
“Apa ucapanku tidak jelas?”
“…Tidak, sudah jelas.”
Nodoka menunduk murung seakan tidak berani menatap ke arah Mai langsung. Dia mungkin bukan Mai yang asli, tapi Sakuta belum pernah melihat “Mai” sesedih ini dan ia sangat ingin mengabadikan momen ini. Namun sayangnya, karena Sakuta tidak punya ponsel, ia tidak punya akses untuk melakukannya.
“Kalau sudah paham, mari kita bahas jadwal kita. Aku ambil buku catatanku dulu.”
Mai berdiri dari tempat duduknya.
“Er, tunggu, onee---M-Mai-san.”
“…Apa lagi?”
Mai sudah pasti punya alasannya sendiri tentang cara Nodoka meralat perkataannya, tapi dia dengan sengaja tidak membicarakan masalahnya. Sama seperti dia mengabaikan perubahan mendadak dari nada bicara yang menjadi lebih formal sebelumnya. Dia jelas-jelas memilih agar adiknya sendiri yang menyelesaikan masalahnya sendiri itu. Sakuta penasaran kenapa dia memilih itu tapi memutuskan untuk melakukan hal yang sama untuk saat ini.
“Sebelum kita membahas jadwal kita, boleh Aku bertanya satu hal?”
Tatapan Nodoka melayang dari arah Sakuta ke Mai dan kembali ke Sakuta lagi. Sebelum dia bisa menanyakannya, pertanyaannya sudah jelas tertebak.
“Apa kalian berdua benar-benar pacaran?”
Sakuta memang menduga hal ini, tapi tatapan mata darinya jauh lebih membuatnya gelisah dari yang sudah diduganya. Dia terlihat sudah siap untuk memenggal kepalanya.
“Ya, kami memang pacaran,” ucap Mai mengakuinya secara resmi.
Nodoka semakin menunjukkan wajah tidak sukanya.
“Tak masuk akal!” ucapnya. “Aku mengakui kalau Aku memang memberi Sindrom Pubertas ini ke onee-chan tanpa kusadari, tapi tak mungkin cowok ini pacarmu!”
“Apa Aku tak sepantas itu?”
“Kau terlihat seperti zombie! Cowok sepertimu hanya berpacaran dengan Mai Sakurajima yang terkenal dalam mimpi!”
Dia terlihat sangat kesal, semua nada bicara formal yang diucapkan sudah tidak terdengar lagi. Yang seperti ini pasti sikapnya yang biasa.
“Aku senang bisa menjadi simbol dari semua cowok yang membosankan.”
Sementara itu, Mai terlihat benar-benar terkejut dengan perkataan Nodoka.
“Nodoka,” panggilnya dengan nada agak kesal.
“……Ya?”
Nodoka segera sadar lagi, kembali ke sikap sopan yang sebelumnya.
“Jangan menjelek-jelekkan pacarku,” ucap Mai sambil mengerutkan bibirnya.
Sakuta tidak menduga kalau dia akan membelanya, dan dirinya sendiri tidak bisa berhenti tersenyum.
Mai mencubit paha Sakuta untuk menegurnya. Agak sedikit sakit rasanya, pikir Sakuta.
“Meski wajah Sakuta memang benar selalu terlihat lesu, tapi ada beberapa hal yang seharusnya tidak kau katakan tanpa ada bukti.”
“Mai-san, kurasa kau juga seharusnya tak menyebutkan hal itu.”
Senyuman di wajahnya langsung hilang seketika.
Menggoda Sakuta tampaknya sangat menyenangkan buat Mai. Memujinya setinggi mungkin hanya untuk menjatuhkannya lagi. Sama seperti sikap Mai yang seperti Yang Mulia Ratu biasanya. [3]
“Kalau begitu, kembali ke jadwal.”
“Baik…”
Nodoka dengan enggan ikut mengangguk. Sekarang ini dia menatap Sakuta seolah-olah dirinya sudah membunuh orangtuanya, tapi karena penampilannya sekarang ini seperti Mai, hal ini sangat menyulitkan baginya…karena tatapan seperti itu membuatnya terangsang.
“Hapus senyum mesum itu dari wajahmu, Sakuta,” ucap Mai sambil menampar pipinya dengan pelan. Lalu, dia berjalan ke kamar sebelah.
Sakuta berusaha untuk mengikutinya, tapi dia membentaknya dengan, “Kau duduk saja di situ,” dan akhirnya ia dipaksa untuk duduk kembali.
“Aku cuma mau membuka satu lemari saja, cuma itu saja,” ucapnya.
“Enak saja.”
“Aww.”
“Mungkin kalau kita cuma berdua,” keluh Mai dengan dramatis. Seperti sudah tidak tahu lagi apa yang harus dia lakukan tentang Sakuta.
Dia tidak berencana membiarkan Sakuta untuk melakukan apa pun. Sayang sekali, pikirnya. Meskipun pada akhirnya dia mengundang Sakuta ke apartemennya…
Tetap mengabaikan Sakuta yang kecewa, Mai dengan cepat berjalan menuju kamar tidurnya. Dia kembali sambil membawa buku catatan dengan gambar kelinci di bagian sampulnya.
“Um,” seru Nodoka.
“Mm?”
“Tentang hal ini---tak mungkin Aku bisa berpura-pura menjadi dirimu, Mai-san.”
“Kenapa tidak?”
“Aku yakin teman-temanmu akan langsung menyadarinya.
Maksudnya memang masuk akal. Tapi hal ini bukan masalah buat Mai.
“Kalau itu…tidak akan jadi masalah kalau di sekolah,” ucap Mai dengan canggung.
“Huh?”
“……”
“Mai-san tak punya satu pun teman,” Sakuta menjelaskan.
“Ap---?!”
“Kau sendiri juga sama,” bentak Mai padanya. Mungkin dia ingin tetap merahasiakan hal tersebut.
“Aku punya beberapa! Ada tiga malah.”
“Bukannya cuma tambah satu dari yang terakhir kali?”
“Ada Kunimi dan Futaba juga, tapi akhir-akhir ini Aku juga berteman dengan Koga.”
“Hah,” seru Mai seolah-olah tidak peduli sama sekali.
“Uh…cuma begitu saja?”
“Tidak ada pria yang berani-berani selingkuh dariku.”
Sangat percaya diri dan anggun seperti biasa. Selain itu juga perkataannya memang benar, jadi ia hanya bisa mengangguk.
“Balik ke intinya. Setidaknya, berpura-pura menjadi diriku di sekolah itu hal yang mudah. Hanya perlu hadir, duduk di kursiku, jalani kelas seperti biasa, dan langsung pulang begitu selesai. Tidak perlu berbicara ke siapa pun juga.”
“…B-baik.”
Nodoka hanya mengangguk sambil masih memahami harus bagaimana. Karena yang seperti ini tidak cocok dengan kesannya tentang siapa Mai sendiri. Mengingat betapa terkenalnya Mai, Nodoka pasti mengira kalau kakaknya juga populer di sekolah dan di kelas…
“Um…Aku juga sama kalau di sekolah,” dia membenarkan.
“Oh?”
“Semenjak debutku tahun lalu, Aku tak punya waktu untuk mengobrol dengan siapa pun di sekolah… Aku hanya tak bisa mengikuti apa yang teman sekelasku bicarakan di grupku. Awalnya, mereka biasanya memberitahuku tentang apa yang kulewatkan, tapi ketika hal itu terus terjadi lagi dan lagi, rasanya jadi canggung… Lalu kami ada di kelas yang berbeda saat kelas dua dimulai, dan Aku sudah mewarnai rambutku setelah libur musim semi dan jadi sangat mencolok perhatian, jadi…harusnya tak masalah.”
“Kau masuk ke Akademi Ouyou, ‘kan?”
Bahkan Sakuta tahu nama sekolah itu. Karena merupakan nama sekolah khusus perempuan yang terkenal di Yokohama. Sekolah gabungan dari SMP dan SMA. Jika Nodoka berhasil lulus ujian masuk di SMA seperti itu, dia pasti cukup pintar. Tapi di sekolah khusus perempuan yang aturannya ketat seperti itu, rambut pirangnya akan sangat mencolok.
“Tapi yah gimana ya…,” ucap Sakuta lalu terdiam karena bimbang dengan apa yang mau ia katakan.
“Ada apa?”
“Kalian berdua tak punya teman sama sekali? Rasanya sangat menyedihkan.”
“Biar kuperjelas, Aku mungkin memang tidak punya teman di sekolah, tapi Aku punya banyak kalau di tempat kerja,” ucap Mai. Tapi rasanya terdengar seperti sedang beralasan. Meski Nodoka menganggukkan kepalanya.
“Kau yakiiiiin?” tanya Sakuta.
“Kau memang lucu ya, Sakuta.”
“Seperti siapa? Ada yang kukenal? Jika sama aktor ganteng, Aku melarangmu.”
“Terutama, Aku kenal dekat dengan idol gravure Yurina Yamae dan model Millia Kamiita.”
Sakuta mengenal kedua nama itu. Yurina Yamae sendiri banyak muncul di sampul majalah manga mingguan, dan Millia Kamiita adalah model birasial yang akhir-akhir ini sering tampil di banyak acara TV.
“Kami saling SMS-an tiap hari, dan baru saja makan siang bareng minggu kemarin. Mereka berdua juga pernah menginap di tempatku. Sudah lega karena bukan aktor tampan?”
“Tolong jangan pernah berteman dengan cowok,” ucap Sakuta.
Saat Sakuta mengatakan hal tersebut, ia berbalik menghadap Nodoka karena merasa dia sedang menatapnya.
Namun tatapannya lebih seperti melotot. Seperti sedang menunggu untuk berbicara tentang bagiannya.
“Aku punya banyak teman di SMP dulu! Aku juga masih sering main dengan mereka! Belum lama ini Aku baru pergi main!”
Suaranya terdengar sama seperti kakaknya.
“Dan Aku juga sangat dekat dengan anggota lain di grup idolku. Sudah puas?”
“Tentu, tentu. Kesimpulannya, karena tak punya teman di sekolah kita bisa untung kali ini, jadi kita sebut saja berita baik.”
Begitu Sakuta selesai mengucapkan hal ini, Mai menusuk dahi Sakuta dengan jarinya.
“Untuk apa itu?”
“Karena kau jadi sombong, jadi Aku melatihmu agar tidak jadi seperti itu.”
“Kalau begitu kuterima dengan senang hati.”
“Hah?” Nodoka menatapnya seperti sedang melihat tempat sampah.
“Baiklah, sekolah tidak jadi masalah…tapi lain halnya dengan pekerjaan.”
Mai Sakurajima adalah seorang aktris sementara Nodoka Toyohama seorang idol. Jadwal pekerjaan mereka jauh lebih rumit masalahnya.
“Cuma ini jadwalku,” ucap Mai sambil meletakkan buku catatannya di meja. Jadwalnya sendiri bisa dibilang lengang. Sangat mengherankan mengingat dia punya sedikit hari libur saat bulan Agustus. “Mereka mengatur ulang jadwal untuk acara TV, dan syuting untuk bagianku sudah semuanya selesai saat liburan.”
Sisanya hanya pekerjaan seperti pemotretan untuk majalah fashion dan beberapa wawancara terkait. Ada juga syuting iklan untuk beberapa hal.
“Jadwalku kubuat lebih lengang untuk semester kedua ini karena ada yang merasa kesepian kalau tidak.”
“Meski kita bisa saling ketemuan, jika kita tetap dilarang kencan, maka tak ada gunanya.”
Keluhan Sakuta itu tidak diindahkan.
“Kau pernah ikut pemotretan sebelumnya, ‘kan?” tanya Mai. “Kau yakin bisa?”
Rupanya, Mai tidak mengindahkan ajakannya untuk bermesraan sekarang ini. Ia kembali mengalihkan perhatiannya ke Nodoka.
“Kurasa bisa…,” ucap Nodoka. Dia tidak terdengar percaya diri didengar dari jawabannya.
“Untuk wawancara, mereka akan mengirimkan pertanyaannya dulu, jadi kita bisa siap-siap untuk hal tersebut.”
“Sedangkan syuting iklan…”
“Ini naskah dan storyboard-nya.”
Mai meletakkan enam atau tujuh halaman naskah dan storyboard yang sudah dijadikan satu di atas meja. Ketika Nodoka tidak meraih kertas-kertas itu, Sakuta mencoba membacanya karena penasaran.
“Oh!” serunya karena terkejut---lokasi syutingnya ternyata tempat yang ia kenal. Ada di salah satu stasiun dari jalur kereta Enoden, yang mana ia dan Mai lewati setiap harinya untuk ke sekolah. SMA Minegahara berada di Stasiun Shichirigahama, dan lokasi syutingnya kali ini berada di satu stasiun sebelumnya, Stasiun SMA Kamakura.
“Sutradara kali ini selalu ikut naskah, jadi harusnya tidak susah. Kau pernah ikut sanggar seni sebelum bergabung ke agensi idol, ‘kan?”
“……”
Hanya bisa menatap tangannya lekat-lekat, Nodoka berhasil mengangguk setuju. Dia benar-benar terlihat putus asa. Sangat suram bahkan. Dia mungkin memang punya kemampuan untuk berakting, tapi sangat jelas terlihat kalau dia takut karena tidak mungkin dia bisa menjadi pengganti Mai Sakurajima.
Jika Sakuta saja mengerti hal ini, maka Mai jauh lebih sadar tapi dia tidak terlihat peduli sedikit pun. Dia dengan entengnya membicarakan topik berikutnya.
“Aku akan kesulitan mempelajari lagu dan koreografi tarianmu.”
Sementara jadwal Nodoka Toyohama sendiri sangat padat. Para anggota Sweet Bullet harus ikut latihan menyanyi dan menari setiap harinya. Ditambah dengan konser mini setiap akhir pekan di mal atau acara tertentu. Mereka hanya menampilkan dua atau tiga lagu di acara-acara seperti ini, tapi itu berarti Mai harus hafal setidaknya tiga lagu dalam waktu seminggu.
Dan di minggu terakhir bulan September, mereka menggelar konser solo di salah satu tempat di Shibuya.
“Apa kau pernah menari, Mai-san?” tanya Nodoka.
“Apa kau punya rekaman dari sesi latihanmu?”
“Ya.”
Nodoka meraih tas yang dibawanya---sebuah tas duffel yang ukurannya cukup besar untuk menampung pakaian ganti. Dia mengeluarkan tiga buah kaset yang berlapis plastik transparan---kemungkinan kaset DVD.
“Ini,” ucapnya sambil memberi hal itu ke Mai dengan kedua tangannya.
“Makasih.”
Mai bangkit dari tempat duduknya dan memasukkan salah satu kaset itu ke pemutar DVD-nya. Karena Sakuta masih memegang remote TV, jadi ia kembali menyalakannya. Mai menatapnya dengan penuh rasa terima kasih. Ia lalu mengganti input TV ke HDMI. Akhirnya ada suara yang muncul keluar dari pengeras suara yang terpasang. “Apa sudah nyala?” “Oke, mari kita mulai.”
Sesaat kemudian, layar TV-nya menyala. Menunjukkan suasana studio tari di suatu tempat. Dengan lantai kayu dan cermin yang ada di temboknya, tempat itu terlihat seperti gym.
Nodoka dan anggota Sweet Bullet lainnya berbaris.
Semuanya secara bersamaan mengambil napas dalam-dalam.
Musik dengan tempo cepat mulai terdengar, dan ketujuh anggota Sweet Bullet mulai menari dengan irama yang kompak.
Sambil menontonnya, Mai dengan cekatan mengambil ancang-ancang ringan dan mulai menggerakan tangan serta tubuhnya. Karena dia mengikuti gerakan yang ada di layar TV, dia tertinggal satu langkah di belakang, tapi dia mengikuti semua gerakan yang ada dengan begitu mudahnya sehingga Sakuta sudah tidak khawatir lagi.
Terlihat ada sedikit keringat keluar dari keningnya. Dadanya juga naik-turun karena terengah-engah. Lalu dia berbalik menghadap Sakuta dengan tampak puas atas usahanya.
“Yang asli jauh lebih anggun,” ucap Sakuta.
“Aku bisa tahu betapa terkejutnya dirimu.”
“Ah, Aku ketahuan. Aku memang sangat terkesan.”
Ucapannya memang sungguhan. Mai biasanya bersikap bijak dan tenang. Bahkan jika dia akan ketinggalan kereta, dia tidak akan pernah terburu-buru. Sakuta juga belum pernah melihatnya melakukan hal yang atletis. Jadi ia tidak menyangka kalau dia bisa mengikuti koreografi tarian dari seorang idol secepat ini.
“Aku pernah latihan menari ketika masih belajar di sanggar seniku,” ucap Mai yang tampak senang dengan balasan Sakuta.
“Jadi bukan hanya berakting, kalau begitu?”
“Yep. Sanggar seniku juga mencakup tentang berakting, menari, dan menyanyi. Mereka punya banyak kelas musik, jadi…”
“Oh, masuk akal kalau begitu.”
Mai menyeka keringatnya dengan lengan bajunya, lalu meminum sisa tehnya.
“Kau sudah boleh pulang sekarang, Sakuta,” ucapnya.
“Huh?” Kenapa?”
Ucapannya sangat tiba-tiba sekali dan kali ini Sakuta tidak menduganya. Padahal ia akhirnya mengunjungi rumah Mai! Ia ingin menghirup udara di ruangan ini selama mungkin. Atau meyakinkan Mai untuk menunjukkan ruangan lain selain ruang tamu ini.
“Aku banyak berkeringat, jadi Aku ingin segera mandi.”
“Aku sangat ingin melihat dirimu setelah mandi.”
“Tapi ini tubuh Nodoka, jadi tidak boleh.”
“Selama kau yang ada di dalamnya, Aku tak begitu peduli dengan itu.”
“Tapi Aku peduli. Ayo cepat, keluar dari sini. Kaede sudah menunggumu, ‘kan?”
Sakuta melihat ke arah jam; sekarang ini sudah hampir tengah hari. Waktunya untuk makan siang. Mai memang benar; adiknya, Kaede, pasti sudah mulai lapar karena ia belum pulang.
Menyerah untuk melihat Mai setelah mandi, Sakuta bangkit dari duduknya.
“Kalau begitu, besok kita ketemuan di bawah jam 7:50.”
“Akan kupastikan kalau Toyohama sampai ke sekolah,” ucapnya sambil berjalan ke arah pintu depan. “Sampai jumpa besok,” tambahnya sambil memakai sepatunya.
Saat berjalan menuju lift, ia dipanggil dari belakang.
Mai juga memakai sandal dan mengikutinya setelah pintu apartemennya tertutup di belakangnya.
“Ciuman selamat tinggal?”
“Tidak.”
“Kalau begitu…”
“Uh, Sakuta…misalnya saja jika…”
Mai mengalihkan pandangan darinya dengan gugup.
“Jika kau tetap seperti ini selamanya, Aku hanya harus menerimanya dengan lapang dada.”
“Pacaran dengan penyanyi idol asli?” ucap Mai sambil tertawa. Tapi rasa cemas yang dipancarkannya sudah menghilang. “Perlu kuperjelas, kau tidak boleh melakukan apa-apa ke tubuh Nodoka.”
“Aww.”
“Kau yakin bisa menerima ini selama sisa hidup kita?” Mai menatapnya dengan senyum nakal. Senyuman percaya diri yang sama ketika dia sedang menggodanya.
“Tak kukira bakal bisa begitu.”
“Jangan memusingkan detailnya.”
“Tapi itu intinya!”
“Jaga dia besok ya,” ucap Mai yang tiba-tiba serius lagi.
Hanya ada satu balasan yang tepat untuk permintaan seperti itu.
“Apa Aku akan dapat hadiah kalau kau sudah kembali ke tubuhmu?”
Akhirnya liftnya tiba, dan Sakuta memasukinya.
“Jika memang sudah,” ucap Mai dengan sangat tegas. Seolah-olah dia hampir yakin kalau masalah ini tidak akan terselesaikan dalam waktu dekat ini.
Tapi kemudian dia tersenyum lembut ke arahnya, dan pintu lift akhirnya tertutup.
“Jika Mai-san yang ada di dalamnya, apa kencan dengan seorang idol diperbolehkan?” gumamnya dengan keras saat lift meluncur turun.
Ia sudah mengetahui jawabannya sebelum liftnya tiba di lantai bawah dan jawabannya adalah, “Tentu saja.”
Nyatanya, Mai hanya terlihat seperti Nodoka sekarang ini. Tidak ada gunanya memikirkan hal lain. Kekhawatirannya tidak akan menyelesaikan apa pun.
Jika ia harus merasa khawatir, pastinya tentang hal yang jauh lebih penting. Seperti harus masak apa dirinya untuk makan siang.
Lift tersebut akhirnya berhenti, dan bunyi pintu terbuka dapat terdengar.
“Nasi goreng?” gumamnya sambil mengingat tentang nasi sisa yang ia taruh di bagian belakang kulkas.
[1] Nananotes: Nympho atau nymphomaniac itu gampangnya orang yang punya hasrat besar untuk seks setiap saat. Biasanya kita panggilnya slut atau pelacur. Ngga cuma cewek doang yang punya kecenderungan ini tapi cowok juga bisa. Contohnya kaya di Teisou Kannen Zero & Okane Daisuki -Otokonoko ver.- ( ͡° ͜Ê– ͡°)
[2] Nananotes: Gils itu bahasa gaul dari gila, dari raw-nya juga pake kata Bonkers! yang artinya gila dalam bahasa gaul di British sana.
[3] Nananotes: Yang Mulia Ratu itu bisa merujuk ke panggilan dari cewek cantik yang badass tapi kalo di konteks ini lebih mengarah ke istilah S&M. Antara Sang Ratu (S dari Sadist) dan Pelayan (M dari Masokis), meski sekarang udah jarang nyebut gitu dan diganti dengan Mistress-slave. Di Jepang sendiri banyak kok klub S&M gitu jadi memang sudah umum istilah Ratu gini buat golongan tertentu.
0 Comments
Posting Komentar