Bab 1 - Aku ingin menjadi petualang
Penerjemah: Zerard | Proofreader: Yon
“GOOOROGGB?!”
Sebuah belati, senyap di dalam kegelapan, memprovokasi sebuah jeritan dari goblin seraya dia tersungkur ke tanah. Jeritan kematiannya bergema di keseluruhan gua, membuat goblin lain berkumpul.
Benar-benar sudah terbiasa dengan keributan seperti ini sekarang. Pikiran itu terlintas pada Dwarf Shaman seraya dia memperhatikan kegelapan dengan siaga.
“Satu…!” Petualang lainnya, menggunakan armor kulit kotor dan helm baja yang terlihat murahan, sudah bergerak bagaikan panah.
“Ha! Lambat!” Sebuah panah beneran—benar, tidak kurang dari tiga—melesat melewati petualang itu.
“GBOOBB?!”
“GOBBG?! GORBG?!”
“GRBBGORG?!”
Mereka menghilang begitu dalam di dalam gua hingga bahkan sang dwarf tidak dapat melihat mereka, namun tidak lama kemudian tiga goblin berbeda berteriak. Ketika seorang high elf menggunakan busurnya, tidak ada yang dapat melarikan diri.
“Heh…!” High Elf Archer berkata, membusungkan dadanya bangga seraya dia mencuri lirik mengarah Dwarf Shaman. Sang shaman mendecakkan lidahnya, wanita itu bertingkah bagaikan anak kecil.
Si keras kepala itu yang membuatku menahan hasrat ingin memberikan gadis itu pujian, dia berpikir. Sementara itu, Goblin Slayer, sudah mulai mengambil senjata dari korban pertamanya di tangan dan mengincar sasaran berikutnya. Dapat terdengar gumaman darinya “Dua” dan “Tiga,” artinya enam dari sepuluh goblin yang muncul telah dibasmi. Akan tetapi…
“Sarang seukuran ini, sepertinya kita nggak akan punya kesempatan untuk beraksi, eh, Scaly?”
“Sungguh disayangkan sekali,” setuju petualang besar di sampingnya. walaupun nada mereka ringan, namun bukan berarti mereka berhenti memperhatikan sekelilingnya dengan siaga. Lizard Priest merinding hebat, menggelengkan kepalanya dan menambahkan, “Dengan musim dingin yang kian mendekat, saya harus banyak menggerakkan tubuh saya, jika tidak saya akan melemas.”
Bahkan Dwarf Shaman, yang telah mengenal priest ini dalam waktu cukup lama, tidaklah yakin apakah dia sedang bercanda atau tidak. Itu karena, para lizardmen memang terkenal dengan kekuatan mereka di dalam pertarungan dan juga kelemahan mereka dengan dingin.
Tapi juga, Aku mengira dia pernah bercanda kalau dia itu berdarah panas dulu… tidak, tunggu. Bukankah bahkan tikus konon berhibernasi dalam musim dingin?
“Mungkin, tapi setidaknya kita dapat menghemat keajaiban kita…” Sang gadis muda yang menyembah Ibunda Bumi tampak sama tidak yakinnya mengenai betapa seriusnya Lizard Priest, dia tersenyum ambigu. Gadis itu tampak jelas sangat berani di dalam gua gelap di bawah sini, dan dia tampak tidak takut. Dia menggenggam tongkat deriknya dengan erat dan terus menggerakkan matanya. Dia sudah terlihat seperti petualang professional. Dwarf Shaman sudah mengenal baik gadis itu, dia mengingat, ketika gadis itu masih Porcelain, gadis itu telah tumbuh dan menjadi sedikit lebih dewasa.
Itulah mengapa mereka di sebut strider—artinya manusia membutuhkan langkah yang panjang, pikir Dwarf Shaman. Para dwarf berumur panjang—namun tidak sepanjang elf—namun terkadang manusia dapat membuat dirinya terkesan.
Priestess menyadari Dwarf Shaman memperhatikan dirinya dan menatap balik bertanya. “Ada apa?”
“Nggak pa-pa” Dwarf Shaman berkata dengan tawa. “Cuma menikmati istirahat kecil!” Dia meneguk panjang kendi fire wine yang bergantung di pinggul. Rasanya menyenangkan bisa menyelinap ke dalam sarang goblin.
Tapi aku nggak boleh terbawa suasana. Dia memegang beberapa batu yang berada di sekitarnya dan berkata, “Hei, Beardcutter. Ada terowongan di sini!”
“Hrm!” Jawaban dari baris depan itu sangatlah cepat. “Tahan garisnya.” Goblin Slayer dengan santai meremukkan kepala seekor goblin (Dwarf Shaman sudah tidak mengetahui hitungan goblin ke berapa ini) dengan kapak goblin, kemudian datang berlari.
“Tunggu, apa?! Oh yang…!” High Elf Archer, di tinggal untuk menangani garis depan sendirian, tampak keberatan, namun sepertinya dia tidak terlalu bermasalah dengan itu. Apakah ini sebuah tanda dari kepercayaannya kepada Goblin Slayer atau hanya sekedar merasa enggan? Yah, mari anggap saja yang pertama.
Dwarf Shaman membelai jenggotnya. Pria muda ini dengan helmnya memang terkadang aneh. “Dia bilang tahan, dan aku yakin kamu bisa.”
“Terowongan. Apa ada goblin?”
“Itu yang akan kita cari tahu, kan?”
Goblin Slayer mendorongkan obornya ke dalam ruangan itu. Mereka menemukan bahwa ini bukanlah lubang yang sempurna, sebuah celah bergerigi yang terlalu sempit untuk seseorang lewati, namun para goblin dapat melewatinya dengan mudah.
“Oh, lihat…!” Priestess menyadarinya sebelum Goblin Slayer: sebuah kain tersangkut di antara bebatuan, tercabik dan bernoda dengan sesuatu yang mengerikan dan gelap. Dia mengambilnya dengan perlahan dan memperhatikannya.
“Questnya tidak mengatakan kalau ada tahanan,” Goblin Slayer berkata muram.
Ada sebuah petualangan stereotipikal. Goblin telah muncul di dekat sebuah desa. Mereka masih belum melakukan kerusakan besar, namun para warga ingin mereka segera ditangani secepat mungkin. Mengirimkan beberapa kumpulan pemuda berkepala panas hanya akan semakin membuat para goblin semakin berbahaya, itulah apa yang telah dikatakan kepada party mereka. Itu masuk akal, dan di sana tidak terlalu banyak goblin. Ini akan cocok untuk petualang pemula, mereka mengetahui di kala mereka masuk ke dalam. Ini bukanlah sesuatu yang biasanya akan ditangani oleh party empat orang bertingkat Silver dan seorang Sapphire.
Tapi ya, memang begitulah Beardcutter. Dia dan rekannya sangatlah rendah hati untuk menangani quest ini. Dwarf Shaman mengangguk. “Banyak orang berkelana sendiri, karena pilihan atau kebutuhan. Peziarah, penyair, pedagang.”
“Bagaimana dengan yang di sana…?” Priestess bertanya apakah Goblin Slayer menemukan seseorang di bagian lebih dalam dari gua, namun pria itu menggelengkan kepalanya. “Nggak ada apa-apa.”
“Mereka dulunya Cuma seekor goblin, dan sekarang mereka cuma mayat! Gah, aku bosan dengan ini!” High Elf Archer berteriak, sekali lagi menembakkan panah dari busurnya sebelum berkumpul dengan grupnya dengan kesal. Sangatlah jelas kalau dia sangat tidak senang, namun itu hanya masuk telinga kanan dan keluar telinga kiri bagi Goblin Slayer.
“Ada berapa di sana?”
“Cuma kamu aja yang mau repot-repot menghitung, Orcbolg!”
“Begitu.” Dia mengangguk tanpa adanya reaksi lain, yang mengundang dengusan elegan dari sang high elf.
“Jadi kita masuk?” dia mengangguk ke arah robekan batu. Bebatuan dan bumi seharusnya menjadi spealitas kaum dwarf, namun sang high elf sama sekali tidak keberatan dengan ide itu. Seperti itulah makhluk keturunan dari Jaman para Dewa.
Mungkin kalau kita mempunyai dwarf agung, kuno Hylar di sini, semua akan berbeda.
Dwarf Shaman berpikir, mengeluarkan botol anggurnya dan kemudian mengintip ke dalam celah bersama High Elf Archer. “Kurasa kita harus ekstra hati-hati dengan ini.” Mematuhi nasehatnya sendiri, dia mengetuk dinding bebatuan dengan perlahan, merasakan kerikil yang longgar di tangannya. “Bebatuannya tipis di sini. Satu pukulan yang bagus dan ini akan runtuh.”
“Jadi maksudmu akan lebih baik bagiku untuk tinggal di sini dan menjaga jalan masuknya,” Lizard Priest berkomentar, mengangguk sigap.
“Kurasa itu artinya kamu perlu lebih berolahraga.” High Elf Archer berkata, menyikut kadal itu dengan sikunya dan tertawa. Kedua matanya berkedip nakal, kemudian dia berputar menuju Dwarf Shaman dan berkata, “Kurasa kamu lebih baik tetap di sini juga—aku yakin kamu bakal nyangkut kalau kamu coba masuk ke sana.”
“Bah, bagiku kamu kedengarannya bersukarela. Kamu seharusnya bakal bisa saja masuk ke dalam, papan.” Di belakang Dwarf Shaman, Priestess bergerak tidak nyaman, namun Dwarf Shaman tidak menyadarinya. Dwarf dan elf memang tidak pernah akur semenjak generasi dahulu sekali. Lagipula, Dwarf Shaman tidak ingin menjadi teman dari seseorang yang tidak dapat di ajak berdebat seperti ini.
“Aku ingin menghindari satu grup terdesak.” Penilaian Goblin Slayer selalu tenang seperti biasa, tidak mempedulikan perdebatan mereka. dia melempar obornya ke kaki, kemudian melambaikan sinyal kepada Priestess.
“Holy Light, kan?” Dia membalas cepat, mengangguk. Mereka sudah sangat terbiasa dengan ini sekarang. Dia menepukkan tongkat derik dengan kedua tangannya, kemudian melantunkan sebuah doa suci kepada Ibunda Bumi. “O Ibunda Bumi, yang maha pengasih, berikanlah cahaya sucimu kepada kami yang tersesat di kegelapan!”
Dengan tiba-tiba, terdengar jeritan.
Di dalam retakan, sekarang tersinari oleh cahaya menyilaukan, monster mengerikan menjerit dan menggeliat. Berkulit hijau, goblin, berpakaian dengan kain. Mereka mengangkatkan lengan, mencoba untuk melindungi mata kuning mereka, dan mundur dari cahaya menusuk.
“GOORGB?!”
“GOBORG?! GOOROG?!”
“Delapan. nggak ada panah dan pembaca mantra. Ayo!”
“Argh, pelan-pelan…!”
Hampir dalam sekejap seusai dia berbicara, Goblin Slayer melompat ke dalam celah, High Elf Archer mengikuti dan kemudian menyalipnya. Tidak lama kemudian, Dwarf Shaman mengeluarkan kapak tangan dari sabuk dan mengikuti mereka. “Aku seharusnya menggunakan sihir…” dia menggerutu. Namun mengingat bahwa dia telah meninggalkan Lizard Priest berdiri di sana, dia lebih dari senang hati untuk mengambil tugas baris depan.
Dengan Holy Ligh Priestess di belakangnya, Dwarf Shaman menyerang dengan kapaknya ke segala arah. Sangatlah hampir tidak mungkin bagi mereka berdua di depan untuk membiarkan goblin melarikan diri, namun jika memang terjadi, mereka tidak akan dapat menemukan jalan keluar dari lubang itu.
Dwarf Shaman melihat Goblin Slayer melompat ke depan, melemparkan sebuah golok. Senjata itu berputar di udara, begitu cepatnya hingga mustahil untuk menghitung jumlah putaran senjata itu, dan kemudian membelah kepala goblin dengan sangat mudahnya bagaikan kayu bakar.
“GBBGBO?!”
“Satu…!”
“Tambah dua—jadi tiga!” High Elf Archer menarik busurnya dengan lihai walau tempat yang sempit, meluncurkan tiga panah secara bersamaan. Panah bermata kuncup menyapu stalagmit gua, menusuk goblin satu persatu.
“GOBGR?!”
“GGO?! GOBOGR?!”
Sepertinya aku nggak bakal dapat kesempatan untuk bersenang-senang. Dwarf Shaman berpikir, menyipit untuk dapat melihat Goblin Slayer dengan benar, yang telah bertarung dekat dengan musuhnya.
Menghadapai goblin berjumlah lebih sedikit dari sepuluh di dalam ruangan sempit seharusnya cukup mudah. Semua baik-baik saja baginya untuk sekedar berdiri di belakang dan memperhatikan dengan asumsi bahwa mereka akan menang, namun dia memiliki tanggung jawab sebagai petualang untuk memikirkan tentang Resiko, karena itu adalah bagian dari pekerjaan ini. Goblin di anggap sebagai monster termudah di dunia untuk di buru, akan tetapi…
Hrm? Sesuatu terasa janggal. Dwarf Shaman menyipit ke kejauhan. Terdapat sesuatu yang berbentuk manusia di belakang sana, sesuatu yang goblin tampaknya telah gunakan sebagai mainan mereka.
Sangatlah menjijikkan, memualkan, namun ini adalah kenyataan kehidupan dengan goblin. Apa yang menarik perhatiannya adalah tubuh para goblin, yang mulai bersinar samar—yang tidak pernah terjadi sebelumnya. Tampaknya lengan mereka sedikit lebih menebal, tulang mereka sedikit lebih berat. Mereka bukanlah makhluk yang besar, tetapi…
Di sana lah.
Mereka tampak telah mendapatkan makanan yang enak, tidur yang nyenyak, dan waktu menyenangkan, seperti itu apa yang terlihat baginya. Adalah sesuatu yang pernah dia lihat di dalam benteng gurun itu…
Mungkin mereka masih belum menjadi hobgoblin?
Tak ada seorangpun di dalam Dunia Bersudut Empat akan menghabiskan waktu mereka untuk mempelajari goblin. Beardcutter, sibuk membunuh para monster ini di depannya, mungkin adalah satu-satunya orang yang melakukannya. Dwarf Shaman sama sekali tidak mengetahui bagaimana goblin dapat menjadi hobgoblin. Dan bagaimana kalau dia mengetahuinya? Ini masihlah pekerjaannya untuk membunuh mereka. rincian itu tidaklah penting.
Sekarang, bagaimana anak naga bisa menjadi naga dewasa sepenuhnya, itu mungkin pantas untuk di pelajari.
Secara kebetulan seekor goblin dapat lolos dari baris depan dan mendatangi Dwarf Shaman saat ini. Dia memecahkan kepala monster itu dengan satu ayunan kapaknya.
“GROGB?!”
Untuk memperjelas: Tidak ada satupun goblin yang membutuhkan respon yang terlalu rumit.
“Jangan khawatir, aku jaga bagian sini,” dia berkata.
“Bagus,” datanglah jawaban singkat yang diharapkan. High Elf Archer memanggil sesuatu juga, dia tidak dapat terlalu mendengarnya, namun gadis itu terdengar oke. Dwarf Shaman mengangkat bahunya—ini adalah lagu lama baginya—dan menatap mata Priestess, kemudian memberikan tawa lantang. Beberapa jeritan kematian goblin lagi dan pertarungan telah berakhir.
“Sepertinya saya memang tidak di perlukan,” Lizard Priest berkata kecewa, menonjolkan kepalanya masuk ke dalam lubang. Priestess menyelinap melewatinya. “Eep!” dia menjerit, dia sudah terbiasa dengan ini, namun dia masih harus berhati-hati agar kakinya tidak tersandung pada batu yang mencuat. Mungkin dia tangkas, atau mungkin dia hanya memiliki penglihatan yang tajam, karena di saat terdapat obor di tangan kecilnya. Cahaya oranye yang berkelip menunjukkan pemandangan yang mengenaskan.
“Mengerikan sekali…”
Sang wanita tampak jelas telah kadaluarsa setelah menjadi bulan-bulanan di dalam “permainan” yang paling mengerikan. Dan para goblin pun tampak jelas terus mempermainkan tubuh wanita itu bahkan setelah wanita itu meninggal dunia. Lengan, kaki, beberapa atau tiga lubang: itu sudah lebih dari cukup sebagai pengalihan yang kejam.
Priestess berlutut di samping wanita yang tidak beruntung itu, memejamkan dari apa yang tersisa dari kedua matanya. Dia menepuk tangannya dan berdoa untuk bimbingan Ibunda Bumi di dalam kehidupan selanjutnya, tidak hanya untuk wanita ini namun juga bagi goblin yang mati. Ini adalah sebagian dari belas kasih dan ampunan—namun juga karena jika salah satu dari mereka datang kembali sebagai roh yang hilang, itu hanya akan menjadi masalah bagi mereka. mungkin sang wanita, setidaknya, tidak akan merasa perlu untuk kembali, tetapi tetap saja…
“Inilah mengapa aku benci berburu goblin. Akan ada selalu yang seperti ini,” High Elf Archer berkata dari tempat dia bersandar di dinding dengan lengannya yang terlipat. Ketika dia hanya menerima satu-satunya jawaban “Begitu,” dia melotot dan mendengus. “Lain kali, kita akan melakukan petualangan yang berbeda. Sesuatu yang menyenangkan dan menyegarkan!”
“Begitu.”
“Harus!”
Goblin Slayer hanya mengangguk. Tidak di ragukan dia akan pergi pada petualangan seperti itu jika High Elf Archer mengundangnya, pada waktu party ini terbentuk, secara substansial dia telah melakukan lebih banyak petualangan yang tidak melibatkan goblin dari sebelumnya.
“Tapi, setiap kali ada beardcutter bersama kita, para iblis kecil itu entah kenapa selalu saja muncul.”
“Bener tuh. Ngeselin banget,” High Elf Archer berkata, namun suaranya tidaklah setajam ucapannya, dan tawa terbentuk di tenggorokannya. “Jadi gimana nih? Apa kita masuk lebih dalam?”
“Tar, tunggu dulu.” Dwarf Shaman menyipit ke dalam kegelapan. “Aku lagi liatin sekarang.”
Itulah ketika sedikit dari debu tertebar di atas kepalanya. Reaksinya sangatlah cepat. Dia melirik ke kanan dan kemudian ke kiri, kemudian berteriak, “Semuanya keluar! Mau runtuh!!”
“Hrm…!”
“Ap--?!”
“Yeep!”
Goblin Slayer adalah orang kedua tercepat untuk menanggapi apa yang terjadi. Dia melemparkan golok dan mengangkat Priestess dan High Elf Archer, berlari secepat dia bisa. “Jaga dia!” dia berteriak.
“Baik!” Dwarf Shaman tidak akan menolak permintaan mendadak langsung ini. Dia mengangkat mayat dari wanita malang ini. Wanita itu mungkin mati, namun dia tidak akan dapat beristirahat dengan tenang di dalam kuburan yang sama dengan penyiksanya. Dwarf Shaman berlari menuju jalan keluar di depannya, Goblin Slayer sudah melompat keluar dari celah batu itu.
“Apa ada masalah?” Lizard Priest bertanya.
“Guanya runtuh.”
“Iya benar!”
Pada saat itu, hembusan debu dan kerikil dari langit-langit mulai menghujani. Ini bukanlah badai biasa, walaupun tidak seperti tetes hujan, namun terguyur oleh pengendapan ini akan dapat meninggalkan bekas. Dwarf Shaman, yang sekarang hanya dapat merayap, menggenggam ekor Lizard Priest dan menarik dirinya, setelah itu semua anggota party berlari menuju mulut gua.
“Aku… Sama sekali nggak tahu harus bilang apa tentang ini…” Dari cara Priestess menghela, tampak jelas dia merasa lelah karena terus di gendong, sangatlah cukup imut.
“Turunin aku, kampret!” High Elf Archer memprotes. “Aku bisa lari sendiri!”
“Jangan berisik cok! Kita harus keluar dari sini sebelum seluruh tempat ini longsor!” Dwarf Shaman marah, seraya memberikan tolehan cepat mengarah sang elf. Seraya Lizard Priest membawa Dwarf Shaman yang terlilit di ekornya, Dwarf Shaman mengangkat tangannya dan melantunkan. “Kemarilah, kalian gnome, dan lepaskan! Ini dia, namun perlahan saja! Balikkan semua ember itu—letakkan kami dengan perlahan di atas tanah!”
Lantunannya membuat mereka mendapatkan bantuan dari seekor makhluk yang begitu kecil hingga hampir tak terlihat. Namun, mereka dapat mengetahui bahwa langit-langit itu sedang di dorong ke atas. Dwarf Shaman mengangguk. “Baiklah, ayo cepat! Mereka nggak akan bisa bertahan lama!” Dia memiliki mata yang tajam.
“Itu jalan keluarnya!” Priestess memanggil. Di balik kegelapan adalah sebuah hutan di malam hari. Senja datang lebih awal di musim dingin, party mereka di sambut dengan udara dingin malam hari, bersama dengan kilau bintang dan dua bulan.
“Nggak ada yang lebih baik dari keluar menyambut cahaya terang matahari di kala seperti ini.” High Elf Archer berkata, akhirnya berhasil lepas dari genggaman Goblin Slayer dan mendarat di tanah dengan lincah bagaikan seekor kucing. Dia menggetarkan dirinya. “Whoa?!” dia menjerit, menutupi telinga panjangnya ketika sebuah raungan lantang dan memekikkan telinga yang menandakan sarang goblin di belakang mereka telah ambruk.
Sebuah awan debu tebal membutakan party mereka, Priestess mulai terbatuk. Dwarf Shaman meraih tas di pinggulnya, untuk berjaga-jaga, dan Goblin Slayer seperti biasa bersiap. Dia telah menarik belati dari sarung yang terpasang di dekat armornya dan mengamati pintu masuk gua dengan siaga. Debu menghilang: Gua telah tiada.
Goblin Slayer menghela berat. “Terkubur.”
“Sepertinya,” Dwarf Shaman berkata, dengan hati-hati meletakkan mayat wanita itu yang dia bawa.
Membuat pembaca mantra melakukan pekerjaan fisik, aduuh… Celotehan itu terlintas di benaknya, namun, yah, ini adalah bagian untuk membantu orang-orang. Yang terjadi biarlah terjadi. Semua makhluk fana akan mati, namun tentunya mereka tidak akan ingin merepotkan orang lain bahkan setelah mereka mati. Seseorang harus menghormati mereka yang mati.
“…Maafkan aku.” Priestess berkata setelah beberapa saat.
“Aw, nggak usah di pikirkan,” Dwarf Shaman membalas setelah meneguk fire winenya. Ah, minum di malam hari adalah minuman terbaik.
Priestess berlutut dan meletakkan sisa kepingan dari instrument music di tangan wanita itu. Apakah bisikan yang terlepas dari bibirnya adalah akibat dari kecemasan atau kesedihan, atau sesuatu yang lain? Tidak ada cara untuk mengetahui apakah itu akan menjadi penenang bagi sang wanita, namun apapun itu, Lizard Priest berdiri di samping Priestess, membuat gerakan telapak tangan yang aneh.
“Dua cleric berbeda mendoakan wanita itu. Apa kamu pikir dia nggak akan kembali sebagai hantu.”
“Tidak, namun memang benar bahwa beliau akan kembali, mengikuti perputaran kehidupan surgawi dan duniawi. Mungkin suatu saat beliau bahkan akan terlahir berdarah naga.”
“…Kamu benar,” Priestess berkata, terhibur dengan ucapan mereka. kemudian dia mengangguk. “Apa ini artinya questnya selesai?”
“Mm,” Goblin Slayer mendengus. “Entahlah.” Dia menggelengkan kepalanya perlahan dari samping ke samping. Bahkan dia tampak tidak dapat mempercayainya.
“Kita mengalahkan goblinnya. Menghancurkan sarang mereka. kita menyelamatkan jiwa dari orang mati. Aku rasa itu sebuah kesuksesan,” High Elf Archer berkata dengan bibir manyun, terdengar lebih yakin di antara mereka. “Aku akui, rasanya mayan menyebalkan sama sekali nggak ada keuntungan apapun dari ini…”
“Ah, itu mungkin nggak sepenuhnya benar…” Priestess menepuk kedua tangannya, tiba-tiba teringat untuk mencari sesuatu dari dalam tas yang di gantung di pundaknya.
“Ooh, kamu dapat sesuatu?”
“Kita terlalu sibuk banget lari jadi aku nggak terlalu yakin, tapi aku dapat donpet ini…” Dia mengeluarkan sebuah dompet kulit bekualitas tinggi, tua dan menbusuk.
“Coba ku lihat.” High Elf Archer berkata, mengintip ke dalam. Sesuatu berkelip di dalamnya.
Permata. Kecil, namun terdapat sapphire, emerald, dan bahkan…
“Oh-ho, ini berlian!” Mata Lizard Priest berputar di kepalanya, mungkin karena dia adalah seorang lizardman atau mungkin dia sudah dekat menjadi seorang naga. Batu yang dia keluarkan dari dompet itu berjalan di antara anggota party mereka sebelum akhirnya tiba pada Dwarf Shaman. Dia memegangnya dengan jari gemuknya, mengangkatnya pada cahaya bulan, menunjukkan sebuah kelip berlian yang terukir oleh pengrajin piawai. “Tapi agak kecil, sayangnya. Bahkan dengan semua itu, aku ragu kita akan dapat banyak.”
“Di tambah lagi, para goblin tidak menyadarinya. Mereka benar-benar nggak mempedulikan hal lainnya yang sama sekali nggak menarik perhatian mereka huh?” Telinga High Elf Archer mengepak terhibur.
Di sampingnya, Priestess menarik sebuah kertas kulit domba keluar dari tas, “Lihat, ada semacam scroll juga di sini!”
“Hoh.” Itu menarik perhatian Goblin Slayer. Dia mengambil gulungan terikat itu dari Priestess dan mempelajarinya dengan seksama. Dia tidak mempunyai kemampuan untuk mengidentifikasi benda, tentunya, ataupun kecerdasan untuk mengetahui mantra apa yang mungkin terkunci di dalamnya. Namun dia masih tetap puas dengan hasil ini.
“Baiklah,” Goblin Slayer berkata, meletakkan scroll itu dengan hati-hati ke dalam kantung peralatannya dan memberikannya tepukan pelan untuk memastikan scroll itu aman. Bahkan gerakan kecil itu menunjukkan betapa anehnya apa yang di rasakan petualang aneh ini. Dwarf Shaman, menyadari senyuman kecil pada kedua wanita, membelai jenggotnya.
Yah, kurang lebih aku mengerti. Untuk pergi pada perburuan goblin dan masih berujung kegagalan aku terlalu berlebihan. Dwarf Shaman menelan beberapa fire wine lagi untuk menyegarkan dirinya, kemudian berceloteh, “Memang benar apa yang mereka katakan.” Ruang bawah tanah kastil mewah yang di bangun oleh para dwarf, atau bahkan kota bawah tanah para dark elf, merupakan cerita yang berbeda, namun… “Kegelapan dari sarang goblin menggelapkan hatimu juga, dan pikiran-pikiran aneh bakal memasuki kepalamu.”
Dia memberikan tepukan keras pada punggung Goblin Slayer. Setelah beberapa saat keheningan, Goblin Slayer hanya membelas, “Itu benar,” dan mengangguk.
Petualang lain memeriksa diri mereka, dan kemudian mereka berjalan perlahan di jalanan pulang. Mereka kembali ke desa dan mengantarkan tubuh itu kepada kepala desa, dan kemudian Goblin Slayer memberikan beberapa koin emas ke tangan kepala desa, meminta mereka untuk mengubur wanita itu. Dengan itu, pagi berikutnya sebuah pemakaman di adakan yang di pimpin oleh Priestess dan kemudian party mereka kembali ke kota.
Sebuah perburuan goblin yang biasa. Benar-benar petualangan normal, dan tidak lebih.
1 Comments
Menarik
BalasHapusPosting Komentar